MC 4 - Suketi

2340 Words
“Hei … bangun! Jangan pura-pura tidur lo!” bentak seseorang bertubuh sedikit gempal dengan rambut ikal yang berantakan bernama Abas. Kaki pria itu menyenggol dan menggerak-gerakkan kaki Panca. “Lo mau gue bangunin dengan paksa? Bangun sekarang juga lo!” bentaknya lagi. Sial! Rutuk Panca dalam hati. Panca pun terpaksa berhenti berpura-pura tidur. Ditegakkan tubuhnya secara perlahan. Kemudian berdeham pelan. “Langsung saja, apa yang kalian inginkan,” ucap Panca dengan keadaan yang masih sama. “Bukan kita yang akan ngasih tahu, sabar napa?!” Panca menyengir—bermaksud mengejek, “kalian ini nyulik orang dewasa, segalanya diikat, ditutup, takut kalau gue bisa kabur atau kalian babak belur sama gue?” “Bancat! Dasar anak manja!” Pria yang lain dengan tubuh lebih kurus itu tiba-tiba geram dengan kata-kata Panca. Pria itu hendak memukul Panca, tapi dihentikan oleh bentakan dari suara perempuan tadi. “Rois!” Untuk beberapa menit, tiba-tiba keadaan hening saat Panca mendengar derap langkah menjauh, tapi lagi-lagi ada yang mendekat ke arahnya, membuat Panca siaga. Namun, justru yang dilakukan orang itu adalah membuka mata Panca dari arah belakang, dan duduk bersila di hadapan Panca. Sedangkan dua orang laki-laki yang sepertinya tadi berkata kasar padanya tampak meninggalkan Panca dan seseorang yang tadi menyerukan sebuah nama. Pandangan Panca awalnya buram dan sedikit membuat pening di kepala. Cukup lama dalam keadaan mata tertutup dan tertidur, membuat Panca mengerjapkan matanya perlahan. Panca sedikit membeliakkan mata ketika melihat seorang perempuan berambut sebahu, dengan memakai jaket denim sedang duduk bersila di hadapannya membawa box makanan dan botol mineral. Wajahnya kalem tapi terkesan dingin dan tak ramah. Tatapan matanya bahkan seakan menusuk tajam padahal perempuan itu sama sekali tidak memelototkan matanya. Jadi ini cewek tadi. Panca masih menelisik dan menilai dari luar penampilan perempuan itu. Cukup cantik tapi sok misterius, dikira gue penasaran apa. “Makan,” ucap perempuan itu singkat dan dingin. Panca hanya menyunggingkan bibir, dengan berani dia mendekatkan wajahnya pada perempuan tersebut, “lo suapin gue, gimana?” goda Panca pada perempuan tersebut. Dia bermaksud membuat perempuan itu tersipu malu. Namun, justru kenyataannya malah membuat Panca syok. “Memang.” Lagi-lagi singkat dan dingin. Panca sungguh tidak menyangka bahwa perempuan ini benar-benar bebal dan tidak memiliki empati padanya dalam keadaan terikat begini. Malah benar-benar melakukan hal yang menurut Panca tidak akan dilakukan gadis itu. Perempuan tersebut membuka kotak makanan, dan membuat Panca sedikit terkejut dengan isi makanan tersebut yang bisa dikatakan … mewah. Lebih-lebih menu makanan tersebut adalah kesukaan Panca dan ayahnya … dulu. Ayam dengan taburan serutan rempah-rempah lengkuas atau laja itu dalam bahasa Sunda, dengan sambal korek, dan nasi bakar, lengkap dengan bakwan jagung. Bukan tempe dan tahu, tapi Panca lebih senang lauk pendamping saat makan Ayam serundeng lengkuas dengan bakwan jagung. Bahkan aroma masakannya pun sangat familier di indera penciuman Panca. Sejenak terbesit rasa keanehan tapi juga haru. Sudah lama sejak dia pulang ke Indonesia dan mamanya membuatkan menu ini, Panca akan enggan memakannya. Namun, dalam keadaan kurang berdaya seperti ini dan perut yang kosong entah sudah berapa jam, Panca harus makan. Perempuan itu belum menyuapi Panca, yang dilakukannya justru membuat Panca terkesima. Membuka kulitnya yang kriuk terlebih dulu, lalu mengambil serundeng dan dicocol di atas sambal. “Saya sudah cuci tangan, jangan khawatir,” ucapnya. Anehnya Panca malah menurut dan membuka mulutnya untuk siap menerima suapan dari orang asing. Perempuan itu hanya fokus menyuapi Panca, melihat ke arah kotak makanan kemudian melihat Panca. Sama sekali tidak ada keraguan apalagi rona wajah memerah berdekatan dengannya. Panca heran. Apakah perempuan ini tidak suka pada laki-laki? Banyak yang bilang wajah Panca sangat mirip dengan Jackson Wang atau Kim Jae Joong idol Korea yang berwajah layaknya tokoh anime itu. Dengan telaten perempuan tersebut menyuapkan makanan pada Panca, bahkan perempuan itu membantu Panca untuk minum. Panca mengangkat alis kanannya, seakan mendapat ide untuk kembali menggoda perempuan ini. “Kalau gue pengen ke kamar mandi, apa lo juga bakal bantuin gue?” Perempuan itu sedikit terkejut. Tampak gerakan menelan ludahnya kasar. Namun, sesaat dia kembali bisa menguasai dirinya. Dengan senyuman tipisnya itu yang mirip sebuah seringaian dingin dan menakutkan, perempuan itu berkata, “tentu saja.” Skakmat! Tiga kali sudah Panca dibuat syok dan tidak bisa berpikir lebih jauh lagi akan perempuan ini. *** Sudah lebih dari setengah jam Panca tidak muncul di ruang rapat untuk pelantikan resminya sebagai CEO. Hal ini membuat kasak-kusuk dari berbagai direksi dan para pemegang saham bahwa Panca tidak bertanggung jawab atas tugas yang akan diembannya. Yohan—anak sulung Lian Pradja—awalnya juga tidak menduga bahwa Panca bisa mendadak hilang begini. Padahal tadi saat sekitar pukul delapan lebih, Yohan melihat Panca tengah berada di ruangannya dan berbincang seperti biasanya dengan sahabat karibnya yang bernama Baldin. Tidak ada kecemasan sebenarnya dalam diri Yohan—justru keadaan ini menguntungkan keadaannya. Sedangkan Lian Pradja berusaha tampak tenang meski sebenarnya saat ini ia merasakan cemas luar biasa akan keadaan cucunya itu. “Pak Lian pelantikan harus dilakukan segera, tapi sampai saat ini, Panca belum hadir, apakah ada sesuatu yang terjadi atau Panca melarikan diri karena belum siap dengan tanggung jawab memegang perusahaan?” “Anak muda seperti Panca memang seharusnya diberikan waktu untuk banyak belajar terlebih dulu, bukan langsung memimpin perusahaan multinasional di usia muda begitu,” tukas salah satu peserta rapat yang lain. Yang sialannya pernyataannya mendapat anggukan dari beberapa peserta lain. Yohan tersenyum tipis—lagi-lagi dirinya merasa di atas angin dengan keadaan ini. Seseorang berpenampilan sederhana, hanya memakai kemeja putih dan celana bahan hitam tanpa mengenakan dasi, dengan rambutnya yang klimis dan rapi itu, membuka suara, “saya rasa saat ini kita tidak bisa menyimpulkan dengan sempit atas hal yang terjadi. Kita belum tahu fakta yang sebenarnya.” Pria bernama Rafandi itu berucap dengan nada tegas, tampak tidak suka dengan pendapat peserta lain yang tampak meremehkan Panca. Rafandi adalah salah satu pemegang saham perusahaan dengan prosentase delapan persen. Cukup besar sebagai pemilik saham atas nama individu. Sedangkan perusahaannya sendiri juga memiliki kerjasama dengan PT Boga Rasa dalam hal penyediaan bahan. Lian Pradja masih menampakkan raut wajah tenang, sama sekali tidak gentar. Sudah beberapa kali pertanyaan yang sama dilontarkan dengan berbagai kalimat yang berbeda tapi bermakna serupa. Sejenak Lian Pradja menutup matanya, menghela napas dalam dan perlahan. Dirinya harus cepat memutuskan sesuatu agar tidak mempengaruhi para pemegang keputusan yang lainnya untuk meragukan dan menggantikan posisi Panca. Saat Lian Pradja mulai mendekat ke arah mikrofon untuk membuka suara, tanpa permisi dan tampak tergesa dengan napas yang tersengal-sengal akibat berlari, Baldin memasuki ruang rapat dan mendekati Lian. Suaranya tak lirih, tapi tidak juga keras. Namun, masih bisa didengar beberapa orang yang duduk berada di dekat Lian. “Dari hasil CCTV … Panca dipukul oleh seseorang, dan dibawa menggunakan sebuah minibus.” *** Perempuan itu bersedekap sembari menunggu Panca yang akan masuk ke dalam kamar mandi. Panca melihat sekeliling—memperhatikan detail tiap sudut bangunan di rumah ini. Atap-atap langitnya cukup tinggi tapi tidak ada plafon, langsung genteng yang terbuat dari bata merah. Di beberapa bagian ada genteng yang terbuat dari kaca—yang bermaksud untuk membuat sinar matahari masuk. Lalu terdapat perapian lengkap dengan kayu bakar yang di atasnya terdepat jendela. Bahkan dinding rumah ini saja, beberapa terbuat dari bata dan gipsum. Apa ia sedang diculik di sebuah tempat terpencil hingga tidak ada alat memasak yang lebih modern? Namun, Panca mendesah lega ketika ekor matanya menemukan sebuah kompor gas dua tungku berwarna pink. Pink! Panca ingin tertawa. Sungguh sanggat tidak serasi dengan rumah yang dianggapnya gubuk tak estetik ini. “Jadi buang air kecil?” tanya perempuan itu dengan nadanya yang datar. Astaga! Panca tidak habis pikir bagaimana perempuan tersebut biasa saja mengucapkan kata kencing dan bukankah matanya masih normal untuk melihat bagaimana keadaan dirinya yang kedua tangannya masih terikat. Panca menyodorkan kedua tangannya seakan mengode pada perempuan di depannya itu untuk membuka ikatannya. Perempuan itu malah berjongkok di depan Panca dan hendak meraih sabuknya, membuat Panca melotot dan terkesiap. Jantungnya seakan meloncat-loncat. Cewek edan! Cewek gelo! “Ngapain buka sabuk gue, tangan! Bukan celana!” ucap Panca dengan nada ketus dan wajahnya yang memerah hingga telinga. “Oh—“ perempuan itu hanya menggumam kemudian berdiri lagi, menatap Panca tak acuh, kemudian malah berbalik dan berjalan ke arah ruangan lain. “Hei! Lo mau ke mana? Buka dulu ikatan gue!” teriak Panca. Perempuan itu berbalik dan menyeringai tipis pada Panca. “Pilih mana, buang air kecil di celana atau saya yang bukain?” Panca mendelik! Ia yakin perempuan ini mungkin jelmaan Suketi atau Nyi Blorong. Mana ada perempuan yang berani sekali dan tampak cuek saja membantu seorang pria dewasa sepertinya untuk kencing! “Dasar Suketi!” cibir Panca, tapi perempuan itu tetap bergeming, kemudian mengedikkan bahunya ke atas dan berlalu begitu saja. “Suketi! Blorong! Sadako! Ju On!” umpat Panca. Sungguh Panca tidak pernah bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Namun, sikap dan setiap ekspresi perempuan itu membuat Panca gemas dan dongkol sekaligus. Rasa-rasanya ingin Panca tancapkan paku di kepala perempuan itu agar bisa lebih manusiawi dan bersikap selayaknya perempuan. Lalu Panca melihat ke arah celananya. Sial! Tuh kan! Ngerembes! Dia benar-benar pipis di celana dan itu sungguh memalukan bagi seorang calon CEO muda yang diidolakan banyak wanita. Panca berjanji dalam hati, kelak dia akan membalas perempuan tersebut yang sudah mempermalukan harga dirinya. *** Dua laki-laki itu tertawa kencang sampai-sampai mereka terus memegang perutnya. Sungguh! Mereka tidak menyangka seorang pria muda, kaya raya dan tampan itu benar-benar kencing di celana. “Ta, lo emang kenapa sih nggak bantuin dia aja buat buka celananya, kan kasihan anak orang sampai-sampai pipis di celana,” ujar Abas. “Tapi lucu sih, muka gantengnya itu sampai merah dan dia udah hampir sejam di kamar mandi, pasti malu tuh!” Mereka tertawa lagi. Namun, perempuan yang mereka panggil Ta—atau Teta itu hanya diam. Sesekali ia melirik ke arah kamar mandi. Melihat ke jam tangan kulitnya. Benar, sudah hampir satu jam dan si anak manja itu sama sekali belum keluar dari kamar mandi. Maka Teta pun segera melangkah ke kamar mandi dan mengetuk pintu. Teta mengetuk pintu kamar mandi sebanyak tiga kali. “Kalau itu lo Suketi! Minggir dulu lo! Jauh-jauh dari gue!” sahut Panca dari dalam. Teta paham—tampaknya Panca memang masih malu dengan kejadian tadi sehingga enggan untuk bersitatap muka dengan dirinya. “Bang, Is, kalian yang urus dia dulu, aku mau ke Bang Jali dulu,” ucap Teta. “Siap Ta! Beres pokoknya!” ucap mereka bersamaan. Teta sudah melangkah ke luar dari ruangan dapur dan kamar mandi yang menjadi satu, dan hendak pergi ke rumah pimpinannya—Bang Jali. Sedangkan Abas dan Rois, mereka mengetuk pintu dan berbicara pada Panca yang tengah diberi kesempatan mandi dan diberikan pakaian ganti. Namun, begitu Pintu dibuka, Panca segera menerjang kedua laki-laki itu dengan gayung plastik berbentuk hati dan lagi-lagi berwarna pink. Sejak berdiam diri dan menyelesaikan mandinya, Panca tengah berpikir bagaimana dia bisa melarikan diri dari gubuk ini. Panca memukul kepala Abas dengan hayung yang hanya membuat laki-laki gempal itu mengaduh lirih, sedangkan Rois yang mendekapnya dari belakang, Panca dengan sigap menyikut perut laki-laki kerempeng itu dengan lengan kanannya. Panca bisa lolos dan ia segera melarikan diri ke arah ke luar tanpa ragu hanya menggunakan kaus oblong putih kebesaran dan celana hitam yang lebih mirip dengan celana orang-orangan sawah. Saat Panca hendak membuka pintu rumah depan, seseorang memukul pundak Panca hingga membuat Panca berbalik dan hendak melawan, tapi tepat di depan wajahnya sebuah senjata laras pendek tengah siap untuk ditembakkan ke kepalanya. “Sekali kamu berbuat ulah dan tidak menurut, maka saya tidak segan-segan akan meledakkan kepala kamu.” Panca menelan ludahnya kasar. Degup jantungnya benar-benar kencang hingga rasanya Panca sudah tidak sanggup lagi untuk bernapas. Sungguh perempuan di depannya ini membuat Panca merinding setengah mati. Namun, Panca berusaha melawan dan tidak gentar menghadapi ancaman perempuan yang murip jelmaan Suketi. Panca malah mendekat sembari memegang senjata itu. “Tembak! Gue yakin cewek macam lo cuma sok judes dan sok galak,” tantang Panca. Abas dan Rois segera berada di ruang tamu, lalu mereka tampak pias dan khawatir. “Teta! hati-hati itu peluru entar beneran nyangsang ke jidat licin si ganteng,” ucap Abas. “Iya, Ta, inget rencana si Bos,” timpal Rois memperingatkan. “Bos? Siapa bos kalian?” tanya Panca dengan dahinya yang mengerut. Namun, yang terdengar justru bunyi pelatuk yang seakan siap untuk ditarik dan dilesakkan. Panca kembali siaga. Ia lengah! Sedangkan Teta masih dalam posisi siap delapan enam. Ia kembali ke mode menyerang perempuan yang dianggapnya jadi-jadian itu. “Kenapa? Lo ragu buat tembak gue,” cicit Panca lagi. Panca mengarahkan senjata tersebut tepat ke dadanya bagian kiri atas, “sekali lo tembak di sini, maka gue end. Kesempatan lo cuma sekali, atau gue yang bakal—“ Tanpa aba-aba Panca segera melabuhkan bibirnya ke bibir Teta, membuat perempuan itu terkesiap hingga membelakkan mata, begitu pula dengan dua orang temannya. BUGH! Sebuah bogem mentah Panca dapatkan di rahang kanannya. Lalu Teta memilih pergi, dengan menggunakan motor trail-nya. Panca sendiri tidak tahu mengapa ia justru merasakan dirinya begitu bodoh dan terlalu impulsif, sampai-sampai mencium bibir Si Suketi. Rasa asin di sudut bibirnya ia rasakan hingga membuat Panca sedikit meringis. Ia menyeka pelan, dan mendapati darah di atas punggung telunjuknya. “Lo terlalu macem-macem sama Teta, Bung!” ucap Abas menepuk pundak Panca sok akrab. “Lo itu harusnya bersyukur kita culik karena kalau nggak nyawa lo—“ “Abas! Itu lambe jangan kayak lambe turah! Ingat tugas kita apa,” sela Rois sembali melotot tajam. Panca semakin tidak mengerti. Nyawa? Bersyukur? Mana ada orang diculik harusnya bersyukur. Kalau iya, mungkin dia sudah benar-benar tidak waras. Namun, Panca menyadari ada sesuatu yang sedang terjadi dan ia harus mencari tahu. Mengikuti alur dari para penculik ini, adalah yang Panca harus lakukan, dan lari bila ternyata membahayakan. Tapi … mengapa bibir Si Suketi terasa manis. Eh! *** catatan: Hai bulan Desember ini, teman-teman akan ditemani setiap hari oleh Panca dan Suketi--Eh! Teta maksudnya, hehehe :) Semoga teman-teman suka dengan cerita MENCULIK CEO ini. Silakan komen dan tap love. Oia, mari berteman di IG/Faccebook: @sidsaft/sidsaft. Hatur Tengkyu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD