Jangan Gosip!

1513 Words
"Papa, jangan konyol deh! Kenal aja enggak. Ketemu aja baru sekarang, masa langsung nikah," protes Dirga. "Kamu tidak dengar? Pak Isman cuma ingin menikahkan putrinya, menajadi wali sebelum ia tiada, Dirga?" Kalimat Sultan Bagaskara penuh penekanan. Ia paham jika putranya ragu untuk menikahi gadis yang baru ia kenal. Namun, Sultan yakin pada gadis itu. Gadis bernama Delia Aurora tersebut merupakan putri samemata wayang Isman—salah satu mandor perkebunan sawit milik perusahaannya. Gadis belia itu sering berkunjung ketika Isman sedang rehat di tempat Sultan menginap. Vila atau rumah kedua Sultan yang berada tak jauh dari perkebunan. Sultan biasa ada di sana setiap sebulan sekali untuk meninjau keadaan kebun dan para pekerjanya. Isman ialah mandor kepercayaan. Ia dan ayah Delia itu sangat dekat. Tidak hanya sebagai atasan dan pekerjanya saja, lebih dari itu, mereka sudah bersahabat cukup lama. Delia sendiri sering datang untuk mengantar makanan atau sekedar membawa baju ganti bagi ayahnya. Isman sangat menyayangi Delia. Semenjak kepergian sang istri dua tahun silam, Isman bahkan rela bolak-balik perkebunan-rumah setiap hari atau sekurang-kurangnya dua hari sekali sebab khawatir bila harus meninggalkan Delia lama-lama seorang diri. Mereka hanya tinggal berdua setelah ibu Delia meninggal dunia. Delia hanya memiliki Isman begitu juga sebaliknya. Dan karena itulah, namanya juga anak perawan, jelas Isman akan sangat menjaganya. Tentu seperti permata, Delia itu di mata ayahnya. "Ish ... memangnya, Pak Isman itu udah mau mati apa! Dari mana coba dia tau?" Dirga berdecak sambil mengurut keningnya yang terasa berdenyut. Kecelakaan yang melibatkan dirinya, sukses membuat ia dalam dilema. "Pikirkan! Kalau kamu tidak ditolong Isman, bukan dia yang terbaring di atas brankar, tapi kamu. Kamu Dirga!" tegas Sultan Bagaskara, lagi. "Harus, ya, membalas budi dengan cara ini, Pa. Delia anak kemarin sore. Dia masih kecil, masih polos. Apa tidak, Papa angkat aja dia jadi anak. Jadi adik Dirga." Pemikiran Dirga tidak sepenuhnya salah. Toh, selama ini Sultan sudah menganggap Delia seperti putrinya. Bahkan sejak gadis itu dilahirkan Sultan sendiri yang memberi nama belakang Delia, yaitu Aurora yang berarti cahaya fajar. Namun masalahnya sekarang, Isman sangat ingin menjadi wali pernikahan putrinya. Ia tidak meminta yang lain selain hal itu. "Ga, pikirkan!" "Ini juga lagi mikir, Pa," ketus Dirga. Ia duduk tertunduk sambil memegangi kepala di kursi tunggu depan ruang rawat inap Mandor Isman. "Kamu gak punya pacar, kan, Ga? Iya, kan?" Dirga mendongak. Matanya berbinar menemukan sebuah harapan. "Pacar! Iya, gadis itu pasti punya pacar, suruh saja dia menikahinya. Selesai 'kan urusan?" "Dirga! Pak Isman mau kamu yang nikahi. Lagi pula, beliau tidak memberi kebebasan pada putrinya untuk pacaran segala macam. Delia itu gadis baik. Papa kenal dia." "Lugu dan polos itu bisa saja dibuat-buat. Please deh, Papa jangan tertipu!" "Ga, Papa kenal Delia dari orok, loh." "Ck!" Dirga kembali menjambak rambutnya frustasi. Sampai pada titik di mana ia mengingat ucapannya pada sang mama, pagi sebelum menyusul papanya meninjau perkebunan. Mama kan ngebet banget pengen mantu. Apa iya, aku nikahi aja dia. Urusan perasaan nanti aja. Toh, aku gak pernah serius sama wanita. Biar dia status istriku tapi cukup di rumah saja. Lagi pula gadis itu enggak jelek-jelek amat selain penampilannya yang memang kampungan. Batin Dirga terus berkecamuk, bertarung mencari solusi terbaik bagi masalahnya. Dirga tiba-tiba saja berdiri dan sukses mengagetkan Sultan. "Oke!" teriakannya cukup lantang untuk membuat siapa saja menoleh termasuk beberapa pekerja kebun yang ikut serta mengantar Isman ke rumah sakit. "Aku mau." Kalimat Dirga melirih. "Aku bersedia menikahi dia." Setelah hampir satu jam berdebat, akhirnya Dirga menyetujui pernikahan 'paksa' itu. Ijab kabul diadakan sederhana di samping ranjang tidur Isman, pria renta itu memegang lemah telapak tangan Dirga. Dia tercekat-cekat mengucap 'serah' dengan dibantu penghulu, lalu sahutan 'terima' dari sang calon menantu membuatnya menghirup napas dalam. Selang beberapa menit kemudian, Isman pergi untuk selama-lamanya. Diiringi tangis histeris dari gadis yang telah sah menjadi istrinya. Dirga hanya bisa diam terpaku, melihat Delia menggoyangkan tubuh ayahnya yang telah kaku. Dirga tidak tahu harus berbuat apa. Sejujurnya ia merasa bersalah atas kepergian sosok yang beberapa menit lalu telah mengangkatnya sebagai menantu. Bagaimana ia akan menghadapi Delia nanti? Apakah gadis itu menerima perjodohan ini sukarela atau ada motif dendam di hatinya? Dirga menerka. Namun, ia hanya mendapati sosok rapuh dengan mata sembab setelah menangis tiada henti hingga proses pemakaman jenazah selesai dilaksanakan. *** Delia menatap kendaraan yang membawa suaminya itu pergi meninggalkan halaman rumah. Ia pun baru beranjak kembali ke dalam. Menaiki bebarapa anak tangga hingga sampai di depan pintu bercat putih tersebut. Baru saja Delia hendak melawati ambang pintu yang sudah terbuka, gadis itu tak sengaja mendengar bisik-bisik dua pembantu yang tengah menyiram tanaman di halaman depan. "Lihat, tuh! Nona baru di rumah ini. Kok saya gak rela, ya, Mas Dirga menikahi gadis seperti dia." "Iya, dia lebih pantas seperti kita, jadi pelayan di rumah ini. Bukan jadi nyonya," sahut yang lain dengan logat Jawa-nya yang kental. Delia bergeming. Ia tak menoleh, pun melanjutkan langkahnya. Sementara itu, Sultan yang juga hendak berangkat ke kantor pusat terhenti oleh hal yang sama. Ia dan Rima—sang istri—melihat menantunya tertunduk mendengar ucapan dua ART itu. "Masuk dan diam di kamar!" Perintah Sultan Bagaskara pada menantunya. Delia mengangguk lantas berlalu setelah menyalami sang mertua. Gadis itu pergi ke kamarnya dengan tergesa. "Kalian di sini, dibayar untuk bekerja, bukan bergosip!" Suara tuan Sultan menginterupsi dua wanita yang diperkirakan berusia 30 tahunan tersebut. Keduanya menunduk menyesali perbuatannya. Salah satu dari mereka maju untuk meminta maaf. "Kalian berdua, seingat saya sudah empat sampai lima tahun bekerja di sini, bukan? Seharusnya kalian tahu bagaimana saya menilai seseorang bukan dari harkat dan martabatnya saja. Miskin-kaya saya tidak peduli. Yang saya pedulikan ialah sikap dan kesopanan. Etika dan perilaku yang baik." Kalimat Sultan penuh penekanan, mengingatkan dua perempuan itu untuk tidak membicarakan hal buruk tentang keluarganya. "Delia sudah bagian dari Bagaskara. Dia Delia Mahadirga Bagaskara. Ini pembelajaran untuk semuanya, bukan hanya untuk dua orang ini saja." Lelaki berkaca mata itu menunjuk beberapa pembantu dan tukang kebun yang kebetulan menyaksikan drama kecil yang baru saja terjadi. "Jangan bergosip! Kalian kerja saja dengan baik sambil menikmati hidup kalian. Toh, gaji tidak pernah terlambat, bukan?" "Ma, urus mereka. Dan menantu kita seperti yang papa katakan tadi di dalam." "Siap, Papa Sayang!" Rima menyengir. Diusianya, ia dan suami masih suka bergurau. Melontarkan kalimat penuh cinta bahkan di tengah ketegangan. Pun demikian dengan Bagaskara, beliau berubah manis ketika berbicara kepada istrinya. "Bagus! Jangan sampai ekspektasi mereka tentang menantu kita itu jadi tambah melebar. Delia cukup untuk bisa dibanggakan." "Iya, Pah. Papa tenang aja, pokoknya gadis yang kata mereka berdua ini, kampungan ... ." Rima menunjuk-nunjuk pembantu yang memang masih belum beranjak dari tempatnya. Dua-duanya masih menunduk. Tidak berani pergi sebelum diminta oleh majikan mereka. "Akan mama sulap jadi bidadari." Gerakan alis serta kalimat yang menggebu menandakan Rima begitu percaya diri bisa mengubah segalanya. "Papa kerja aja, cari duit yang banyak. Bentar lagi kita bakal nambah anggota keluarga baru." "Anggota baru? Siapa?" Bagaskara yang baru saja masuk ke dalam kursi belakang kembali bersuara, menatap sang istri melalui jendela mobil yang terbuka. "Cucu." Bibir Rima maju beberapa centi demi mengatakan satu kata yang membuat Bagaskara terbahak. Tuk sejenak lelaki itu menunjukkan sisi jenakanya. "Mama, nih, baru satu malam mereka tidur di kamar yang sama, sudah bahas cucu." Pria itu menggelengkan kepala. "Mama yakin mereka sudah ... ." Bagaskara melanjutkan kalimatnya dengan berdehem, sesuatu yang tentu Rima mengerti apa artinya. "Eum ... yakin gak, ya?" Rima pura-pura menimbang. "Yakin aja deh, demi cucu." "Mama, Mama, sudah! Papa berangkat. Jangan lupa urus mereka, tuh!" Lagi-lagi pria itu menunjuk ke arah pembantunya yang ada di dekat taman. Tangan Rima terangkat, ia menautkan telunjuk dan ibu jari membentuk huruf O. Kemudian, setelah mobil suaminya berlalu, ia menghampiri dua ART yang baru saja terkena masalah. "Ina, Meli, masuk!" titah Rima. "I-iya, Bu." Keduanya saling menyikut. Rima berjalan lebih dulu menuju ke ruang tengah, sebelum melewati tangga tadi, ia sempat mendongak ke arah kamar putranya. Pintu kamar tertutup, ia yakin Delia ada di dalam. Tidak berhenti di ruang tengah, Rima melangkah menuju meja makan, ia menarik kursi dan duduk di sana seperti hakim yang siap memulai sidang bagi para terdakwa. "Kira-kira hukuman yang bagus buat kalian biar kapok nge-gosip apa, ya?" Glekk! Gumaman Rima yang tentu tidak pelan, sehingga membuat Ina dan juga Meli yang berdiri di samping Rima, menelan pahit ludah mereka. Dihukum? Lagi? Cuma gara-gara ngomong yang memang kenyataan. Ah, Jangan sampai hukumannya sama seperti yang sudah-sudah. Batin Ina. Duh ngomong kenyataan saja dihukum begini. Apa sih spesialnya gadis itu sampai-sampai Tuan sama Nyonya sayang banget. Batin Meli. "Sudah siap dengan hukumannya?" Rima tertawa sambil menatap Ina dan Meli bergantian. "Bi Asih! Biasa, masakin makanan kesukaan Ina sama Meli, ya. Mereka udah gak sabar mau nyicipin masakan Bi Asih, nih!" teriak Rima pada juru masak di rumah ini. "Bi!" "Yes, Nyonya! Siap laksanakan. Bade sabaraha porsi (Mau berapa porsi)?" tanya Bi Asih yang datang dari arah dapur sambil menyengir. Bi Asih berdiri di samping Ina dan Meli, menunjukkan deretan gigi, mengolok dua juniornya yang lagi-lagi terkena masalah. "Yang banyak, Bi." "Haha, lebok siah. Makana tong ngadebrol wae gagawe teh (Rasain kamu. Makanya jangan ngegosip terus kalau sedang bekerja)," bisik Bi Asih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD