bc

CEO Menikahi Gadis Desa

book_age16+
4.7K
FOLLOW
22.0K
READ
others
drama
tragedy
comedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

Bagi seorang Mahadirga Bagaskara Saputra, menikah sama dengan masuk penjara. Ia tidak pernah mau terikat dengan lawan jenis manapun. Namun, takdir membawanya pada sebuah keharusan. Dirga tidak bisa menolak ketika seorang pria yang menolongnya dari kecelakaan meminta ia menikahi anak gadisnya.

Dirga tidak habis pikir, bagaimana bisa ada gadis yang sepolos Delia. Sebegitu lugunya kah hingga gadis itu mampu membuat sang pemain wanita—seperti Dirga—mati kutu. Dirga bahkan sampai harus meminta izin untuk sekedar menyentuh rambutnya saja. Akan tetapi, benarkah Delia itu sangat polos? Atau dia hanya pura-pura saja.

Banyak yang terjadi antara Dirga dan Delia. Gadis dari Desa itu mampu mengubah kepribadian Dirga yang amat manja, menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Seiring berjalannya waktu badai rumah tangga semakin kuat menerjang. Kebohongan dan pengkhianatan hingga rahasia besar terbongkar. Sanggupkah keduanya bertahan?

chap-preview
Free preview
Malam Pertama
Gemericik air terdengar dari ruang sebelah. Menandakan masih ada seseorang yang sedang mandi di dalamnya. Sementara di ruangan serba putih ini, terdapat ranjang king size mewah dengan sprai yang juga berwarna putih. Ada taburan kelopak mawar merah membentuk hati. Di atasnya, gadis berusia 19 tahun tengah gelisah. Ingin rasanya ia kabur saja, tetapi harus ke mana. Tidak ada tempat yang bisa ia tuju.  Mata yang dahulu berbinar, kini sayu. Tampak murung dan ketakutan. Padahal, beberapa jam yang lalu, ia baru saja resmi dipersunting lelaki yang kini keluar sambil menyugar rambutnya yang basah. Degup jantung gadis itu semakin meronta tidak karuan. Benarkah ini nyata? Atau mimpi belaka? Di ruangan ber-AC, gadis itu justru mengusap peluh yang mengucur di dahi. Malam pertama, itulah sebutan banyak orang bagi malam indah yang akan dilewati sepasang insan yang telah resmi mengikrarkan janji suci. Akankah keindahan itu tercipta malam ini? Jujur, Delia sangat gugup.  Delia hanya gadis desa biasa yang pada akhirnya diperistri oleh pria kaya bernama Dirga. Beruntung, kata orang, ia gadis yang sangat mujur. Menurut banyak orang yang menyaksikan pernikahannya tadi, nasib Delia bagai mimpi ketiban durian runtuh. Dirga cukup tampan, apalagi dia seorang pria mapan. Jika menilik dari usia, Delia sebenarnya lebih pantas jadi adik Dirga nomor 2 atau bahkan nomor 3. Bayangkan saja 13 tahun selisih usia keduanya.  Gadis polos itu meneguk ludah tatkala Dirga baru saja selesai menyisir rambut. Ya Tuhan, pahatan-Mu luar biasa indah. Batin Delia yang kemudian diiringi kalimat istigfar berkali-kali. Ia memalingkan wajah begitu Dirga menengok ke belakang. Apalagi, ketika lelaki itu mulai melangkahkan kakinya menuju ranjang, Delia pun semakin gemetar.  "Astagfirullah." Delia reflek berucap. "Kenapa, De?" tanya Dirga khawatir karena Delia—gadis yang telah resmi menjadi istrinya itu—tampak kaget begitu melihat ia sudah berada tepat di sampingnya. "Enggak, gak apa-apa. Cuman … cuman …."  "Cuman apa?" tanya Dirga lagi, sedikit menggoda. Menatap gadis di sampingnya dengan begitu lekat. "Jangan gitu ngeliatinnya, Delia malu," ucap Delia polos. Mendengar itu, Dirga terbahak. Tertawa lepas dan sialnya tawa itu memesona gadis di sisinya. Dirga melihat jelas mimik wajah Delia yang terpaku sampai tak berkedip.  "Maaf, maaf. Habisnya kamu lucu." Dirga malah meminta maaf karena merasa Delia tidak suka ia tertawa. Dirga mengusak lembut puncak kepala Delia. "Eh, gak apa-apa, kan? Udah sah, kan?"  Dirga melambai-lambaikan tangannya yang baru saja ia gunakan untuk menyentuh bagian kepala istrinya. Dan lagi-lagi Delia hanya merespon dengan raut wajah yang menggemaskan. "Bisa gak, jangan kayak gitu? Gemes!" Dirga mencubit pipi tembem Delia. Gadis itu menyentuh kembali pipi yang baru saja dipegang Dirga sambil tersenyum canggung. "Bobo, yuk!" ajak Dirga. Ia sudah merosot turun, merebahkan tubuhnya. "Eum ... di-di sini?" tanya Delia ragu. "Iya, di sini. Memangnya mau di mana lagi? Di sofa?" Dirga balik bertanya. Laki-laki itu bingung dengan sikap Delia yang menurutnya aneh sekaligus lucu. "Satu ranjang?" "Ya, iya dong. Kan kita halal. Halalan toyiban." Dirga lagi-lagi tergelak. "Ish, makanan kali, ah." Respon Delia. Suaranya lembut mengayun. Terdengar malu-malu. Sudah cukup, gadis ini masih terlalu polos. Tapi, benarkah dia polos? Usianya memang masih terbilang muda. Namun, seharusnya dia sudah tahu beberapa hal sensitif. Batin Dirga. "Eh, iya, ini malam apa, ya?" tanya Dirga tiba-tiba saat Delia sudah berbaring di sampingnya. "Malam? Malam Senin, kan? Kenapa?" Dengan wajah lugu si gadis malah balik bertanya, seraya menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya. Dirga tertawa lagi, benar-benar Delia membuat malamnya berbeda. Jarang sekali Dirga sebahagia ini. Bisa tertawa lepas dan bercanda. Inikah rasanya punya pendamping hidup? Hal yang selalu diributkan ia dengan sang mama.  *** "Usia kamu itu sudah kepala tiga Dirga." "Kepala Dirga cuma satu, Mama!" protesnya. "Sudah mau tiga puluh dua tahun. Kapan kamu mau menikah?" tanya mamanya kesal. "Ah, baru tiga dua. Mama aja masih inget umur aku, berarti belum tua-tua banget." Lagi-lagi ia menjawab asal. "Dirga!" "Mama!" "Hissh, kamu tuh. Mama mau cucu tau gak?" "Enggak!" "Dirga!" "Iya, Mama. Mamaku yang cantik. Mamaku yang baik. Mau berapa cucunya? Dua, tiga atau sepuluh. Dirga kasih, gak harus nikah." Mama Dirga hanya mengurut keningnya yang terasa nyeri. Kelakuan anak semata wayangnya bikin pening kepala. Bahkan sarapan pun tidak berselera. Wanita paru baya yang melahirkan Dirga itu lantas berdiri dari tempat duduknya. "Mama mau ke mana?" tanya Dirga enteng setelah berhasil membuat sang Mama jengkel. "Kamar, ah. Pusing mama nasihatin kamu." "Yeah. Gitu aja sewot." Saat itu mereka hanya berdua. Papa Dirga tengah berada di luar kota untuk meninjau perkebunan sawit. Dirga di minta menyusulnya pagi ini. Namun sepertinya, dia sangat enggan.  "Males banget, sih. Belum punya istri aja sudah diatur-atur. Kerja ini, pergi ke sini! Susul Papa, bantuin Papa. Ah, membosankan." Gerutu Dirga sambil mengaduk-aduk makanan dengan sangat kesal, sepeninggal ibunya yang lebih memilih ke kamar daripada meladeni Dirga.  Memang tidak pernah ada habisnya jika membicarakan perihal pasangan hidup. Di usia Dirga yang seharusnya sudah membina rumah tangga, anak semata wayang dari keluarga Bagaskara itu masih saja seperti anak kecil. Senang keluyuran, manja, dan susah diatur. "Makanya, Aden nikah. Kalo udah nikah kan enak ada yang ngurusin. Percaya deh sama bibi, nikah tuh enak. Tidur ada yang nemenin. Makan ada yang nemenin. Gak akan diceramahin terus sama Nyonya." Tiba-tiba, entah datang dari alam mana, bibi pembantu di rumahnya panjang lebar menyahuti gerutuan Dirga sambil cekikikan.   "Issh, si bibi, nih!" Dirga mendengkus, "Eh, tapi, emangnya beneran enak, ya, punya istri? Bisa … ekhem …" Dirga pura-pura terbatuk. "Iya, atuh. Bisa banget, mau ekhem sekali mau ekhem dua kali, bisa, Den. Bisa pisan. Mantep pokoknya mah, lah, punya istri, teh." Bibi pembantu terus memprovokasi. "Masa gitu aja, Aden gak ngerti. Payah!" "Sett, dah, dibilang payah!" Dirga cemberut. "Ehehe, habisnya masa gak mau nikah, kan aneh. Orang mah masih muda aja ngebet, ini enggak?" Si bibi mendengkus, meremehkan. "Bukan gitu, Bi. Kata temenku, punya istri itu ribet. Banyak aturan. Gak bebas." "Ya, cari istri yang gak usah banyak ngatur atuh, Aden. Jangan kayak si Neneg lampir itu, Den. Nyonya gak bakalan setu—" "Namanya Angel, Bi. Bukan Neneng lampir!" potong Dirga. "I-iya, itu. Nyonya gak akan setuju kalau sama dia. Nah, jadi, kita sebagai laki-laki itu harus punya jiwa pemimpin. Gak boleh lemah, jangan mau diatur-atur istri. Istri yang harus tunduk sama suami. Karena … kalau istri gak tunduk sama suami, itu dosa, Den. Kalo dosa masuk neraka. Katanya, sih, neraka itu panas. Kalo gak percaya tanya aja—" "Pa haji, Bi?" "Hissh, tanya yang udah pernah ke neraka atuh, Aden." "Bibi pernah?" "Ish, ya, enggak atuh. Belum pernah bibi mah. Enggak mau juga masuk neraka, bibi maunya masuk surga, Den," jawab si bibi ceplas-ceplos. "Ck! Lagian kita itu, kita itu. Memangnya, Bibi laki-laki juga apa?" "Ya, bukan atuh, bibi mah perempuan. Awewe." Bibi pembantunya itu sedikit menekankan kata perempuan dalam bahasa sunda.  "Terserah Bibi lah. Makin pusing Dirga dengerin Bi Asih ngomong." Dirga—yang tidak pernah bersikap dewasa itu—melahap kembali sisa nasi goreng di hadapannya. "Lah, iya. Kalau Bibi awewe, nih, Bibi tunduk dan patuh gak sama Mang Kasim?" Dengan mulut masih mengunyah makanan, Dirga sengaja memutar balik pertanyaan. Sebab ia tahu betul bagaimana sepasang suami-istri itu sering terdengar meributkan hal-hal kecil. "Enggak! Tapi, kan itu be—" "Apanya yang beda? Sama aja, Mang Kasim juga terkekang sama Bi Asih, enggak boleh ngerokok, jangan sering-sering ngopi. Apaan tuh istri begitu?" cela Dirga. "Pantesan itu si Mamang sering nongkrong di warung deket kantor. Mana penjual kopinya aduhai montok banget lagi. Si Bibi mah kalah. Jauh!" imbuh Dirga sambil menggeleng-gelengkan kepala. Suaranya lebih pelan dari sebelumnya, tetapi masih bisa terdengar oleh pembantunya yang berdiri di samping kiri Dirga. Setelah mengatakan kalimat yang menyulut api, Dirga berlalu sambil terkekeh. "Yeah, si Aden mah, dibilangin, malah ngaleos kitu wae. Dangukeun yeuh papatah tinu geus pangalaman, ambih nyaho! Eh, tapi naon tadi nya? Si Bapa sok ngopi cenah di warung? Tukang kopina bahenol? Wah, awas keun si Bapa moal dibere. (Yeah, si Aden, dibilangin malah pergi gitu aja. Dengerin nih yang udah pengalaman! Eh, tapi tadi apa katanya? Si Bapa suka ngopi di warung? Penjualnya seksi? Wah, awas aja dia, gak bakal dikasih)." Sehelai kain lap di pundak bibi pembantu bernama Jumiasih itu kini di lemparnya ke atas meja makan. Dia pun mulai membersihkan sisa sarapan sambil menggerutu, meluapkan kekesalan atas apa yang baru saja juragan mudanya ucapkan. *** Dirga sebenarnya bertujuan menggoda Delia saat menanyakan malam apa ini. Bukan malam senin jawaban yang ingin ia dengar dari gadis itu, melainkan malam pertama di mana seharusnya mereka habiskan bersama. Dirga masih tertawa, sementara Delia menatap heran pada laki-laki itu.  "Mas Dirga kenapa, sih. Bener 'kan yang Delia bilang? Ini emang malam senin." "Iya, iya, kamu bener, kok. Gak ada salah, ini emang malam senin. Sudah, tidur sana!" Dirga cekikikan. "Gimana mau bisa tidur, kalo Mas Dirga masih ketawa-ketawa. Seneng sendiri, ngetawain apa coba?" desis Delia. Lalu, gadis itu mengubah posisi tubuhnya membelakangi Dirga. Dirga masih mengingat hari saat ia pergi ke desa untuk menyusul papanya. Hari itu, sebelum berangkat, Dirga kembali menemui sang mama yang tampak masih kesal. Rima, wanita 52 tahun tersebut hanya melirik sekilas kedatangan Dirga. Rima sengaja berpura-pura merajuk agar anak semata wayangnya itu merasa bersalah. Bahkan, saat itu Dirga sampai membujuk mamanya agar mau bicara dengan mengiming-iminginya menantu.  Dirga mengatakan bahwa ia nanti akan membawa menantu dari desa. Niatnya hanya bergurau saja. Namun, Tuhan mengabulkan itu tanpa terduga.  "Ah, ucapanku hari itu kenyataan. Benar-benar ajaib," gumamnya. Dirga tidur telentang sambil menopang kepala dengan kedua tangannya yang berada di atas bantal. Netranya menatap langit-langit kamar. Pikiran Dirga menerawang jauh ke masa sebelum ia menikahi Delia.  Dirga melirik Delia yang menggeliat kecil. Sepertinya gadis itu mendengar gumaman ia tadi. Tak lama berselang, Dirga sudah mendengar dengkuran halus dari gadis pemilik nama asli Delia Aurora. Napasnya yang teratur menandakan bahwa gadis itu telah berangkat lebih dulu ke alam mimpi

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sang Pewaris

read
52.9K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Marriage Aggreement

read
80.1K
bc

Scandal Para Ipar

read
692.7K
bc

Dilamar Janda

read
318.8K
bc

JANUARI

read
37.0K
bc

Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi

read
2.6M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook