Pengakuan Kecil

1568 Words
Delia sudah turun ke lantai bawah lebih dulu, meninggalkan Dirga yang masih berkutat dengan sepatunya. Gadis itu menelisik sekitar, mencari keberadaan orang rumah. Namun, tak satu pun menampakkan batang hidung. Baik mama dan papa mertuanya tidak ada di sana. "Rumah sebesar ini, kalau di Desa, mungkin bisa menampung satu RT. Enggak capek apa, ya, yang bertugas bersih-bersih?" Gumam Delia sambil pula terkekeh. "Untung ada banyak pembantu, kalau tidak, repot. Tugas menantu ini yang ngurus rumah." Bola mata gadis itu memutar ke atas. Membayangkan bagaimana biasanya seorang menantu yang satu rumah dengan mertua harus bisa mengabdikan diri. Mengurus segala sesuatu termasuk urusan bersih-bersih dan memasak. Delia beruntung, karena ia tidak diizinkan bahkan sekedar menyentuh sapu. Gadis itu sudah tinggal selama satu minggu di kamar tamu sebelum acara ijab kabulnya diulang kemarin. Itulah sebabnya ia tahu, bahwa ada banyak pekerja yang melakukan semua tugas yang ia sebutkan tadi. "Kalau dipikir-pikir, aku itu beruntung, diperistri sultan seperti ini. Punya segalanya, tapi, kok, masih ada yang ganjel gitu. Aku takut enggak bisa diterima dengan baik. Mas Dirga pasti kepaksa banget nikahin aku." Gadis dengan rambut hitam legam yang panjangnya hampir menyentuh punggung itu masih berdiri di ujung tangga. Tangannya masih berpegangan pada pagar besi berwarna gold yang elegan dan mewah. Delia bergumam sendiri. Menghayati peran sebagai istri dari Mahadirga yang sama sekali tidak ia ketahui bagaimana kehidupannya selama ini. "Apa Mas Dirga benar-benar tidak punya pacar atau tunangan, ya? Sampai mau menikahi aku yang dari desa dan kampungan gini." Delia menilik penampilannya. Biasa saja. Baju yang ia punya sama sekali tidak berkelas alias murahan. "Gimana kalau ternyata Mas Dirga bohong. Dia sudah punya calon lain, atau bahkan sudah menikah sebelumnya?" Pikiran-pikiran negatif mulai merasuki otak kecil Delia. Ada rasa takut dan khawatir yang bercampur aduk. Ia sendiri sekarang. Setelah kepergian ayahnya, Delia sebatang kara. Bagaimana kalau ternyata Dirga tidak menganggapnya? Mengusirnya. Delia tidak tahu harus apa dan harus ke mana nantinya. "Ah, Del, mikir apa sih kamu ini." Gadis itu memukul kepalanya sendiri. Tidak mungkin Dirga begitu. Selama sepekan ini dia sangat baik. Walaupun Dirga dan Delia memang baru dekat sejak kemarin di atas pelaminan. Dan tidak mungkin juga ayah Delia menitipkan Delia pada Dirga kalau dia laki-laki yang tidak baik. Batin Delia terus memerintah otaknya untuk berpikir positif. Delia menarik napas panjang membuangnya perlahan. Ia membenahi penampilan sebelum melangkah ke ruang tengah. Degup jantungnya masih sama seperti saat berhadapan dengan Dirga di kamar tadi. Berada dalam jarak yang cukup dekat saat memasangkannya dasi membuat perasaan Delia tidak karuan. Delia bahkan bisa menghidu aroma maskulin yang menguar dari tubuh Dirga. Belum lagi tatapan pria itu yang cukup Delia pahami. Seringai serta suara beratnya yang menggoda. Ia tak sepolos itu untuk tidak tahu apa yang sedang lelaki itu pikirkan tentang dirinya. Duh, Delia. Ngaca dong! Mas Dirga gak nafsu lagi, lihat kamu yang kucel gini. Kalau orang lihat juga, mereka pasti ngira aku cuma pembantu di sini. Bukannya istri atau menantu, kan? Jangan kepedean. Tangan kecil Delia lagi-lagi memukul pelan dahinya. Meminta pikirannya untuk tidak berkhayal terlalu jauh. Dengan kata lain, mustahil lelaki sekelas Dirga menyukai upik abu, jadi sebelum kecewa lebih baik sadar diri. Langkah Delia terus mengayun menuju ruang makan. Dilihatnya mama serta papa mertua sudah berada di sana. Mama Dirga berdiri menyambutnya. Wanita kelas sosialita itu paham, bahwa Delia menantu baru yang masih tampak malu-malu. Dia mengerti jika Delia masih berusaha untuk beradaptasi di rumah ini. Saat pertama kali suaminya, yaitu Sultan Bagaskara—papa Dirga—dan Dirga sendiri memperkenalkan Delia, Rima langsung menyukai kepribadian gadis itu. Delia sangat sopan dan kalem, bagi Rima sikap gadis itu tidak seperti teman wanita Dirga yang lain, yang rata-rata lebih agresif. "Sini, Sayang! Duduk sini, kita sarapan," ajak Rima kemudian menuntun Delia untuk segera bergabung. "Dirga-nya mana, Sayang?" tanya Rima begitu ia tidak melihat keberadaan putranya. Delia hanya keluar kamar sendiri tanpa ditemani Dirga. "Mas Dirga masih di kamar, Tante ... ." Delia menggigit bibir bawah sambil terpejam menyesali ucapannya. "Maksudnya ... , Mama." Rima tersenyum, dari kemarin, menantunya itu memang masih suka salah memanggil. Selalu saja menyapanya dengan sebutan 'Tante' bahkan pernah sekali Delia menyebutnya 'bibi'. Rima masih bisa memaklumi hal itu, sebab Delia sama sekali tidak mengenal ia sebelumnya. Setelah Delia duduk, Rima mengusap punggung dan rambut Delia dengan penuh kasih sayang. Kemudian, wanita lima puluh tahunan itu menyuruh pembantunya untuk memanggil Dirga agar segera turun untuk ikut sarapan. "Ma, biar Delia saja yang panggil. Tadi Mas Dirga juga udah siap-siap, kok," ucap Delia. Gadis itu sudah kembali berdiri di samping kursi, hendak memanggil suaminya agar segera bergabung. "Lho, siap-siap ke mana, Del?" Kali ini, Sultan Bagaskara yang bertanya. "Katanya ke kantor, Pa. Tadi sibuk banget rapi-rapi sampe Mas Dirga bilang takut telat dan kena omel—" "Ngadu. Terus aja!" Kalimat Delia terpotong oleh suara yang bersumber dari arah belakang. Delia berbalik memastikan bahwa yang ia dengar adalah suara—suaminya—Mahadirga Bagaskara Saputra. Dia datang sambil menenteng tas kantor. Auranya berkali-kali lipat meningkat saat sebuah jas membalut tubuh tegapnya. Delia gugup, saat sepasang mata elang itu terus membingkainya tanpa henti. Jika memperhatikan keadaan Dirga yang sempurna, sungguh berbanding terbalik dengannya yang lusuh tiada daya tarik sama sekali. Ia merasa malu. Dan, lagi-lagi hanya menunduk sambil mengigit bibir. "Bu-bukan ngadu, Mas. De-Delia cuma cerita aja, kok," cicit Delia. Kentara sekali dari kalimatnya yang tergagap, jika gadis itu tengah gelisah. Dirga sudah duduk di bangku, tempat Delia tadi. Sebab, itu memang kursinya, posisi menyiku dari papa Bagas serta berseberangan dengan sang mama. Sementara Delia masih berdiri kaku di belakang Dirga. "Duduk, De!" Suara Dirga kembali menginterupsi. Mengalihkan atensi Delia yang masih hanyut dalam renungan tanpa tujuan. Membayangkan betapa ia tak pantas bersanding dengan pangeran. "Memangnya papa nyuruh kamu ke kantor hari ini, Ga? Enggak, kan?" tanya Bagaskara secara beruntun ketika sang menantu sudah duduk di samping putranya. "Ya, ya, enggak, sih, Pa." Cengir Dirga. "Terus kenapa kamu sepagi ini sudah rapi, Dirga?" Mama menimpali. "Biasanya, tuh, kamu bangun aja susahnya minta ampun." "Hiss ... shutt, Ma, ah ... ." Rima terkekeh. "Habisnya, penganten baru tuh di kamar aja. Enggak usah keluar-keluar, apalagi sepagi ini." Kalimat mama Dirga membuat Delia yang sudah duduk di samping Dirga menjadi salah tingkah. Seperti biasa gadis itu akan melakukan aksi gigit bibir sambil membetulkan anak rambut yang keluar dari induknya—ke belakang telinga. "Dah, ah, Ma. Digodain mulu. Lihat tuh, Delia jadi merona gitu." Delia refleks mendongak ketika telunjuk Dirga berada tepat di sisi wajahnya. Beberapa milimeter saja jaraknya dari pipi Delia. Gadis itu tersenyum kikuk. Lantas, mengalihkan kegugupan dengan inisiatif mengambilkan Dirga makanan. "Ma-mau sarapan apa, Mas?" tanya Delia meraih piring yang masih kosong di hadapan Dirga dan suaminya itu hanya tersenyum tipis sembari menunjuk jenis sarapan yang ia inginkan. *** Rima meminta Delia mengantar Dirga—putranya yang hendak berangkat ke kantor—hingga ke halaman depan. Dirga sudah hampir masuk ke dalam mobil BMW hitam ketika Delia memanggil namanya. Gadis yang sedari tadi mengekor sembari menenteng tasnya itu berdiri sambil tersenyum. "Ya, De!" Panggilan 'De', bagi Delia terdengar sangat manis. Entah kenapa Dirga memanggilnya demikian. Mungkin 'Dik' yang berarti adik, atau mungkin juga karena namanya Delia, 'De' yang berarti awalan dari nama itu. Dirga mengucapkannya tanpa huruf 'L'. "Ini, Mas." Delia memberikan tas pada Dirga. "Oh, iya, hampir kelupaan. Makasih, ya," ucap Dirga dengan senyum membingkai wajah tampannya. "Iya, Mas." Sementara, Delia sendiri sudah mendapatkan kesepakatan dari Dirga ketika ia lebih berinisiatif memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Senyum lelaki itu merekah. Sebab, Dirga bilang, itu pertama kalinya seseorang memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Ya, kecuali beberapa asisten rumah tangga dan para sepupu. Lalu yang dimaksud 'pertama kali seseorang' itu apa? Pikir Delia saat itu. Apa mungkin seseorang yang spesial? Otaknya sungguh berjalan lamban dalam mencerna sebuah kalimat saja. "De, Delia! Kok malah bengong?" "Eh, i-iya, Mas Dirga, maaf!" Delia menjadi nanap ketika Dirga mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Mau berangkat, ya, Mas?" Gadis itu kemudian menyodorkan tangan ke arah Dirga. Dirga yang masih tak paham hanya menatap datar tangan Delia yang mengudara di depan perutnya. Ia menaikan sebelah alis, dengan maksud untuk bertanya. "Salim," ucap Delia polos. Lantas gadis itu menunjukkan deretan gigi kecilnya yang putih. "Oh." Dirga terkekeh. "Sepertinya saya harus lebih terbiasa karena sekarang ada kamu, istri saya," imbuhnya. Kalimat Dirga cukup membuat hati Delia melambung ke awang-awang. Sebuah pengakuan yang—bagi Delia—sungguh sangat bermakna. Apa mungkin memang Dirga tidak pernah merasa terpaksa menikahinya? Bukan hanya sekedar balas budi, tetapi Dirga juga menyukainya? Delia tersipu, bagi ia dinikahi pria setampan dan se-kaya Dirga ialah anugrah. Walaupun tiada cinta di awal, gadis mana yang tidak jatuh hati kepadanya hanya dalam waktu semalam? Apalagi sikap Dirga tidaklah buruk. Justru sebaliknya dia sangat baik dan manis. Sedangkan Dirga, mana mungkin ia secepat itu menerimanya? Pikir Delia. Ia sadar diri, bahwa dirinya hanya gadis miskin. Dirga menyukainya? Rasanya itu mustahil. Delia masih ingat bagaimana Dirga bersitegang dengan Sultan Bagaskara ketika ayahnya meminta Dirga menikahinya. Saat itu, Delia benar-benar melihat sosok Dirga yang tanpa senyum sama sekali. Delia yakin Dirga sangat-sangat terpaksa. Namun, jika ternyata sekarang dia sangat baik, itu pasti karena Dirga cukup menghargai arti dari sebuah hubungan. "Aku tidak akan berharap terlalu tinggi, Mas," gumam Delia. "Aku tahu kamu tidak akan mungkin menyukaiku secepat ini. Tapi terima kasih untuk sikap baikmu padaku. Setidaknya aku tahu, aku dinikahi laki-laki yang tepat. Bukan pria kaya sombong seperti dalam bayanganku." Delia melambaikan tangan sampai mobil tak terlihat lagi dari pekarangan rumah megah itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD