Keesokan paginya, Ayara bangun tidur dan bersiap untuk pergi bekerja di kantor, sebagai sekretaris Adam. Paman angkat dari Beni sekaligus pria yang pernah menghabiskan malam bersama dengannya.
Ahh, jika mengingat malam itu Ayara selalu ingin mengulang waktu untuk tidak melakukan kesalahan besar bersama dengan pria yang tak seharusnya menyentuhnya. Namun, sayangnya hal itu tidak akan pernah terjadi. Dan tak mungkin ia bisa mengulangi malam panas antara dirinya dan juga Adam.
Sudahlah, satu-satunya cara agar ia tak selalu dihantui oleh kesalahan itu hanyalah dengan cara melupakannya. Karena hanya itu cara agar Ayara tak selalu mengingat apa yang telah ia lakukan bersama dengan Adam.
Setelah selesai bersiap, Ayara pun turun dari kamarnya dan kemudian menuju ruang makan untuk sarapan. Tak lupa sebelum ia turun dari kamar, Ayara mengunci pintu kamarnya. Agar saat ia tak berada di rumah, Sabrina tak berani masuk ke dalam kamarnya.
Sesampainya di ruang makan, rupanya Ayara harus melihat pemandangan yang tak ingin ia lihat. Sebab, bagaimanapun juga, pernikahan antara Sabrina dan Beni sangatlah mendadak. Hatinya bahkan belum siap menerima luka yang begitu menyakitkan ini.
Namun, meski begitu ia harus kuat dan tidak boleh memperlihatkan kesedihannya di hadapan para pengkhianat seperti Beni dan Sabrina.
“Selamat pagi, Ayara.” sapa Sabrina dengan sangat ramah, seperti biasa wanita ini selalu menunjukan sikap sok malaikatnya di hadapan Beni.
Ayara tak menjawab, ia hanya duduk dan menatap mereka berdua. “Kapan kalian akan pergi dari rumahku?” tanya Ayara.
Beni meletakan cangkir kopinya di atas meja.
Taakkk …
“Ayara, bisakah kita bicara?” ucap Beni.
“Silahkan, aku siap mendengarkan. Hanya saja jangan terlalu lama karena aku harus pergi bekerja.” jawab Ayara.
“Ayara, rumah ini aku yang membelinya …”
“Lantas?” potong Ayara.
“Aku berhak atas rumah ini.” jawab Beni.
“Tapi saat itu Mas sudah memberikannya padaku, dan juga rumah ini atas namaku berarti rumah ini milikku.” tegas Ayara, ia tahu kemana arah pembicaraannya ini.
“Tapi Ayara, kau masih istriku.”
“Dan dia juga istrimu.” jawab Ayara, “Jika Mas siap memiliki dua istri berarti Mas harus sudah siap dengan segalanya. Jika memang tidak siap, maka Mah harus memiliki satu istri saja … ceraikan aku.”
“Tidak akan pernah!” Beni langsung menolak keinginan Ayara, dalam hatinya ia masih mencintai Ayara. Namun, ia juga mencintai Sabrina, dan tidak ingin kehilangannya. Sebagai seorang pria sudah sewajarnya jika ia memiliki lebih dari satu pendamping. Lalu kenapa Ayara harus ribut dengan perceraian, sedangkan Sabrina saja tak merasa keberatan menjadi istri kedua. “Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikanmu!”
Ayara menghela nafas, “Kau sangat lucu, Mas … kau sangat egois, serakah dan juga tidak punya hati!”
“Sabrina bahkan tidak keberatan hidup berdampingan bersama denganmu, lalu kenapa kau begitu tak suka padanya? Jika kau memang tak mau menjaganya, baik … tak apa, kau tak perlu melakukannya. Tapi … jangan pernah meminta perceraian dariku, karena aku tidak akan pernah bisa, dan tidak akan pernah mau bercerai denganmu!”
“Oh astaga, kau memang pria yang sangat menyebalkan! Jangan samakan aku dengannya! Pada dasarnya aku adalah orang pertama, dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menerima orang kedua. Jangan samakan aku dengan seorang perempuan yang mampu tidur dengan suami sahabatnya sendiri.”
“Ayara, kami saling mencintai.” Sabrina pun ikut menimpali pembicaraan mereka.
Ayara menatap balik Sabrina dengan tatapan jengah, “Jangan terus mengatakan kata cinta di depanku. Apa kau tahu, aku sangat muak mendengarnya.”
“Ayara, apa kau tidak bisa memaafkanku?” ucap Sabrina dengan raut wajah yang nampak sangat sedih. Sepertinya ia sedang ingin berakting di hadapan Beni hanya untuk mencari simpati.
“Biar aku perjelas Nona Sabrina, kita bersahabat lama sekali dan bahkan kita sangat dekat. Kau … sudah sangat aku percaya. Aku berbagi suka dan duka bersama denganmu, kau adalah sandaranku di kala aku sedang sangat sedih. Kau pun tahu permasalahanku dengan Mas Beni dan keluarganya, kau tahu betapa sedih dan hancurnya aku karena itu. Tapi … dengan tanpa perasaan kau malah menambah duka dan juga lukaku.” ucap Ayara, sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tapi tetap saja, Ayara tak mampu membendung kesedihannya.
“Ayara, aku …”
“Kau tahu, aku sangat mencintai Mas Beni … kau pun tahu jika aku juga ingin disayangi dan diterima oleh keluarga suamiku. Tapi tanpa perasaan, kau merebut semua itu. Kau rebut suamiku, cintaku, hidupku dan semua mimpiku. Dan sekarang dengan mudahnya kau mengatakan kenapa aku belum memaafkanku? Coba kau bayangkan jika kau berada di posisiku. Bayangkan jika kau yang mendapatkan pengkhianatan itu, bayangkan beban dan rasa sakit yang harus ku rasakan. Tak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?”
Beni pun terdiam dan menundukan kepala, ia tahu dan sadar betul jika ia telah sangat melukai hati Ayara dengan sangat dalam. Namun, ia tak bisa melupakan apalagi meninggalkan Sabrina yang juga ia cintai, dan saat ini tengah mengandung anaknya.
“Dalam setiap perkataan yang kau ucapkan, hanya kata cinta saja yang kau ucapkan. Kau selalu berharap jika aku berhati besar dan menerima pengkhianatan ini. Tak bisakah kau berpikir hal lain selain cinta? Bisakah sedikit saja kau meraba isi hatiku?” Ayara menggelengkan kepalanya, “Kau tidak akan bisa, Sabrina … kau tidak akan bisa melakukan itu. Yang ada dalam pikiranmu hanyalah kebahagiaanmu saja, mana pernah kau memikirkan perasaanku. Jika saja sedikit saja kau memiliki hati, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi.” setelah mengatakan hal itu, Ayara pun kemudian pergi meninggalkan rumah dengan hati terluka.
Biarlah ia terlihat lemah, yang terpenting saat ini Ayara sudah mengeluarkan semua isi hatinya. Ia telah mengungkapkan semua yang ingin ia katakan.
Melihat Ayara pergi, Beni pun bangkit dari duduknya.
“Mas, mau kemana?” Sabrina memegangi tangan Beni.
“Aku akan pergi bekerja.”
“Mas, tidak akan mengejar Ayara kan?” tanya Sabrina cemas, meski dalam mulutnya ia selalu mengatakan jika ia ikhlas hidup berdampingan dengan Ayara. Namun, pada kenyataannya, sebagai seorang wanita, Sabrina pun tidak ingin jika harus berbagi suami.
“Memangnya kenapa? Ayara juga istriku,” jawab Beni, jawaban yang membuat Sabrina tertohok, ia tak menyangka jika Beni akan berkata seperti itu padanya. Apa ini artinya Beni masih mencintai Ayara? Apa dalam hati Beni, nama Ayara masih tersimpan?
Jika memang benar seperti itu, maka posisi Sabrina yang ingin menjadi wanita satu-satunya masih akan sulit di dapatkannya.
“Mas, aku …”
“Kita sudah sepakat, jika Ayara akan tetap hidup bersama dengan kita. Bukankah kau sangat peduli padanya?”
Sabrina mengangguk, “I-iya … tentu saja.”
“Astaga … aku pikir aku sudah mendapatkan hati Mas Beni sepenuhnya, tapi nyatanya aku salah.” batin Sabrina.