Bos Baru

2007 Words
Dalam hidupnya Mayang sudah pernah melewati berbagai macam kesulitan. Hidup hanya berdua dengan ibunya membuat mereka mengandalkan satu sama lain. Pernah suatu kali Mayang mengeluh, membandingkan kehidupan yang harus ia jalani sebagai seorang anak berusia 10 tahun dengan teman-temannya yang lain namun jawaban dari ibunya membuat Mayang tidak pernah lagi mengeluhkan apapun. "Kenapa mama selalu bikin telur dadar setiap pagi? Mayang bosan makan itu terus." Mendengar keluhan Mayang ibunya hanya bisa tersenyum sendu dan mengusap pelan rambut bergelombang anaknya. "Maafin mama ya nak, karena masakan yang mama bisa buat dalam waktu kurang dari 10 menit cuma telur dadar ini. Mama bisa masak yang lain tapi waktunya nggak akan cukup. Mama bisa terlambat pergi kerja." "Kenapa mama harus kerja? Teman-teman Mayang mamanya banyak yang nggak bekerja, yang kerja papanya. Jadi mamanya bisa bikin sarapan yang beda tiap hari." Protes Mayang, mata bulatnya menatap ibunya sambil memasukkan sesuap nasi putih yang sudah di campur dengan kecap manis dan potongan telur dadar. "Mama minta maaf karena mama belum bisa menyiapkan sarapan yang lain, mama harus kerja juga untuk masa depan Mayang, supaya Mayang bisa terus sekolah dan kuliah di tempat yang bagus nanti." "Nak, mama paham sekali apa yang jadi keberatan kamu. Tapi mama mohon pengertiannya ya. Sebenarnya apa yang kita dapatkan sekarang ini jauh lebih baik dari beberapa orang yang kurang beruntung di luar sana. Mayang mungkin bosan sarapan dengan telur dadar hampir setiap hari, tapi ada juga anak-anak lain yang mungkin malah nggak pernah sarapan setiap paginya." Ucapan itu membuat Mayang terdiam sejenak memandangi ibunya. "Dan mereka pasti akan bahagia sekali bisa mendapatkan makanan walau hanya telur dadar." Sejak saat itu Mayang tidak pernah lagi mengeluh mengenai sarapan telur dadar, ia menerimanya dengan senang karena benar apa yang dikatakan ibunya, jika Mayang jauh lebih beruntung dari orang-orang di luar sana yang untuk makan pun susah. Dibandingkan protes dan terus mengeluhkan keadaan Mayang kecil memilih untuk membantu ibunya setiap malam menyiapkan bahan makanan untuk dimasak esok paginya. Dengan begitu sang ibu tinggal memasaknya saja tanpa perlu repot menyiapkan bahan yang pastinya memakan waktu lebih lama. Ibunya pernah berkata sesekali mengeluh, merutuki keadaan boleh-boleh saja, namanya juga manusia, wajar sekali. Namun jangan jadikan itu sebuah kebiasaan. Karena bila kita melakukannya terus menerus itu sama saja dengan tidak bersyukur, mengingkari nikmat yang Tuhan berikan. Dan saat ini Mayang merasa benar-benar seperti seorang pendosa dimana setiap detik sejak ia diharuskan pindah ke lantai 18 gedung perkantoran ini ia tak berhenti merutuki nasib. Untuk hari ini saja, Mayang sungguh ingin mengumpat. Kekesalannya sudah berada di ubun-ubun. "Kamu sudah konfirmasi dengan PT. Abadi mengenai meeting siang ini?" Suara berat itu seketika menegakkan punggung Mayang yang sedang menunduk memeriksa beberapa berkas titipan divisi lain untuk di serahkan ke direktur utama. "Saya mau di jadwal ulang ke hari kamis saja jam makan siang. Terus report hasil meeting dengan divisi marketing saya tunggu sekarang." Begitu saja. Tidak ada sapaan apapun, ringkas, padat, to the point. "Baik pak." Mayang mengucapkannya dengan senyum ramah sementara kedua tangannya saling mengait menahan kesal. Begitu sang atasan berlalu memasuki ruangannya, Mayang menarik napasnya dalam, mencoba membayangkan hal-hal indah yang dapat meredam emosinya. Sudah dua minggu berlalu sejak ia harus menduduki posisi baru di perusahaan properti ini, namun sampai dengan saat ini Mayang belum juga terbiasa dengan pola kerja yang diterapkan atasan barunya. Mayang rindu atasannya yang dulu. Padahal jam yang melingkar di pergelangan tangannya baru menunjukkan pukul 8.40 pagi, masih ada waktu 20 menit dari jam masuk kerja sebenarnya namun Mayang sudah mendapatkan rentetan tugas. Sungguh bukannya Mayang tidak bersyukur saat ini, disaat banyak para sarjana di luar sana yang masih bersusah payah mencari pekerjaan ia malah memikirkan kemungkinan untuk berhenti. Baru dua minggu dan Mayang rasanya ingin menyerah. Tiga tahun menjabat sebagai sekretaris manajer marketing dimana yang menjadi atasan langsungnya adalah sahabatnya sendiri, Mayang tidak pernah membayangkan jika akhirnya saat ini ia harus berpindah posisi menggantikan sekretaris direktur utama yang memutuskan berhenti karena sedang hamil tua. Bagaimana mungkin Nina, sekretaris yang ia gantikan, mampu bertahan selama ini bekerja pada semacam robot  asing yang tampak tidak pernah istirahat itu. Bagaimana dia bisa melakukannya? "Mama maafin Mayang karena sudah jadi anak yang nggak tahu terima kasih akhir-akhir ini. Banyak ngeluh dan ngomel." Mayang berbisik lirih seraya memejamkan mata. "Ngapain kamu barusan?" Suara yang datang tiba-tiba itu mengagetkan Mayang membuatnya hampir terjungkal dari kursi yang di dudukinya. Di hadapannya sang atasan menatap tajam dengan satu alis terangkat. "Uhm... bukan apa-apa pak.." ujar Mayang. "Hubungi semua manajer divisi untuk meeting progress pembangunan apartement di Setiabudi." "Baik pak." Ucap Mayang menahan kesal. "Oh, jangan lupa ruang meetingnya kamu siapkan sekarang." Sambungnya sebelum benar-benar masuk ke dalam ruangan dengan pintu jati berwarna coklat tua itu. Mayang menggigit bibirnya menahan teriakan kemudian menghentak-hentakkan sepatunya frustasi. **** Tepat pukul 10 Mayang menyelesaikan semua persiapan di ruangan yang akan digunakan untuk meeting. Mulai dari memastikan jumlah kursi sesuai dengan peserta, mengecek kelengkapan peralatan yang dibutuhkan, meminta bantuan office boy untuk menyediakan konsumsi juga menghubungi semua divisi terkait. Mayang melepaskan sepatunya sebentar, mengurut betis dan pergelangan kakinya yang terasa sakit karena harus berlarian kesana kemari mempersiapkan meeting dadakan ini. Beruntung semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Baru akan membuka file yang di minta Erlangga tadi pagi, bosnya itu lebih dulu menyembulkan kepala melewati pintu ruangannya. "Mana data yang saya minta tadi? Di tungguin dari tadi kok nggak di kirim-kirim. Kamu tau kan kita ada meeting sebentar lagi, ngapain aja kamu dari tadi data begitu aja belum beres juga?" Sabar. Sabar. Mayang menarik dan menghembuskan napasnya perlahan mencoba mengolah emosi yang belakangan sering meningkat. "Maaf pak, ini datanya sudah ada, saya tinggal rapikan sedikit. Nanti saya kirim begitu selesai." Erlangga Lazuardi Jatmiko, pria pertengahan 30 yang sialnya menjadi atasan barunya. Inginnya Mayang melemparkan sepatunya ke kepala sang atasan yang kini menatapnya sangsi seakan meremehkan kemampuannya. Mengingatkan Mayang bagaimana saat pertama kali ia bertemu secara resmi dengan pimpinan tertinggi kantor ini. "Jadi kamu Mayang?" Pertanyaan itu membuat Mayang menatap ke arah depan dimana sosok atasan barunya berada. Papan  bertuliskan ukiran nama Erlangga Lazuardi Jatmiko, Direktur Utama, membuat Mayang semakin terkejut. Pasalnya ini adalah orang yang sama yang tidak sengaja bertabrakan dengannya beberapa waktu lalu. Lelaki yang memandangnya tajam dan mengatakan jika dirinya perempuan aneh. Mata seorang Erlangga yang tidak lagi terhalang pelindung seolah memindai sosok wanita yang begitu di puja oleh manajer HRD. "Saya yakin bapak akan cocok dengan Mayang. Dia satu-satunya sekretaris yang ada di sini yang sesuai dengan kriteria yang bapak inginkan. Saya bisa jamin." Erlangga mendengus pelan mengingat promosi berlebihan manajer HRD itu. "Nama kamu direkomendasikan langsung oleh pak Beni. Dia bilang dari semua kandidat kamu yang terbaik." Erlangga mengangkat sebelah alisnya menatap Mayang dengan tatapan menilai. "Saya tidak akan banyak basa-basi." Erlangga menyandarkan punggung ke sandaran kursi kebesarannya, melipat kedua tangan dan kembali menatap ke arah Mayang. "Saya perlu seseorang yang bisa mengimbangi saya dalam bekerja. Cekatan, cermat, memiliki inisiatif dan tepat waktu. Saya tidak suka karyawan yang kerjanya lama."  Erlangga mengamati dengan saksama gadis berkacamata di hadapannya yang tampak tegang walaupun wajahnya terlihat datar saja. Dari penampilannya saat ini Erlangga bisa menilai jika calon sekretaris barunya ini tipe wanita yang membosankan. Lihat saja penampilannya, bagaimana dia bisa tetap bertahan dengan gaya berpakaian yang bahkan sudah ketinggalan zaman itu di saat semua pegawai wanita di kantor ini rela menghabiskan separuh gaji mereka hanya untuk membeli pakaian terbaik dan kosmetik mahal agar terlihat sempurna. "Jadi..? Apa jawaban kamu?" Tanya sang direktur utama. "Kalau kamu merasa tidak sanggup, katakan dari sekarang. Dengan senang hati saya akan mencari kandidat lain." Hah! Kalau saja ia punya pilihan, Mayang sendiri tidak akan mau di pindahkan ke tempat ini. Belum apa-apa ia sudah di rendahkan. Tatapan menilai dan penuh keraguan sedari tadi yang dapat ia tangkap dari penerus Lazuardi Property generasi ketiga ini. Tapi Mayang tetaplah Mayang, ia tidak akan terpengaruh hanya karena penilaian orang lain. Mengepalkan kedua tangannya di atas pangkuan Mayang akhirnya bersuara, "Saya sanggup." Matanya kemudian menatap sang atasan dengan pandangan yakin. "Terima kasih untuk kesempatannya, jika bapak mengizinkan saya akan bekerja sebaik mungkin." "Baik." Erlangga memajukan tubuhnya, menumpukan kedua tangannya di atas meja seraya mengedik acuh. "Saya pegang ucapan kamu barusan." Dan sekarang, Mayang kembali melihat tatapan merendahkan itu, membuatnya geram bukan main. "Bapak meminta saya untuk menjadwalkan ulang beberapa pertemuan, kemudian menyiapkan meeting bersama semua divisi. Mohon maaf tapi saya sudah berusaha sebaik dan secepat mungkin. Data yang bapak minta ini juga sebenarnya sudah siap. Saya hanya ingin merapikan sedikit lagi agar lebih mudah di pahami." "5 menit. Saya nggak punya banyak waktu." Mayang segera memusatkan perhatiannya pada iMac yang masih menampilkan data yang ia buka tadi begitu Erlangga kembali ke sarangnya. Mengetik beberapa kalimat yang merupakan kesimpulan akhir dari data yang ia tampilkan, kemudian segera mengirimnya ke email sang atasan. Rapat bersama semua divisi itu akhirnya selesai pukul 12.40. Mayang berjalan berdampingan bersama mantan atasannya Shinta Namira menuju lift yang akan membawa mereka ke kantin perusahaan. "Gue laper banget, gila meeting gitu aja nguras energi juga ternyata." Mayang mengangguk mengiyakan, cacing di perutnya sudah menabuh genderang sejak tadi, ia tidak sempat mengambil kudapan apapun selama meeting karena sibuk menjalankan tugasnya menjadi notulen. Begitu sampai di kantin, keduanya kemudian berpisah untuk memilih menu makan siang masing-masing. Mayang menuju ke stand soto lamongan sementara Shinta menghampiri penjual ayam bakar. Mereka duduk di sebuah meja kosong di pojok kanan kantin, menunggu makanannya diantarkan. "So, gimana 2 minggu ini naik jabatan ke sekretaris direktur utama." Shinta menaik turunkan alisnya menggoda Mayang. "Posisi yang di idam-idamkan hampir seluruh karyawan cewek disini tuh, apalagi semenjak om Hutama pensiun." Shinta menyeruput jus mangganya kemudian berkata, "berarti makan siang gue lo yang traktir ya... kan gajinya udah naik.." "Apaan deh Shin, yang ada gue kepikiran mau berhenti." Keluh Mayang. "Kok berhenti? Segitu parahnya?" Ujar Shinta, ekspresi wajahnya menunjukkan keterkejutan. Mayang menganggukkan kepalanya sekali. Dilepaskannya kaca mata yang membingkai mata bulatnya, lalu dipijatnya perlahan titik di antara kedua matanya. "Lo yakin kalian saudaraan? Beneran itu anak kandungnya pak Hutama? Kok rasanya beda jauh ya?" "Ya iyalah, om Hutama cuma punya 1 anak dan gue cuma punya 1 sepupu doang dari sebelah papi." Balas Shinta. Mayang menumpukan kedua tangannya di d**a, merunut kembali kejadiaan selama dua minggu terakhir yang ia lewati. Wajah tanpa senyum Erlangga, pekerjaan yang menggunung juga lembur hingga larut malam. Mayang menghembuskan napasnya dongkol. "Gue emang belum pernah ketemu langsung sama pak Hutama, tapi dari cerita-cerita orang yang pernah ketemu beliau, orangnya ramah dan menyenangkan banget. Kata mbak Nina juga pak Hutama itu tipe-tipe atasan yang pengertian, baik, terus nggak segan buat bantuin dia kalo ada yang nggak paham, kok bisa beda banget sama anaknya ya?" Obrolan mereka terhenti sesaat ketika makanan diantarkan. Mayang memilih menyantap soto lamongannya terlebih dulu selagi Shinta masih menunggu tambahan sambal di ayam bakarnya. Suasana kantin sudah tidak terlalu ramai, hanya tinggal beberapa orang saja yang masih duduk sambil bersenda gurau, ada juga yang baru menyelesaikan santap siangnya, hanya mereka berdua tampaknya yang baru mulai makan. "Gue akui sih, mas Elang itu baiknya pas dia lagi mode jadi saudara." Ucap Shinta di sela-sela kunyahannya. "Tapi begitu balik ke mode atasan... ewh..." lanjutnya bergidik, "ngeselin abis.." Mayang menganggukkan kepalanya setuju. Erlangga memang benar menyebalkan. "Tapi di balik sikap minusnya sebagai atasan itu, gue harus akui sih kalo dia emang pantes untuk jabatannya sekarang. Dulu anak perusahaan yang di priok sempat kolaps karena banyak kecurangan dari manajemen sebelumnya. Terus pas mas Elang diminta pegang cabang itu, dua tahun dia bisa kembaliin performa cabang walaupun belum profit." Penjelasan Shinta itu membuat Mayang terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Ya tetap aja Shin, lama-lama gue stres. Mana orangnya perfeksionis banget. Gue ngetik cuma kurang titik aja di satu kalimat langsung di coret, disuruh ulang, nggak mau tanda tangan dia." Shinta mencoba menahan tawa mendengarnya. "Doi emang perfeksionis banget masalah kerjaan. Nggak cuma lo Mayang sayang, gue juga pernah digituin. Nggak ngaruh biar gue adik sepupu satu-satunya, salah di mata dia ya udah tetap salah. Dan gue tetap diomelin kalo lo mau tau." Mayang mengerucutkan bibirnya sebal. Jika seorang Shinta Namira saja yang notabene adalah adik sepupu sang direktur utama tetap mendapat perlakuan menyebalkan. Apalagi dirinya yang bukan siapa-siapa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD