Mata Mika menyipit sambil berdoa dalam hati ketika Rino memeriksa sketsa rancangan yang ia ajukan. Memuntir lalu menyimpul ujung blus yang ia kenakan, kemudian mengurainya. Dan, Mika mengulangi hal itu berulang kali selama Rino mengamati kertas-kertas di depan dia. Demi k****t merah superman! Semoga si Kadal puas, batin Mika. Kadal apa buaya, ya? Heleh. Sama saja kan mereka sahabatan, lanjut batin Mika.
Wajah lelaki dengan tinggi badan 180 sentimeter terlihat tak suka, lantas melempar kertas-kertas itu ke depan Mika. “Kamu mau panggang orang?! Desain baju tertutup dengan warna yang tidak pas! Astaga. Desain ini cocok untuk ke pemakaman bukan menyambut musim semi!” Rino mengeluarkan seluruh amarah. “Di mana-mana yang namanya musim semi itu trend fashion-nya ceria, lebih bercorak flora, warna-warna pastel, dan itu lebih banyak disukai. Bukan seperti ini!”
“Tapi, Pak, meskipun model tertutup. Bahan yang digunakan lembut dan nyaman. Untuk corak, saya pikir masih masuk,” debat Mika menjelaskan.
Rino melotot mendengar bantahan Mika. “Kamu berani mengajari saya?!” Rino berkacak pinggang, seketika nyali Mika menciut. Bantahan di ujung lidah tertelan kembali. “Tidak becus begini. Bisa-bisanya Pak Hattari rekomendasikan,” dumel Rino. “Serahkan desain baru, besok pagi sudah harus di meja saya.”
“Tapi, Pak.”
“Tunggu apalagi!”
Mika cepat-cepat membereskan lembaran kertas berserakan di meja Rino lalu keluar ruangan. Dengan wajah ditekuk dalam, perempuan bersurai hitam itu duduk di samping Zeta, memperhatikan gambaran hasil goresan tangannya.
“Nggak ada yang salah sama rancangan ini. Dasar kadal buntung itu aja senewen,” sunggut Mika. “Buktinya di tahun kemarin juga ada dress panjang. Kalau warna, ini juga cerah kok. Ini mah si buaya cari-cari alesan aja.”
Ze melirik rekan kerjanya itu. Suasana hening ruangan membuat gumaman Mika terdengar meskipun pelan. “Apa hubungannya Kadal sama Buaya, Mik?”
Mika menoleh sebentar sebelum mulai menggambar lagi. “Sohiban mereka. Termasuk atasan Mbak Ze, si playboy buntung itu. Masa besok harus kasih desain baru, katanya desainku ini cocok buat ke kuburan. Ya, kali ke kuburan pake gaun melambai-lambai gini. Edan emang buaya satu itu. Mana nggak becus-becusin gue lagi. Sok iye banget dah buaya itu,” dumel Mika sembari tangannya membentuk siluet tubuh.
Ze tertawa mendengar gerutuan Mika. Spesies unik dan cuma Mika yang tidak terpesona dengan Rino. “Jadi yang bener kadal apa buaya, Mik? Kemaruk banget Pak Rino kalo diambil semua itu julukan,” sahut Ze. Dari Mika pula Ze tahu jika atasannya itu seorang playboy semasa SMA dulu.
“Dua-duanya boleh, Mbak, kali aja dia mau nambah title lagi.”
Ze kembali tertawa. “Jangan benci-benci lo, ntar suka lagi sama dia.”
Mata Mika sontak mendelik menengok Ze kemudian menampilkan raut jijik. “Hueekk! Amit-amit jabang baby, Mbak. Jangan sampai dah. Runtuh ntar menara Piza, terus ane terviralkan. Bahaya itu mah.” Lalu kembali memberi warna pada gambarnya. “Lagian gue nggak suka sama playboy, najis amir itu badan udah terkontaminasi semua. Terutama mulutnya, pasti udah nyosor sana-sini. Belalai gajah dia pasti udah mampir di mana-mana,” ucap Mika memuntahkan seluruh kebencian terhadap Rino.
Ze menyenggol kuat siku Mika. “Mik.”
“Jangan lupakan tangan dia, Mbak. Yakin seyakin-yakinnya gue pasti udah grepe-grepe pacar dia. Hadewww!”
“Ekhem!”
Gerakan tangan Mika mengulas warna pada gambar baru kontan terhenti. Dehaman berat di belakang membuatnya mendapat firasat buruk dalam sekejap. Mika tak bisa menutupi kagetnya, kala mendapati Rino berdiri tidak jauh darinya dengan tatapan tajam. Cepat-cepat Mika melihat Ze meminta pertolongan, namun seniornya itu menggeleng kecil.
Dengan wajah hampir menangis, Mika memegang lengan Ze lalu merengek. “Mbak, bantuin gue,” bisiknya panik.
Ze lebih mencari aman, lagipula tadi ia sudah mengkode Mika, tetapi dasar mulut nyinyir Mika tidak bisa di rem. ”Sorry. Lo hadapi dia sendiri, gue masih sayang nyawa,” balasnya.
“Kok gitu sih, Mbak. Masa gue sendirian yang hadapi tuh buaya, pan kita gosipnya barengan. Bisa dimakan gue. Please, Mbak, bantuin gue,” mohon Mika memelas.
“Sudah selesai diskusinya?” Tatapan Rino melekat kepada adik sekolahnya dulu. “Mika, ke ruangan saya!” Lalu ia mengayun kaki memasuki kembali ke ruangan.
Setelah Rino tak terlihat, Mika menjerit. “Huaaa, Mbak. Gimana ini? Mampus gue dimakan si buaya,” serunya yang disambut tatapan sinis rekan kerja wanita lain.
“Mampus lo! Baru gabung aja udah nyinyir,” olok Rima. “Makan tuh nyinyir!”
“Makanya jaga tuh mulut, jangan asal jeplak aja.” Kali ini Tantri ikut menimpali.
Ze tak bisa membela Mika, pasalnya apa yang diucapkan oleh Tantri dan Rima benar adanya. “Udah sana lo ke ruangan Pak Rino,” perintah Ze.
Perempuan yang hari ini mengikat rambutnya menjadi dua bagian seperti gadis desa itu, menghela napas dalam seraya menatap Ze dengan mata memelas. “Lo yakin ngelepas gue ke kandang buaya, Mbak? Tega sekali kau, Ani. Di mana sumpah setiamu untuk selalu di sisiku? Sungguh kau menyakiti hatiku, Ani,” ucapnya mendramalisir, dan mau tidak mau kawan seprofesinya tertawa, termasuk Rima dan Tantri yang tadinya mengoloknya.
“Setan lo, Mbak, bikin buyar konsentrasi aja. Pergi sono lo,” usir Anggi dengan menahan tawa.
***
“Saya suruh kamu membuat desain baru bukan asyik bergosip ria. Memangnya kamu admin perlambean sampai sedetail itu menyampaikan keburukan saya?”
Mika menunduk tidak berani menatap Rino yang sudah bisa dipastikan berwajah seram dan siap memangsanya, layaknya singa murka jika diusik ketenangannya.
“Saya bisa melaporkan kamu atas kasus pencemaran nama baik.” Belum sempat ia meneruskan ucapan, Mika memotong kata-katanya.
Perempuan dengan bola mata cokelat itu refleks memegang tangan Rino erat. “Jangan, Pak, saya mohon. Saya tahu salah, tapi tolong jangan laporkan saya, Pak,” pinta Mika memelas. Dalam hati ia mengutuk mulutnya yang tak bisa ia rem dan berakibat fatal seperti ini. Dan bila bukan karena ingin mempertahankan sumber penghasilannya, tidak sudi Mika memohon belas kasihan kepada buaya ini.
Rino bergeming. Tatapannya jatuh pada tangan mereka, alisnya terangkat sebelah. Mika yang mengikuti arah pandang Rino, kontan menarik tangan, meringis dan menggumamkan maaf.
“Saya tidak bisa janji.”
Otak Mika bergerak cepat sebelum Rino benar-benar mengadukan dirinya ke polisi. “Saya akan lakukan apa saja asal, Bapak, tidak melaporkan saya,” sergah Mika dengan cepat. Akan sangat panjang urusannya jika berkaitan dengan pihak kepolisian, dan Mika tidak ingin itu terjadi. Ada nama baik serta kepentingan orang yang dia sayangi yang patut ia jaga.
Raut kaget Rino jelas terlukis, sedetik, kemudian ia berhasil menguasai diri. Sudut bibir Rino terangkat samar kemudian berdeham menetralkan mimiknya. “Apa saja?” tanya Rino sekali lagi, Mika mengangguk. “Apa saja dan kapan saja? Tidak ada batasan?” Mika mengangguk lagi kemudian menggeleng. Paras Rino menunjukkan kebingungan. “Maksudnya? Kamu tidak jadi mengabulkan semua permintaan saya? Ya lebih baik saya lapor.”
“Bukan itu, Pak! Ma-maksud saya tiga permintaan saya kabulkan,” jelas Mika mencoba negosiasi, kalau tidak bisa-bisa buaya ini akan memanipulasi dia.
Pria satu tahun di atas Mika tersebut menyeringai licik. Dalam kondisi tidak menguntungkan seperti ini, karyawan satu ini masih mencoba bernegosiasi dengannya? Mimpi dan jangan harap bisa menang melawan Rino. “Tiga permintaan?” ulang Rino. “Kamu seperti om jin di iklan televisi saja pakai tiga permintaan.” Mika mendelik ketika disamakan dengan Om jin di iklan rokok. “Tiga permintaan tidak sebanding dengan nama baik saya.”
Sialan! Buaya satu ini! d**a Mika dalam waktu sekejap bergemuruh hebat. Mika tebak saat ini Rino sedang mempermainkan dia, mengambil kesempatan darinya. Tiga permintaan saja bagi Mika sudah sangat merendahkan harga dirinya, dan sekarang Rino ingin menginjak-injak harga dirinya lebih dalam lagi, jangan harap!
“Terus mau lo apa?!” tantang Mika, mengabaikan sopan santun dan posisi mereka dalam perusahaan ini.
Tampak tidak terusik dengan bentakan Mika, Rino asyik memutar-mutar pulpen di meja disertai senyum licik. “Tanpa batasan dan kapan pun. Ambil atau ...” Sengaja lelaki bersurai tebal itu menggantung kalimat untuk mencapai tujuan yang ia inginkan.
“Fine!” Tanpa perlu pamit, Mika keluar dengan membanting keras pintu ruangan Rino. Tidak peduli tatapan teman kerja lain akan tingkah lakunya.
Sementara itu dalam ruangan, Rino tersenyum penuh kemenangan. Jujur saja ia tak peduli dengan omongan Mika, sebab itu memang benar, meskipun sekarang ia mulai membatasi, tetapi rasanya Rino perlu sedikit main-main dengan adik kelasnya dulu. “Let's play, Mika sayang.”