"Sudahlah, Sayang. Aku mandi dulu, habis itu kita makan bareng, ya?" ucap Emran mencoba melunak, walau nadanya terdengar ingin mengakhiri obrolan. Qisya tidak menjawab. Wajahnya cemberut, tapi langkahnya tetap bergerak ke dapur. Ia menyiapkan makan malam seperti biasa—meski hatinya masih terasa penuh sesak. Beberapa menit kemudian, Emran muncul di ruang makan. Rambutnya masih basah, kaus rumah sudah berganti, dan senyum kecil terpaksa terukir di bibirnya. “Masih ngambek?” tanyanya sambil menarik kursi. “Aku gak ngambek,” sahut Qisya datar. “Tapi wajahnya kayak tahu basi,” seloroh Emran, mencoba mencairkan suasana. “Aku kesal,” balas Qisya, tatapannya lurus ke piring. “Sama Mas?” “Bukan. Sama dinding.” Emran tertawa. “Kasihan banget dindingnya, Sayang.” Tapi Qisya tidak ikut terta

