Mika Naraya
Hari beranjak siang ketika Mika sampai di tempat kerjanya, di sebuah perusahaan garmen terkemuka di Indonesia. Perempuan berusia 27 tahun itu pun mengerang keras karena terlambat, gara-gara kunci motor sialan yang lupa ia taruh setelah dipinjam teman kost-nya. Mika pun melangkah tergesa menuju lantai tempat divisi perencanaan berada. Dan, semoga saja kepala sukunya belum berkeliling.
“Mikado!”
Mampus gue! Kue kalengan manggil, kaburrr! Anggap aja gue nggak dengar, batin Mika sembari meneruskan berjalan masuk lift. Cepat-cepat ia menekan tombol naik agar tak terkejar Pak Hattari—atasannya. Sesampai di kubikel tercinta, Mika menghempaskan b***Ng kuat-kuat dan bernapas lega.
“Nama bagus-bagus diganti seenak udel, dikira kagak pake tumpeng apa kasih nama itu,” gerutu Mika, “tahu, sih, nama gue kayak lagu anak-anak, tapi nggak gitu juga keles.” Kemudian gerutuan Mika disahuti dehaman yang familiar. Kening mulus itu mengkerut lalu mendongak, berdiri dan meringis. “Ehehehe… pagi, Pak”
“Pagi apa? Balasnya menyindir. “Kamu itu, dipanggil bukannya berhenti malah kabur. Kamu kira saya setan, yang suka nakut-nakuti orang!” omel Hattari dengan wajah jengkel.
“Lah, sadar diri si Bapak.”
Hattari mendelik. “Kamu bilang apa?” tanya pria berusia lima puluh tahun itu garang.
Mika menutup mulut lalu menggeleng cepat agar atasannya ini tak semakin marah. “Nggak, Pak.”
“Sudah terlambat, berani ngatain atasan. Kamu mau saya adukan ke HRD biar dipecat?!”
Sontak bola mata Mika terbelalak. Pecat? Modyar aku, erang Mika dalam hati. “Jangan duong, Pak, nanti saya makan apa kalo dipecat?” mohon Mika memelas. Siaga tiga ini mah, bisa tengkurap magicom gue, pikir gadis ber-blouse maroon. “Jangan, ya, Pak. Bapak ganteng, deh. Masa tega sama Mikado kesayangan Bapak,” rayu Mika denga memasang senyum seribu volt andalannya.
“Halah! Rayuan kamu tidak ada pengaruhnya buat saya. Ke ruangan saya sekarang juga.” Setelah mengatakan hal itu, Pak Hattari berlalu ke ruangannya.
Mika mengembuskan napas besar, rayuannya kali ini tidak berhasil. Kemudian Mika melirik rekan-rekannya yang terkikik geli melihat drama siang suguhan Mika. “Apes gue, gaes.”
Bukannya kasihan, mereka malah tertawa keras. Dengan langkah gontai, Mika masuk ke ruangan Pak Hattari setelah mengetuk lebih dulu.
“Kamu itu sehari saja tidak membuat ulah gatal, ya,?” omel Pak Hattari saat Mika duduk di depan mejanya. “Jangan banyak alasan,” sergahnya sebelum Mika membantahnya. “Mulai minggu depan kamu pindah ke bagian desain. Kebetulan pimpinan mencari satu orang untuk membantu bagian desain, untuk rancangan musim semi yang akan diikut sertakan tender di New York. Saya pikir ini posisi yang pas buatmu, karena saya tahu kamu suka desain.”
Pindah kebagian desain? Telinganya tidak salah dengarkan? OMG! Akhirnya, teriak Mika dalam hati. Rezeki nomplok bagi Mika, sebab ia memang lebih suka dibagian tersebut. Ada rasa luar biasa kala tangannya berhasil menciptakan goresan di kertas. Dan, kini tawaran itu datang, maka tak akan ia sia-siakan kesempatan ini. “Siap, bosque!” ujarnya semangat. Namun, beberapa detik kemudian ia terlihat bimbang. “Tapi nanti kita pisah, dong, Pak. Jangan kangen, ya. Soalnya kangen itu berat. Biar Dilan aja jangan, Bapak.” Mika terbahak geli sendiri mendengar rayuannya untuk Pak Hattari.
“Bocah edan! Sudah sana kembali ke mejamu dan cepat selesaikan kerjaanmu sebelum pindah.”
“Asiyap, Pak Mentari.” Lalu segera keluar sebelum atasannya itu naik darah.
“Mentari? Ada-ada saja.” Pak Hattari menggeleng heran akan kelakuan bawahannya itu.
**
Hah, dia? Gue nggak salah lihat, kan? Mata gue belum jereng, kan? Batin Mika tak percaya. Mata dengan bulu mata lebat itu mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan penglihatannya. Mika tidak sedang bermimpi, kan? Setelah sekian lama tak bertemu, kenapa harus bertemu di kantor ini. Dan yang lebih mengenaskan lagi, pria itu menjadi atasan Mika. Demi upin-ipin yang plontos, tidak bisakah pria di hadapannya ini dimusnahkan saja. Mimpi buruk! Sumpah dia mimpi buruk bagi Mika.
“Kamu dengar saya, Mika!”
“Iya, Pak!” jawabnya malas. Andai saja bukan bosnya, mungkin sudah dari tadi Mika tendang.
“Iya, apa? Kalau jawab yang jelas!”
Mika mendengkus sebal. “Iya, Pak, saya siap bekerja sama dengan team mengejar deadline.”
Ya, ampun! Sudah seperti anak TK saja harus menjawab dengan lengkap.
Zaferino atau Rino—sapaan akrab pria itu—mengangguk kecil dengan wajah datar seperti tol Jagorawi. “Bagus. Perlu kamu ketahui, saya tidak suka bawahan yang suka membantah, dan terlambat apalagi izin dengan alasan tidak masuk akal.” Ia menekan interkom yang terhubung dengan asisten bagian desain. “Ze, kamu ke ruangan saya.” Tidak lama pintu ruangan Rino diketuk dan ia persilakan masuk. “Ze, ini Mika anggota baru kita. Tolong kamu jelaskan tugas dan apa saja yang berhubungan dengan konsep kita tentang project musim semi,” perintah Rino dengan senyum terukir manis hingga mampu membuat gula darah yang melihatnya naik.
Dasar! Tadi aja sama gue sok galak, sekarang sama Mbak Ze genit, gerutu Mika dalam hati.
“Kamu tunggu apalagi? Ze sudah ke luar dari tadi.”
Mika menunduk singkat dengan tidak rela. “Maaf, Pak.” Kemudian keluar dengan perasaan dongkol pada atasannya itu.
Setelah berkenalan dengan team Mika yang baru dan mendapat penjelasan tentang rancangan yang akan mereka garap, Mika membuka ponsel yang sengaja ia matikan untuk melihat notifikasi yang masuk. Satu pesan menarik perhatian dan segera dibukanya.
Ajeng
Mbak, Ajeng bulan depan ujian.
Me
Mbak akan kirim secepatnya. Kamu nggak usah khawatir, Mbak titip ibu.
Mika mengembuskan napas berat, meletakkan kepalanya di meja dengan pipi mengembung. Huft! Kini ia bisa merasakan beban yang ayahnya pikul semasa beliau hidup. Ternyata menjadi tulang punggung itu berat, tetapi apa yang bisa ia lakukan jika sudah menjadi kewajiban Mika sebagai pengganti ayahnya, yang meninggal karena kecelakaan beruntun di jalan raya ketika hendak pulang. Perempuan berhidung bangir itu meraih buku tipis dan persegi berwarna biru dengan corak putih lalu membukanya. Deretan angka yang tertampang cukup membuat Mika mengembuskan napas panjang. Tidak banyak, dan akan berkurang lagi untuk keperluan adik juga ibunya. Sepertinya keinginan Mika untuk sekolah desain harus kembali tertunda, menyingkirkan impian itu jauh hingga di sudut terdalam angannya. Dan mungkin saja setelah Ajeng lulus kuliah dan bekerja nanti, impiannya akan terwujud.
Tepukan di bahu menyadarkan Mika dari merenungnya. Mengangkat kepalanya dari meja kayu mengkilap di depannya. “Mbak Ze.”
Perempuan rambut sebahu itu mengambil duduk di sisi Mika. “Ngelamun aja, kesambet penunggu sini sukur lo.” Mendorong gelas kertas berisi kopi s**u ke depan Mika. “Welcome. Selamat bergabung dan moga aja lo betah,” ucapnya.
“Nggak usah didoain lagi gue pasti betah, Mbak. Gue suka banget gambar soalnya, biar juga nggak pernah sekolah atau ambil kursus desain,” aku Mika. “Mohon bimbingannya, Mbak. Tegor gue kalo salah.”
Zeta—nama panjang senior Mika—mengangguk kecil, sepertinya ia akan menyukai Mika. “Demen gue dapet anggota kayak lo. Bakat lo kudu diasah terus itu, Mik.”
“Thank’s, Mbak. Eumm… Mbak, boleh gue tanya nggak?” tanya Mika ragu-ragu. Alis Ze terangkat sebelah, kemudian mengangguk. Mendapat anggukan dari Ze, Mika pun melanjutkan ucapannya, “itu si playboy buntung udah lama di sini?”
Kening Ze mendadak berlipat-lipat. “Playboy buntung? Siapa?” tanya Zeta balik.
Menepuk dahinya sedikit keras karena kebodohannya bertanya tidak jelas. “Itu Pak Rino, Zaferino maksud gue,” ralat Mika.
“Lumayan.” Ze memicing pada Mika. “Jangan bilang lo nggak tahu,” tebak Ze dan diangguki Mika. “Gile lo, Ndro! Masa laki seganteng itu lo nggak tahu. Emang lo kerja di sini berapa lama? Masa nggak denger kabar soal dia, sih!”
Mika memutar bola matanya muak. “Yeeee! Emang dia artis apa, gue kudu kenal dia. Iyuuuhhh. Nggak banget, hiii.”
“Ekhem!”