Chapter 3 - Sekolah

1547 Words
Whitown, 21 Juni 2019 R  ==========================================   Avatar dan Arata bersekolah di SMA Negeri 1 Whitown. SMA yang sebenarnya sangat jauh dari rumah mereka. Satu-satunya alasan mengapa mereka bersekolah di sana adalah karena Pak Gubernur yang merupakan paman dari Arata meminta mereka bersekolah dekat dengan kantor gubernur. Di sekolah itu terdapat 5 kelas MIPA dan 5 kelas IPS. Avatar dan Arata sekarang berada di kelas X MIPA 3, yang sialnya memiliki wali kelas seorang guru matematika yang "kejam" Avatar dan Arata tiba di sekolah pada pukul 07.26, empat menit sebelum bel masuk berbunyi, dan enam jam empat menit sebelum bel pulang berbunyi. Jika mereka ketinggalan kereta, mereka akan sampai di sekolah pada pukul 09.00. Karena itu... Sebenarnya yang Avatar dan Arata kejar bukanlah jam masuk sekolah, tapi jam keberangkatan kereta. "Selamat pagi!" seru Arata bersemangat pada semua teman sekelasnya. "Pagi, Arata..." kata teman-teman sekelasnya. Rata-rata yang menjawabnya adalah para gadis. Hal itu karena Arata memiliki wajah yang tampan dan sikap yang baik. Anak ini juga murah senyum dan sangat ramah. Tak heran dia menjadi pria idaman para gadis di sekolah itu. "Salam..." kata Avatar dengan lemas. "Oh, salam..." kali ini hanya beberapa orang saja yang menjawab salamnya. Berbeda dengan Arata, Avatar tidak terlalu akrab dengan teman sekelasnya. Avatar itu pria yang bisa dibilang tidak dicintai, tapi tidak dibenci. Hanya saja, seisi kelas itu kurang suka dengan Avatar. Bagi mereka, Avatar itu seperti orang asing yang terjebak bersama mereka. Satu-satunya alasan kenapa mereka bisa mengenal Avatar adalah karena fakta bahwa dia adalah saudara angkatnya Arata. Hal itu terjadi karena Avatar jarang bicara pada sembarang orang. Dia hanya bicara seperlunya. Anak ini seakan tidak peduli pada siapapun atau apapun. Mulutnya juga lebih sering melengkung ke atas ketimbang ke bawah. Tapi berbeda jika Avatar bicara dengan Arata, karena mereka sudah bersama sejak masih kecil. Avatar seperti menunjukkan sifat aslinya hanya pada saat bicara dengan Arata. Mereka berdua benar-benar seperti saudara. "Seperti biasa, duduk di depan lagi... Ya ampun..." kata Arata. "Astaga naga..." kata Avatar. Bangku yang tersisa di kelas itu hanyalah saf paling depan. Saf yang paling dibenci oleh siswa. Terutama karena pada hari itu ada pelajaran matematika. Lebih parahnya lagi, pelajaran itu ada pada jam pertama. Saat sampai di bangkunya, Arata berkumpul dan berbicara dengan teman-temannya. Sedangkan Avatar mengeluarkan sebuah buku. Bukan buku matematika, tapi buku gambar. Avatar malah menggambar di mejanya KRIIIIIINNGGG!  Bel masuk berbunyi. Belum lima menit sejak bel masuk, Pak guru sudah masuk ke kelas. Hal itu membuat seisi kelas yang pada awalnya berisik berubah jadi hening. Semua siswa berdiri dan berseru... "Selamat pagi pak!" "Selamat pagi... Tugasnya sudah selesai?" kata Pak guru itu. Seisi kelas dipenuhi aura tegang dan mencekam. "Bagi yang sudah selesai, silahkan kumpulkan! Bagi yang belum, KELUAR SANA!" kata pak guru dan setelahnya berteriak. Beberapa siswa keluar kelas sambil menunduk malu. "MEMALUKAN! TUGAS SAJA TIDAK DIKERJAKAN, TAPI INGIN SUKSES? MIMPI!" teriak pak guru marah. "Astaga, ya ampun..." batin Arata. "Ya sudah! Mari kita lanjutkan materinya, materi hari ini adalah tentang..." lanjut pak guru itu. "Astaga naga... materinya membosankan. Kurasa menggambar lebih menarik... Tapi, gambar apa ya? Oh ya! Gambar gadis yang diceritakan Arata saja..." pikir Avatar. Avatar menggoreskan pensilnya pelan-pelan ke kertas kosong. Hal itu dia lakukan agar dia tidak ketahuan oleh pak guru. Terakhir kali dia menggambar, gambarannya disobek oleh pak guru. "Mari kita ingat... Rambut pirang pendek, mata kuning keemasan, menggunakan tas putih, berseragam SMA 3, dan-" GREB! KRESAK!  Pak guru mengambil gambaran Avatar, merobeknya, dan menginjak-injaknya. "Astaga ya ampun... Tunggu, itu kan..." "Kejam sekali," "Bahkan untuk Avatar sekalipun, ini sudah kelewatan." "Guru macam apa yang tega melakukan itu..." Seisi kelas mendadak merasakan rasa empati pada Avatar dan rasa benci pada pak guru. Guru matematika itu bisa dibilang sosok antagonis bagi para siswa. Semua siswa SMA 1 pasti pernah dimarahi. Bahkan beberapa pernah dibuat menangis oleh pak guru itu. Maka tak heran jika mayoritas siswa SMA 1 benci pada guru itu. BRAK!  Suara gebrakan meja terdengar. "AVATAR! BERKALI-KALI AKU KATAKAN PADAMU! JANGAN MENGGAMBAR DI KELASKU! INI PELAJARAN MATEMATIKA! BUKAN SENI BUDAYA!" teriak guru itu di meja Avatar. "Pak, berkali-kali juga aku katakan padamu... Jangan larang aku mengasah bakat dan minat ku. Apakah aku hanya boleh menggambar saat pelajaran seni budaya?" kata Avatar dengan santainya "Sadarlah! Jika saat ini adalah jam matematika, maka kau harus belajar matematika!" "Kalau bapak berpikir seperti itu, berarti aku bisa juga melarang bapak memberi kami tugas." "APA KATAMU? ANAK KURANG AJAR!" "Pak, perkataan bapak sebelumnya kurang lebih berarti segala sesuatu harus dikerjakan pada waktunya. Maka, saat kami di rumah adalah saat kami istirahat. Tapi bapak malah memaksa kami mengerjakan tugas di rumah, saat kami istirahat. Jadi, aku menggambar di saat jam matematika sebagai ganti waktu yang aku habiskan di saat aku istirahat untuk mengerjakan tugas dari bapak." "DASAR ANAK SETAN!" kata pak guru sambil menampar wajah Avatar sampai ia terjatuh dari kursinya. "Memang aku ini anak setan... Buktinya seluruh teman SD ku dulu memanggilku si 'iblis mata satu'." Pak guru benar-benar kesal, sehingga dia membawa bukunya dan meninggalkan kelas. Avatar, secara tidak langsung mengusir guru itu. Reaksi para siswa beragam. Mayoritas bersorak gembira karena itu, beberapa merasa khawatir pada apa yang akan terjadi pada Avatar nantinya, dan satu orang kesal pada apa yang dilakukan oleh Avatar saat itu. ________________________________________ Saat istirahat... "ASTAGA YA AMPUN! BISAKAH KAU TIDAK MEMPERMALUKAN KELUARGA KITA UNTUK SEHARI SAJA! KAU SELALU SAJA MEMBUAT MASALAH DAN SIALNYA, AKU JUGA SELALU KENA BATUNYA!" seru Arata pada Avatar atas apa yang baru saja dia lakukan. Avatar dan Arata baru saja kembali dari kantin. Avatar hanya mengunyah permen karet sambil menyilangkan tangannya, sedangkan Arata membawa sebuah mug berisikan kopi panas. "Maaf..." kata Avatar. "Jangan minta maaf padaku, s****n! Minta maaf lah pada guru yang tadi kau usir!" Arata menurunkan nada bicaranya. "Aku tidak mengusirnya..." kata Avatar dengan santainya. "Tidak mengusirnya KEPALAMU! Kau mengusirnya secara tidak langsung! Kuharap kau sudah siap dimarahi oleh ibu!" Arata masih kesal. "Ya, aku tahu..." ucap Avatar. "Berhentilah bersikap seakan-akan kau tak bersalah, s****n! Kalau tidak akan aku siram kau dengan kopi panas ini!" kata Arata sambil menunjuk ke arah mug yang ia pegang. "Iya! Iya! Baiklah! Aku akan minta maaf padanya! Kau puas?" kata Avatar dengan sedikit kesal. "Minta maaf itu harus dengan tulus! s****n!" "Minta maaf salah! Tidak minta maaf juga salah! Sebenarnya maumu itu apa sih?" Avatar tersinggung karena hal itu. "Yo! Nagato! Haise!" kata seseorang dibelakang mereka berdua sambil menepuk bahu mereka. "Nagato?" batin Arata. "Haise?" pikir Avatar. "Sepertinya kalian bertengkar lagi... Katakan, apa masalah kalian?" tanya anak itu. "Bukan urusanmu, Kira..." kata mereka berdua secara bersamaan. "Ayolah, Nagato... Sebenarnya ada apa?" tanya Kira. "SUDAH BERAPA KALI KUKATAKAN PADAMU! NAMAKU BUKAN NAGATO! DASAR WIBU! s****n!" seru Arata karena kesal dipanggil "Nagato" "Hei! Sesama wibu tidak boleh saling meledek tahu!" kata Kira. "Masa bodoh! W-I-B-U!" kata Arata sambil mengejakan kata "wibu" padanya. "Kau justru lebih wibu dariku!" Kira mulai kesal. "Setidaknya aku tidak memanggil orang lain dengan seenak jidat," "Lho, kenapa kau marah? Maksudku lihatlah Haise, dia tidak marah saat kupanggil seperti itu." kata Kira. "Astaga naga... Haise itu siapa sih?" batin Avatar. "Berisik! Levi!" kata Arata. "Terima kasih... Kebetulan Levi adalah karakter favoritku." katanya. "ANAK SE-" teriak Arata sambil ingin menyiram Kira dengan kopi di tangan kirinya. "Sudahlah, Arata... Kita tinggalkan saja dia," kata Avatar sambil menahan tangan kiri Arata. "Kenapa kalian pergi secepat ini?" tanya Kira. "Dengarkan aku s****n! Kau beruntung Avatar ada di sini untuk menahanku dari menyiram mu dengan kopiku! Kalau tidak-" "Astaga naga! Sudahlah! Ayo!" kata Avatar. "Selamat tinggal, Avatar!" kata Kira. Avatar dan Arata menjauh dari Kira. Belum terlalu jauh... "Selamat tinggal, Nagato..." katanya pelan. ________________________________________ Singkat cerita, sudah pukul 13.30... Bel pulang sudah berbunyi. "Hah, hari yang melelahkan... Bukan begitu, Avatar?" tanya Arata. "Biasa aja..." kata Avatar sambil menyilangkan tangannya. "Hei! Sekolah hari ini melelahkan karena ulahmu juga tahu!" "Aku kan sudah minta maaf..." "Ya! Jangan ulangi hal seperti itu lagi! Ingatlah, ibu akan memarahimu lebih dari pak guru." "Hmm..." kata Avatar sambil menundukkan kepalanya. Keadaan hening sejenak. Tiba-tiba terdengar bunyi keroncongan dari perut Arata. "Ngomong-ngomong, aku lapar... Mari kita ke minimarket sebentar. Biar aku yang traktir. Kau pasti lapar juga..." "Aku tidak lapar kok..." "TIDAK LAPAR MATAMU! TADI PAGI KAU HANYA MAKAN SANDWICH, TADI SAAT ISTIRAHAT JUGA KAU HANYA MEMBELI PERMEN KARET, DAN KAU MASIH BILANG TIDAK LAPAR? MATAMU!" seru Arata sambil berjalan ke arah minimarket. "Tapi sandwich juga kan karbohidrat..." pikir Avatar. ________________________________________ Mereka berjalan ke minimarket. Sesampainya mereka di sana, mereka berjalan ke arah display makanan yang bisa diolah disana. "Kau ingin makan apa, Avatar?" tanya Arata. "Aku tid-" "Bla- bla- bla-, kau pasti lapar. Bagaimana kalau pasta instan? Sama sepertiku..." "Terserah lah apa katamu..." Pada akhirnya mereka selesai mengolah pasta instan itu. Mereka makan di meja yang telah disediakan di teras minimarket itu. Tapi Avatar sepertinya kelihatan menyipitkan matanya. Menyadari hal itu, Arata sontak bertanya. "Ada yang salah, Avatar?" tanya Arata pada pria itu. "Arata..." katanya. "Ya?" "Gadis yang kau lihat di stasiun... Aku lupa, ciri-cirinya seperti apa?" "Kau masih memikirkannya? Hehe... Kurasa kau benar-benar tertarik padanya." Arata sedikit menyindirnya "Sudah, katakan saja!" Avatar agak tersinggung. "Gadis itu berambut pendek untuk seorang gadis. Rambutnya pirang, matanya berwarna kuning keemasan. Dia mengenakan seragam SMA 3. Hanya itu yang kuingat... Memangnya kenapa?" "Apa gadis itu menggunakan tas putih, gelang kuning, dan jaket merah muda?" "Kurasa be- tunggu, darimana kau tahu?" "Kurasa gadis yang itu..." kata Avatar sambil menunjuk ke arah gadis yang sedang berjalan dengan santai sambil mendengarkan musik lewat headsetnya. Arata langsung menoleh ke belakang dan benar saja, itu adalah gadis yang dia temui di stasiun. Gadis itu menyadari kalau dia sedang dilihat oleh Avatar dan Arata. Karena itu, gadis itu mulai berlari. "Kenapa kau tidak bilang sejak awal? Astaga ya ampun!" katanya sambil beranjak dari meja makannya. Setelah Arata beranjak dari meja makannya, dia mulai mengejar gadis itu. "Hei! Arata! Tunggu! Makananmu belum habis!" kata Avatar. "Untukmu saja!" katanya tanpa menoleh ke arah Avatar. "Astaga naga..." batin Avatar. Arata pergi mengejar gadis yang ada di stasiun dan dalam mimpinya, meninggalkan Avatar sendirian di meja makan depan minimarket. Tanpa Arata sadari, nasibnya sudah menunggunya disana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD