Ijab Kabul yang Diulang

1943 Words
Entah bagaimana Dirga harus menebus semuanya sekarang. Terlebih saat ini, ia tengah memikirkan nasib seseorang yang telah ia nodai. Malam itu, gairah Dirga yang memuncak seiring pengaruh alkohol membuatnya berakhir di unit apartemennya bersama wanita. Melakukan kegiatan panas tanpa pengaman. Meski hanya satu malam, tetapi Dirga terus memikirkan bagaimana akhir dari benih yang ia tanam. Padahal biasanya, Dirga tidak pernah lupa untuk memakai pengaman itu. Ah ... Dirga sudah mencoba memejamkan mata. Namun, bayangan wanita itu enggan juga pergi. Bagaimana nasib dia sekarang? Dirga tidak melihat kedatangannya di acara pernikahan ia dan Delia siang tadi. Akhirnya, Dirga pun kembali bangkit. Duduk bersandar memangku sebuah bantal. Tangannya terulur meraih ponsel di atas nakas, di samping lampu tidur. Ia melihat kontak dengan nama Angelica. Jemari Dirga lihai mengetikkan pesan, berharap wanita itu mau meresponnya. "Kamu tahu Dirga, kenapa mama tidak setuju kamu dengan perempuan itu? Karena mama tau dia bukan wanita yang baik. Mama tidak mau kamu sakit hati nanti." Kalimat mama kembali berputar di kepala Dirga. "Kalau Angel perempuan gak baik, lalu aku ini apa, Ma?" gumam Dirga. "Pernikahan itu sebuah komitmen. Kamu harus bisa menjaga kesucian dari hubungan ini. Bagaimanapun, Delia itu jodoh kamu. Kalau mama saja bisa langsung suka, kamu juga pasti bisa begitu. Waktu akan menjawab semuanya." Kalimat sang mama selanjutnya semakin membuat Dirga serba salah. "Ah ... ini salah, gak seharusnya aku menghubungi dia lagi." Dirga baru saja hendak menghapus pesan yang telah ia kirim saat sebuah chat masuk ke nomornya. Angelica membalas. Menatap layar ponsel dengan segala pengakuan yang ada dalam deretan kalimat itu membuat mata Dirga terasa perih. "Bagaimana ini? Kenapa jadi begini? Kenapa baru ngomong sekarang?" Berbagai tanya memenuhi otak Dirga yang seketika dibuat tidak bekerja. Dirga memilih pergi ke balkon kamar. Berbicara di sana dengan wanita di seberang sambungan telepon untuk sekedar memastikan kebenaran. Dirga mondar-mandir tidak karuan, sambil berdecak dan mengacak rambutnya sendiri. Dua jam berlalu. Rasa kantuk yang tadi sempat hilang, kini kembali datang. Dirga sudah mengakhiri obrolannya di telepon dari satu jam lalu, tetapi ia masih betah duduk ditemani semilir angin malam. Waktu sudah merangkak naik. Semakin larut. Denting jam juga telah menunjuk pukul dua dini hari. Dirga melangkah kembali masuk dan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Maaf gadis malang. Kamu harus berada di dekatku yang tak sempurna ini," ucap Dirga. Tangannya menyentuh kepala Delia. Mengusap-usapnya dengan sangat lembut dan hati-hati. Setelah puas memandangi wajah Delia, Dirga pun turut memejamkan mata. Ikut terlelap bersama Delia dan kelopak mawar merah yang semerbak. Andai bukan Delia, Dirga tidak akan berpikir dua kali 'tuk melewati malam ini dengan begitu indah. Dirga sadar gadis di sampingnya masih sangat muda. Tak sepantasnya dia terjebak bersama laki-laki seperti dirinya. Pria yang bahkan sering mempermainkan hati banyak wanita. *** Dirga masih ragu saat ayah Delia menitipkan gadis belia itu kepada dirinya. Nikahi, jaga, dan sayangi. Saat itu juga dengan terpaksa, akhirnya Dirga mengucapkan ijab kabul. Di hadapan ayah Delia yang hampir sekarat, Dirga menyebut nama gadis itu untuk pertama kalinya. Beberapa warga menjadi saksi pernikahan sederhana yang digelar di rumah sakit. Sungguh mirip adegan dalam sinetron. Batin Dirga. Kebanyakan dari para saksi merupakan pekerja di kebun sawit papanya. Beberapa di antara mereka ada yang saling berbisik. Menyebut Delia begitu beruntung. Bahkan mengatakan jika ayah Delia mengambil kesempatan yang bagus. Sampai di Jakarta, Dirga mengenalkan Delia pada Rima—sang mama. Wanita yang telah melahirkan Dirga itu langsung saja menyukai Delia. Memang ajaib. Berbeda dari biasanya saat Dirga mengenalkan seorang perempuan meski statusnya hanya sebagai teman. Mama Rima selalu saja bersikap tak acuh. Tidak menyukai satu pun dari mereka termasuk Angel. Dan kalau pada akhirnya Dirga enggan menikah, itu pun sebab Rima yang suka memilih. Namun, Delia, sebentar saja Rima terlihat sangat menyayangi gadis itu. Bahkan Rima meminta ijab kabul diulang. Sebab, Rima merasa pernikahan Dirga tidak sempurna jika tak disaksikan langsung oleh dirinya. Luar biasanya lagi, Rima mengadakan acara pesta besar-besaran demi menyambut menantu yang ia idam-idamkan. Dirga beruntung, sebab tidak ada yang menentang keberaniannya menikahi gadis yang baru saja ia kenal. Semua tampak bahagia. Berita pernikahan Dirga pun tak ayal jadi trending topik seantero kota. Judul pemberitaan menarik banyak perhatian. Katanya, 'Crazy Rish nan tampan rupawan yang dikenal playboy telah menikah, takluk oleh seorang gadis desa biasa'. Jujur saja, sampai detik ini, bagi Dirga, dirinya seolah masih tak percaya. Keadaannya seperti baru dibangunkan dari tidur panjang dengan mimpi-mimpi yang aneh. Sebagian ruh Dirga masih menari-nari di atas lautan bunga tidur yang menakjubkan. Ia terpaku, menatap lurus pada sosok yang menemaninya terjaga. "Mas, Mas, Mas Dirga," panggil Delia saat melihat suaminya itu terbengong. Waktu baru menunjukkan pukul 03.15 dini hari. Rasanya Dirga sudah lama terpejam tadi, nyatanya di luar sana hari masih menunjukkan gelap. Dirga bahkan baru satu jam tertidur. Dirga merespon sumber suara yang baru saja mengetuk gendang telinga. Menatap kosong tanpa berkedip. Tak ayal, gadis di hadapannya malah terheran-heran. "Mas! Ngelindur, ya. Jangan ngeliatin gitu, ih. Delia takut ...." Dia bergidik. "Serem tau!" "Serem apanya, muka ganteng begini dikata nyeremin." Dirga mendengkus. Tangannya terulur hendak meraih gelas, dan Delia dengan sigap mengambilkannya. Ia meminum air putih tersebut hingga kerontang. "Ngapain kamu jam segini, pake baju kayak gitu?" tanya Dirga prontal. "Hah?" Delia tertawa kecil. "Malah ketawa," protes Dirga. "Lagian, emang Mas Dirga gak pernah liat ini?" Delia menunjukkan mukena putih yang masih melekat di tubuhnya usai menjalankan salat sunah. "Iya, tau. Itu mukena kan?" "Oh, kirain gak tau." Gadis itu kembali terkekeh pelan. "Delia habis tahajud. Maaf, Mas keganggu tidurnya, ya? Delia kekencangan suaranya tadi waktu mengaji." Wajah Delia berubah sendu. Binar matanya menunjukkan penyesalan akibat merasa bersalah sudah membuat sang suami terjaga. "Enggak, kok. Emang pengen minum aja," ucap Dirga dengan senyumnya yang terukir lebar. Ia takjub akan apa yang dilihatnya, Delia gadis lugu yang manis, lagi saleha. Ditambah saat tadi Dirga mendengar suara Delia yang merdu melantunkan ayat suci, sungguh itu hal paling indah bagi seorang Mahadirga. Delia membuka mukena lalu membereskannya lagi ke tempat semula. Delia duduk di sofa. Ia masih canggung untuk kembali tidur di sisi laki-laki yang menurutnya masih asing itu. "Kenapa?" tanya Dirga. "E-enggak, kok, Mas. Mas Dirga tidur lagi, gih. Ini masih pagi. Delia ma-mau—" "Mau apa? Kamu butuh sesuatu? Katakan saja!" Dirga memotong kalimat Delia yang tercekat di kerongkongan. Delia tidak tahu mau apa, ia sebenarnya hanya mencari-cari alasan agar tidak harus tidur bersama, lagi. "Sini! Kamu juga tidur lagi. Di sini ...." Dirga menepuk tempat kosong di sebelahnya. "Jangan membantah," imbuhnya dengan suara mengayun, menggoda. Delia menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Langkah ia gontai, kembali ke sisi ranjang sebelah kiri Dirga. Ia masih berdiri kaku sambil menatap Dirga yang sudah terpejam dengan cepat, kembali ke dasar mimpi. *** "De," panggil Dirga. "Hari ini saya ke kantor, ya? Kamu baik-baik di rumah." "I-iya, Mas." Delia sangat gugup pagi ini. Bukan karena melihat aura Dirga yang meningkat berkali-kali lipat saat mengenakan setelan formal, melainkan kejadian bangun pagi tadi lah yang membuat ia jadi salah tingkah. "Kenapa? Kok gugup," tanya Dirga. Delia masih diam sambil menunduk. "Oh, karena tadi? Maaf-maaf, gak sengaja, gak sadar. Maaf, ya?" lanjut Dirga menyadari penyebab sikap aneh Delia. Bagaimana tidak, Delia terbangun sambil histeris tadi begitu mendapati tangan kokoh Dirga menangkup tepat di atas salah satu buah kholdi Hawa, milk Delia. Bahkan Dirga sedikit meremasnya. Gadis itu mendongak. Wajahnya masih sepucat tadi. Delia tersenyum canggung dan menggigit bibir bawahnya sebelum ia bicara. "Enggak. Gak harus minta maaf, kok, Mas. Itu kan ... itu, eum ...." Sebenarnya Delia mau bilang, itu haknya Dirga. Namun, tidak ada keberanian mengatakannya selain lagi-lagi ia menggigit bibir. Sungguh tingkah menggemaskan Delia membuat bulu kuduk Dirga meremang. Ayolah, Dirga! Kamu pemain, lupain Angel, belum tentu juga dia begitu karena ulahmu. Angel juga tidak sesuci itu untuk setia dengan satu pasangan, kan? Pikirkan Delia saja. Gimana cara mendekati gadis malang itu. Bisa-bisanya kamu enggak berani sama gadis polos seperti dia. Dirga mengusap tengkuk. Fokusnya tertuju pada gigi kecil Delia yang masih saja melakukan kegiatan mengigit bibir. "Sudah, De!" Suara Dirga kian memberat. "Apa, Mas?" Dahi Delia mengkerut. Tidak paham akan apa yang dimaksud Dirga. Apa yang harus ia sudahi? Pikirnya. "Itu ... anu ... bibir." Dirga menunjuk milik Delia hingga gadis itu memicingkan mata. "Ma-maksudnya, sudah jangan digigit-gigit nanti luka." Ini, sih, harus banget menghindar, kalau tidak, bisa khilaf. Dirga berbalik menuju cermin untuk menyempurnakan penampilannya. Sekaligus juga menghindari Delia yang masih mematung di samping tempat tidur—sesaat setelah gadis itu membereskannya. Dirga menyisir rambut sambil bersiul-siul. Menyemprotkan minyak wangi ke beberapa bagian kemeja. Kemudian, Dirga menarik satu laci di samping kiri untuk mengambil koleksi jam tangannya. "De, ambilkan dasi dong!" pinta Dirga setelah jam tangan mewah itu berhasil melingkar dipergelangannya. Pantulan Delia yang mengangguk terlihat jelas di cermin. Dirga mengulas senyum tipis saat gadis itu kemudian berjalan mendekati lemari. "Mas Dirga, dasinya di simpan di mana, ya?" tanya Delia ketika ia baru saja membuka pintu lemari. "Sebelah kanan, Sayang. Ada di bawah." Sontak saja jawaban Dirga membuat Delia makin tersipu, ia menunjuk-nunjuk lemari dengan gugupnya. Sapaan yang terlontar dari bibir pria itulah yang membuatnya salah tingkah. Dirga makin gemas melihat Delia yang sesekali berpura-pura membetulkan anak rambut ke belakang telinga. Rasanya seperti remaja sedang belajar PDKT. Batin Dirga. "Ketemu enggak? Kamu kok jadi gugup gitu dipanggil sayang sama suami." Dirga terkekeh. Ia kemudian duduk di pinggiran ranjang menunggu Delia membawakan dasi untuknya. "Apa, sih, Mas," cicit Delia. Gadis itu menghampiri Dirga dengan tangan mengenggam dasi. "Yang ini, kan?" "Iya, Sayang. Ayo dong! Udah siang ini, mas bisa-bisa dimarahi Papa kalo telat," ujar Dirga sengaja menggoda. Mata Delia kembali memicing, "Delia enggak salah denger, kan? Mas Dirga ... emangnya gak ngerasa kepaksa, ya, nikahin Delia?" "Kepaksa buanget sebenernya. Tapi ... ya sudahlah, jodohnya mungkin." Delia menunduk mendengar jawaban Dirga. "Maksud mas, bukan terpaksa yang gimana. Gimana, ya, jelasinnya." "Enggak apa, Mas. Delia ngerti, kok. Situasinya emang—" "Situasinya mas sudah telat ini." Dirga menilik jarum pada jam di lengannya. "Pasangin dasinya sekarang, ya, Sayang. Istri mas yang manis." Dirga sudah berdiri di hadapan Delia. "Ih ...." Tuh, kan, dia gigit lagi. "Mas aja boleh gak?" "Apa?" tanya Delia polos. Sejak kapan pemain wanita minta izin dulu mau kecup bibir saja. Dirga payah! Ia mengusak rambut Delia gemas. "Enggak jadi." Delia sudah membentangkan dasi di hadapan Dirga. Kain panjang berwarna navy polos tanpa corak itu dipilihkan Delia, menyesuaikan dengan jas dan celana yang dipakai Dirga. "Bisa pasanginnya?" Dirga menatap Delia dengan seksama. Gadis itu tidak terlalu jelek. Dalam artian dia cukup cantik dengan kulit putihnya. Wajah bulat dengan Cleft Chin alias dagu yang agak terbelah. Hidungnya juga sedikit mancung. Alis tegas dan bulu mata yang lentik. Mirip artis atau penyanyi Indonesia ... Dirga lupa siapa namanya. "Gini, kan, Mas?" canda Delia dengan melingkarkan dasi itu di lehernya sendiri. Membelitkan satu kali lalu memiringkan kepala serta lidah yang menjulur keluar. Mirip adegan gantung diri. "Heh, malah bercanda!" Delia tertawa lepas. Seakan beban di pundaknya lenyap seketika. Ia bahkan lupa posisinya yang masih sama-sama asing dengan Dirga—sang suami. "Maaf, Mas, maaf." Delia menutup mulut saat tawa tak dapat ia hentikan. "Tinggi banget, sih, kayak tiang listrik," oceh Delia sambil mendongak menatap leher Dirga. "Tiang listrik emang ada yang ganteng kayak mas?" Delia mendesis, "Duduk, ah, Mas. Enggak nyampe." Delia memegang pundak Dirga dan menyuruhnya kembali duduk di kasur. Gerakan spontan itu membuat Dirga terhanyut. Ia menurut pada titah Delia, tetapi kedua matanya tak lepas memindai wajah dan tangan si gadis yang berada di pundaknya, bergantian. "Ma-maaf," Delia menjauhkan tangan dari samping tubuh Dirga. Dirga meraih kedua tangan Delia yang terhempas pelan, lalu menuntunnya untuk melingkar di leher Dirga. Seketika, tubuh Delia menegang oleh perlakuan Dirga. Namun, gadis itu tetap menurut. "Pasang dasinya, Sayang," bisik Dirga di samping telinga sebelah kanan Delia dengan suara sengaja dibuat-buat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD