Satria mengangkat satu alisnya ketika dia melihat sosok yang dikenalnya itu sedang duduk melamun di kursi taman kota.
Sambil tersenyum, cowok itu mendekati taman tersebut dan menepuk pelan pundak orang yang sedang melamun ini. Mungkin karena terlalu asyik melamun, orang tersebut langsung terlonjak dan menoleh cepat, kemudian menghembuskan napas keras sambil mengelus d**a.
“Lo ngagetin gue aja, Sat.”
Satria tertawa dan duduk di samping Aulia yang masih mengelus dadanya. Cewek itu memakai kemeja berwarna pink dengan celana jeans sebagai bawahan. Memang Aulia selalu membawa celana jeans ke kantor agar bisa menggantinya saat pulang ke rumah.
“Sori. Lagian, lo serius banget ngelamunnya. Ngelamunin apa, sih?” Satria menoleh ke segala penjuru taman. “Lo sendirian? Apa janjian sama Dida dan Selvi?”
“Sendirian. Gue lagi butuh waktu buat berpikir.” Aulia menarik napas panjang dan tersenyum tipis. “Gue lupa lo juga kerja di daerah sini.”
Satria mengacak gemas rambut Aulia dan tertawa. “Jahat banget lupa sama keberadaan gue di daerah ini. Padahal sebelum ini, kita kadang suka ketemu atau makan malam bareng sepulang kerja.”
Aulia ikut tertawa. “Maaf, gue hanya lagi banyak pikiran.”
“Banyak pikiran?” tanya Satria dengan kening berkerut. “Kenapa? Di kantor lagi banyak kerjaan?”
“Bukan, bukan soal kerjaan.” Cewek itu mendesah berat dan memijat pangkal hidungnya. “Ini soal... sohib lo yang rese itu.”
Masih dengan kening berkerut, Satria kini mendongak menatap langit senja dan tersenyum tipis. Cowok itu melirik sekilas ke arah Aulia dan kembali menatap langit berwarna orange di atasnya. Hatinya mendadak nyaman sekali. Selalu seperti ini, jika dia bertemu dengan Aulia sejak zaman SMA dulu.
“Kenapa? Lo suka sama Setyo?”
Diberi pertanyaan mendadak seperti itu membuat Aulia mematung. Saking kagetnya, Aulia tersedak air liurnya sendiri dan sekarang terbatuk pelan. Sebal, cewek itu menatap Satria dengan tatapan bete dan mencubit pinggangnya hingga Satria mengaduh sambil tertawa.
“Sembarangan!” gerutu Aulia. Meskipun menggerutu, Aulia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa saat ini, setelah Satria mengucapkan kalimat ajaibnya tadi, dia menjadi gugup dan jantungnya berdebar begitu keras. “Gue nggak suka sama dia dan gue juga nggak benci sama dia.”
Alis Satria terangkat satu. “Nggak benci sama Setyo? Bukannya waktu itu lo bilang lo sangat membenci Setyo? Dulu sewaktu sekolah pun, lo juga mengucapkan kalimat yang sama. Jadi, sekarang perasaan benci itu berubah jadi cinta nih ceritanya?”
Aulia berdecak. “Bukan berarti perasaan gue berubah jadi cinta buat Setyo, Sat. Gue cuma bilang, gue nggak benci dia. Nggak benar-benar membenci dia maksudnya. Selama ini mungkin gue jengkel setengah mati sama dia dan sering ribut, tapi gue nggak benar-benar membenci dia, kok. Yang lagi gue pikirin saat ini adalah....”
“Adalah...?”
Aulia bingung, apakah dia harus menceritakan kejadian tempo hari kepada Satria atau tidak. Masalahnya, Satria dan Setyo itu benar-benar bersahabat dekat bagaikan anak kembar. Ke mana-mana selalu bersama, tidak pernah ada yang mereka tutupi satu sama lain. Keduanya saling percaya dan saling mendukung. Jadi, Aulia takut jika apa yang akan dia ceritakan ini nantinya akan disampaikan Satria juga kepada Setyo.
