1
Nothing can stop
your destiny
-Valeri Valentine Darron-
****
Valeri menatap pantulan dirinya yang tampak cantik dengan balutan dress hitam selutut, dilengkapi dengan kalung berlian kecil menggantung di lehernya. Dia tampak luar biasa cantik nan anggun.
Dia tidak pakai make up, atau apa pun yang sedang trend di kalangan para wanita muda. Valeri tidak tertarik atas hal-hal seperti itu. Sebenarnya, dia juga terpaksa mengenakkan rok karena hari ini adalah pesta pertunangan Billy.
Dia tidak mungkin mengenakan celana pendek dan kaos oblong di tengah pesta megah itu, 'kan?
Bisa-bisa, dia mempermalukan keluarganya sendiri.
Valeri berjalan memasuki kendaraannya setelah memastikan semua hal sudah dia bawa. Gadis berambut panjang sepinggang itu menekan salah satu tombol, membuat mobil itu berbunyi karena kuncinya terbuka.
Baru satu detik sejak ia mendaratkan pantatnya ke atas busa empuk alias jok mobil, saat Valeri merasakan ponselnya bergetar di dalam tas kecil hitam yang ia bawa.
Mommy is calling ....
Senyum Valeri mengembang. Ah, itu mamanya. Seseorang yang selalu berhasil membuat Valeri merasa disayang dan dilindungi sepanjang dia hidup.
"Hello, Mom?"
"Kau sudah di mana sayang?" tanya Morris di seberang. Suasana di sana tampak tenang, membuat Valeri tanpa sadar mengernyit. Bukankah seharusnya pesta itu ramai?
Lantas, kenapa di sana terdengar sangat sepi?
Valeri berusaha tidak ambil pusing atas pemikirannya sendiri. Mungkin saja para tamu undangan belum datang, karena acara masih satu jam lagi. Gadis itu memutar kuncinya, dan siap untuk melaju.
"Aku sedang menuju ke sana, Mom." Valeri bergumam sambil melirik ke arah kaca spion.
"Oh dear jangan menelepon ketika berkendara, itu berbahaya, kau tahu," ujar Morris lirih. Nada suaranya terdengar khawatir.
Dan hal sekecil ini pun bisa membuat hati Valeri menghangat. Well, dia bukan anak kandung Morris, atau tepatnya Valeri itu diadopsi. Namun, sejak kecil ia tidak pernah merasa diasingkan.
Bagi Valeri sendiri, keluarganya yang sekarang adalah keluarga kandungnya. Dia akan terus mencintai mereka, bahkan sampai akhir hayat.
"Aku sudah memakai headset-ku, tak perlu khawatir begitu." Valeri menenangkan Morris.
"Baiklah, hati-hati ya." Morris menghela napasnya dan memutuskan untuk mematikan sambungan, membiarkan anaknya fokus menyetir.
"Iya, Mom. See you." Valeri menekan tombol hijau pada benda pipih itu, lalu sambungan terputus. Dia meletakkan ponselnya di jok penumpang dan mulai fokus berkendara.
Waktu masih pagi, baru pukul delapan. Jalan tidak sepadat biasanya karena anak sekolahan dan orang kantoran sudah sampai pada tujuan mereka masing-masing. Dan hanya tersisa Valeri di sini, gadis pengangguran yang seringnya menghabiskan waktu di rumah dengan choco chips dan kripik kentangnya. Tentu dia bekerja, bisnis sampingan ... menulis.
Valeri tengah fokus pada dunianya sendiri saat ponselnya lagi-lagi bergetar. Berbeda dengan yang tadi, kali ini bukanlah panggilan masuk ... melainkan pesan teks.
Tring.
From : Unknown
Hi babe. I miss you.
Tubuh gadis itu membeku seiiring dengan keringat dingin yang mulai membasahi. Sial, hanya beberapa patah kata, tapi mampu membuat Valeri melongo seperti orang bego di tempatnya.
Tin!!
Valeri terlonjak kala mendengar suara klakson tidak manusiawi tadi. Sialan! Orang itu nyaris menulikan gendang telinganya. Dia baru menyadari kalau lampu sudah berubah menjadi hijau, dan mobilnya menghalangi jalan.
Dengan cepat, Valeri mengganti giginya sebelum kemudian melajukan mobil kecil itu.
Jikalau dia telah kembali ... maka Valeri sangat berharap George tidak akan menganggunya lagi.
George ... dia mantan pacar yang sangat mengerikan.
Setelah dua tahun mendekam di penjara, kenapa sekarwng dia kembali?
***
Valeri sampai di sebuah mansion tua dengan banyak tanaman asri di sekitarnya. Ah, rumah mama dan papanya memang terletak nyaris di pinggir kota Jakarta. Namun, suasananya sungguh menyenangkan.
Terkadang Valeri berpikir dia sedang berada di luar negeri, karena Jakarta yang ia kenal tak seramah ini. Mansion milik keluarganya memang yang terbaik.
Terlalu asyik memandangi pemandangan, Valeri tak sadar kalau ada seorang lelaki yang menandanginya dari kejauhan. Tersenyum, hanya karena melihat wajah yang telah lama menghilang.
Valeri melangkahkan kalinya dengan riang, menggunakan heels membuat tumitnya sakit. Namun, hal itu sama sekai bukan halangan baginya. Dia tetap riang seperti biasa, layaknya anak kecil.
Setelah perjalanan panjang, pada akhirnya ia sampai di dalam mansion. Sepi, satu kata yang menggambarkan situasi saat ini. Ia melongo, menyadari kalau pesta tidak seharusnya begini.
Merasa bingung, Valeri kemudian berkeliling mansion. Mengamati kalau tidak ada yang berubah bahkan setelah ia pergi. Semuanya masih tersusun rapi, hingga mau tak mau ia menggembangkan senyum.
Keluarga adalah harta yang paling terindah, meski Valeri bukanlah anak kandung, tetapi ia selalu diperlakukan sebagaimana harusnya. Ya, maksudnya bukan seperti anak tiri yang ditindas di film-film.
Langkah kaki gadis itu berhenti saat ia menatap pintu kamarnya dulu yang tertempel stiker warna-warni bertuliskan, "Valeri, ketuk dulu baru masuk!"
Ia tersenyum kecil, itu membangkitkan kenangan lama. Ia meraba stiker itu pelan, hingga tanpa sadar pintu kamarnya terbuka. Ah, ternyata tidak terkunci. Valeri baru menyadarinya.
Gadis itu tidak berharap banyak ketika ia mendorong pintu untuk memperlihatkan keseluruhan kamarnya. Ia meyakini tidak akan ada yang berubah di sana, sama seperti ruangan-ruangan lain.
Namun, yang ia temukan justru tak terduga. Matanya membulat kala ia mendapati semua anggota keluarganya tengah berada di sana. Dengan topi dan kue khas ulang tahun. Kamarnya didekor penuh dengan balon dan ucapan selamat ulang tahun.
Mata Valeri membulat. Ia tidak bisa bergerak. Terlalu terkejut untuk sekadar berkedip.
"Happy birthdayy Valeri!" Semua anggota keluarga berteriak membuat Valeri sontak kembali terkejut. Untuk sesaat, dia terdiam. Air mata kemudian membasahi pipi gadis itu di saat ia tak sadar kalau ia menangis.
Keluarga, mungkin hal itu terdengar tidak ada bagi anak yang tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini. Namun, bagi Valeri, keluarga angkatnya adalah segalanya. Mereka menyayangi ia, sangat. Bukankah ia sudah bilang tadi?
"T-terima kasih ...." Valeri berkata dengan suara yang bergetar. "Aku sayang kalian semua ...."
**