“Aulia, it’s ok. Kalau lo ngerasa berat buat cerita, gue nggak masalah. Gue nggak akan maksa. Biar gimana, itu kan masalah personal lo. Gue hanya orang luar yang nggak berhak untuk maksa lo cerita.” Satria tersenyum menenangkan dan mengacak lagi rambut Aulia. Namun kali ini, dia melakukannya dengan lembut.
“Bukan begitu, Sat.” Aulia tersenyum tipis. “Jadi, mm... tempo hari gue jalan sama Stevano dan Andini. Setyo juga ikut. Terus, gue ketemu sama Kayla, mantan pacarnya Setyo. Lo pasti kenal sama dia.”
Sebagai jawaban, Satria mengangguk.
“Mereka mengobrol akrab banget. Gue sih, sebagai orang luar yang nggak tau apa pun soal bentuk hubungan mereka di masa lalu, memutuskan untuk menjadi manusia tau diri dan pergi ninggalin mereka. Ya, mungkin mereka mau bernostalgia atau semacamnya. Terus, tiba-tiba aja Kak Saizou muncul di dekat gue dan bilang kalau Setyo dan Kayla itu saling mencintai sampai sekarang dan pas mereka pacaran dulu, mereka sering menghabiskan waktu bareng di kamar hotel.”
“Aulia, omongan Kak Saizou sama sekali—“
“Iya, gue tau itu cuma bualan Kak Saizou doang,” potong Aulia cepat. “Hari itu juga, Setyo datangi gue. Dia jelasin semuanya, tentang hubungannya dengan Kak Saizou dan semua perbuatan Kak Saizou di masa lalu sampai sekarang. Gue tadinya nggak percaya. Tapi, Setyo sendiri menyuruh gue untuk tanya langsung ke Kayla dan setelah melihat reaksi lo barusan, gue jadi semakin yakin kalau Setyo berkata jujur.”
Jujur saja, Satria tidak tahu harus merespon apa sekarang. Sejak bersahabat dengan Setyo, Satria sudah tahu hubungan persaudaraan yang sangat tidak baik di antara Setyo dan Saizou. Satria juga tahu alasan dibalik semua tindakan Saizou kepada Setyo, ditilik dari cerita sahabatnya tersebut. Hanya saja, Satria bertanya-tanya sejak dulu, sampai kapan Saizou akan bersikap seperti ini kepada adiknya sendiri?
“Terus, tau-tau aja Setyo jatuh meluruh. Gue panik, dong. Gue samperin dia, gue tanya apa dia baik-baik aja. Dia bilang, dia nggak apa-apa. Hanya terlalu lega karena kesalahpahaman di antara kami sudah bisa diselesaikan. Dia juga bilang....” Aulia menarik napas panjang dan mendongak untuk menatap langit senja. “Kalau dia nggak mau harus dibenci lebih daripada ini sama gue. Setelahnya, dia mencium gue.”
Baru saja Satria ingin membuka mulut setelah sempat melongo akibat kalimat Aulia barusan, cewek itu cepat-cepat menambahkan, “Di kening. Dia nyium gue di kening.”
Tanpa sempat berpikir, Satria menghembuskan napas lega. Mendengar itu, Aulia menoleh ke arah cowok tersebut dan mengerutkan kening. “Kenapa gue mendapat kesan kalau lo terdengar lega saat mendengar penjelasan gue tadi?”
Satria mematung sebentar, kemudian rileks kembali. Cowok itu tersenyum dan mendesah panjang, kemudian menaruh tangannya di kepala Aulia. Aulia sendiri membiarkan. Baginya, Satria seperti sosok seorang kakak yang begitu peduli dan perhatian dengan adiknya. Sama seperti sikap ketiga kakak cowoknya di rumah.
“Gue emang lega. Lega karena Setyo hanya mencium lo di kening.” Cowok itu balas menatap Aulia tepat di manik mata. Senyuman lembutnya muncul ke permukaan. “Karena....”
Kedua mata Aulia membulat maksimal sekarang. Cewek itu terlalu kaget untuk menggerakkan tubuh. Dia hanya diam saat Satria mencondongkan tubuhnya ke depan, mencoba menghapus jarak di antara mereka. Kini, Aulia bisa merasakan hela napas Satria. Wajah mereka hanya menyisakan jarak tiga senti saja. Mata Satria yang lembut tetapi juga tegas menyusup masuk ke dalam matanya, membuat Aulia bingung harus melakukan apa.
Dan sekarang, bibir Satria hanya tinggal melaksanakan tugasnya.
Menempel dan menyapukannya ke bibir merah ranum milik Aulia.
###
Sudah dua hari, Setyo terus saja melamun jika ada kesempatan.
Cowok itu mengutuk ketololannya karena sudah kelepasan mencium kening Aulia malam itu. Malam itu, setelah tersadar dari apa yang sudah dia lakukan kepada Aulia, Setyo langsung mengerjap, berdiri cepat dan mengangkat kedua tangan. Dia menunduk, menatap Aulia dengan tatapan panik ketika cewek itu mematung sambil memegang keningnya sendiri.
Ketika pintu kamar Aulia diketuk dengan membabi-buta dari luar, Setyo merasa lega luar biasa sekaligus gugup. Lega karena keadaan terselamatkan oleh ketukan yang bisa diduga oleh Setyo dilakukan oleh Austine—dan memang kakak kembar Aulia itulah yang mengetuk pintu kamar Aulia—gugup karena membayangkan apa yang akan dilakukan oleh cowok itu, jika dia melihat keadaan adik kembarnya saat ini.
Dan begitu pintu kamar Aulia dibuka oleh Setyo, Austine langsung menerjang masuk. Dia menatap Aulia yang terlihat syok di tempatnya, kemudian memberikan Setyo pelototan mengerikan.
“Lo apain adik gue, sialan?” tanya Austine malam itu dengan nada tajam. Dia mencengkram kerah baju Setyo sedangkan Setyo hanya mengangkat kedua tangan sambil meringis aneh.
“Nggak gue apa-apain, sumpah!” Sadar bahwa sumpahnya tadi palsu, Setyo segera menggeleng. “Maksud gue, nggak gue apa-apain.”
Mata Austine menyipit tajam. “Kenapa lo tarik lagi sumpah lo, Mas Setan?”
Setyo tertawa hambar dan mengarahkan matanya ke sudut kanan atas. “Mm, kata Mama, nggak boleh sumpah-sumpahan soalnya nanti sumpah kita itu harus dipertanggungjawabkan.”
“Dan lo nggak bisa mempertanggungjawabkan sumpah lo karena lo emang habis apa-apain adik gue, kan?!”
Mengerahkan seluruh tenaganya, Setyo menggeleng. “Nggak! Nggak! Beneran, gue nggak apa-apain adik lo. Serius! Gue berani disunat lagi kalau gue bohong!”
Mengabaikan perdebatan di antara Setyo dan Austine, Aulia langsung berlari ke luar kamar dan menutup pintunya dengan bantingan. Sampai sekarang, Setyo belum lagi bertemu dengan cewek itu.
“Ngelamun aja.”
Suara itu menyadarkan Setyo, membuat cowok tersebut tersentak dan mendongak. Satria tersenyum dan menarik kursi di hadapannya, kemudian duduk manis di depan sahabatnya itu. Dia memanggil pelayan, menyebutkan pesanannya dan fokus kembali pada Setyo yang kini menghela napas.
“Ada masalah?” tanya Satria khawatir.
“Bukan masalah juga sih sebenarnya. Seenggaknya, menurut gue ini bukan masalah. Tapi, ini sebenarnya masalah juga. Cuma, bukan masalah yang harus dipermasalahkan. Intinya, ini bukan masalah.”
Mendengar kalimat Setyo, Satria langsung terbahak. Cowok itu memukul meja beberapa kali dan menggeleng. Sambil menyeka air di sudut matanya, dia berkata, “Kosakata lo bagus banget, Set. Gue sampai pusing.”
“Sori.” Lagi, Setyo menghela napas.
“Lo tau, Set? Hari ini, dalam kurun waktu kurang dari satu jam, gue udah ketemu dua orang yang lagi melamun, menghela napas berat dan bilang kalau mereka sebenarnya lagi nggak ada masalah, padahal sebenarnya ada masalah, walau nggak besar-besar banget dan sepele menurut gue.”
Alis Setyo terangkat satu. “Lo ketemu siapa sebelum ke sini?”
“Aulia.”
Jawaban itu membuat Setyo mematung. Cowok itu berdeham dan meminum es teh manis pesanannya. Setyo bisa bersikap semaunya, memperlihatkan pada seluruh dunia termasuk Satria, bahwa cowok itu biasa saja dengan jawaban Satria tadi. Namun, Satria tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran dan hati sahabatnya itu.
“Gue tadi mencium bibir Aulia, Set.”
Gelas di tangan Setyo pun meluncur dengan indah dari tangannya. Beruntung gelas itu jatuh di atas meja, meskipun isinya tetap tumpah. Seakan baru tersadar kalau minumannya tumpah, Setyo segera mengambil tisu sebanyak mungkin dan mengelapnya, kemudian meminta tolong pada pelayan yang lewat.
“Lo, apa?” bisik Setyo tidak percaya. “Lo nyium si cewek rese itu?”
Satria hanya diam.
“Kenapa? Kenapa lo nyium dia?” tanya Setyo lagi. Kali ini dengan nada berapi-api dan menuntut.
“Karena gue suka sama dia. Dari SMA.”
Pengakuan Satria itu membuat Setyo bungkam. Selama bersahabat dengan Satria, Setyo tidak pernah tahu kalau sahabatnya itu menyukai Aulia. Kenapa Satria tidak pernah bercerita kepadanya? Kenapa baru sekarang? Kenapa harus di saat Setyo mulai menyadari sesuatu yang berhubungan dengan hatinya kepada Aulia?
Bahwa sepertinya, dia menyukai cewek itu.
“Lo boleh tenang, Set,” kata Satria kemudian. Cowok itu terkekeh dan meminum pesanannya yang baru diantarkan. “Gue emang suka sama Aulia dan baru aja menyatakan perasaan gue itu, tapi Aulia menolak gue. Dia bilang, dia hanya menganggap gue sebagai seorang teman dan kakak. Nggak lebih.”
Saat ini, Setyo merasa beban berat di dalam hatinya terangkat dengan sangat cepat. Cowok itu tidak bisa menyembunyikan senyuman puas dan leganya, hingga membuat Satria terbahak lagi.
“Ngaku, lo juga sebenarnya suka sama Aulia, kan?”
Sambil berdeham, Setyo bersedekap. “Kata siapa? Biasa aja. Lo ditolak tapi dia biarin lo untuk nyium bibirnya? Apa-apaan, tuh?”
Satria mengibaskan sebelah tangan. “Anggap aja cuma sekedar sapaan. Greeting. Nggak usah dilebih-lebihkan, lah. Lagian, misalkan nanti lo jadian sama Aulia pun, lo juga udah pernah nyium cewek lain yang statusnya saat ini adalah mantan-mantan lo, kan?”
“Iya, sih.” Setyo mengusap tengkuknya.
“Berarti, lo mengakui kalau lo suka sama Aulia? Tadi pas gue bilang kalau misalkan nanti lo jadian sama Aulia, lo nggak membantah.”
“Shut up, Sat. Just eat.”
Satria tersenyum dan mengedikkan bahu. Dia memang sudah ditolak oleh Aulia saat berada di taman tadi. Ketika dia berniat mencium Aulia, cowok itu berhenti. Satria menciptakan jarak dan menyatakan perasaannya terlebih dahulu, kemudian Aulia menolaknya dan meminta maaf.
Tapi, biarlah hal itu jadi rahasia. Satria tidak akan pernah memberitahu Setyo bahwa sebenarnya, cowok itu tidak pernah mencium Aulia. Karena, ekspresi gusar dan tidak rela di wajah Setyo saat ini adalah hal yang menyenangkan bagi Satria.