1. Arjuna si es

1999 Words
Namanya Arjuna—biasa disapa Arjun di kampusnya, seorang mahasiswa psikologi yang kini sedang memainkan ponselnya sambil memasukkan potongan kentang goreng ke dalam mulutnya. Wajahnya yang serius begitu terlihat sangat menawan walaupun hanya diam sambil menatap layar ponselnya yang beberapa kali bergetar karena pesan seorang perempuan yang akhir-akhir ini memang sering bertukar pesan dengannya. Perempuan yang biasa saja dan selalu bersikap ceroboh baginya. Perempuan yang berhasil dengan mudah membuat harinya kacau dan seakan menjungkirbalikkan kehidupan tenangnya. Mereka memang bukan orang yang baru saja mengenal beberapa hari. Namun, mereka juga pernah satu kelas di jaman SMA dulu. Tidak terlalu berlebihan, mereka baru dekat setelah sama-sama duduk di bangku kuliah dengan universitas yang sama tapi di fakultas yang berbeda. Arjun menghembuskan napasnya kasar saat membaca deretan rengekan dan juga keluhan dari perempuan itu. Sudah berkali-kali perempuan yang selalu diam-diam dia perhatikan walau dengan kecuekannya itu memang selalu bergantung padanya. Apa-apa minta bantuan dengannya, ini dan itu selalu meminta padanya. Bagaimana bisa dia tidak jatuh pada perasaan bodoh yang katanya bernama cinta. Padahal semenjak lulus kelas dua SMA, Arjun sudah menutup rapat hatinya karena berkali-kali disakiti oleh banyak perempuan yang dia pacari. Rindi : Kamu di mana? Aku ke kampusmu sekarang ya? Jemput dong aku mau bayar SPP variabel. Lagi-lagi Arjun mendengus karena perempuan itu selalu saja meminta seenaknya. Bukan berarti dia tidak senang karena selalu diprioritaskan, tapi sejak ada dirinya, perempuan bernama Rindi itu semakin tidak mau mandiri. Arjun : nggak mau, aku ke kampus aja jalan kaki. Arjun : lagian di sini lagi sedikit trouble. Aku habis nemenin temenku. Lagi-lagi Arjun hanya bisa menatap ponselnya saat Rindi kembali tidak membalas pesan singkatnya. Baiklah, perempuan itu pasti masih ngambek padanya karena masalah sepele. Sudah jelas dia tidak salah kan jika menolak, orang dia benar-benar tidak membawa motor. Dari kos jalan kaki dan sekarang masih ada jam kuliah. Sesekali beberapa teman perempuannya menyapa saat melihat Arjun duduk sendirian di bawah pohon. Arjun hanya membalas dengan melambaikan tangan lalu tetap fokus ke arah ponselnya. Tidak ada yang dia lakukan sekarang selain menunggu balasan dari Rindi yang tak kunjung datang. Sampai ponselnya kembali bergetar dan menunjukkan nama Rindi di pojok atas layar ponselnya. Rindi : jahat! "Jun, disuruh ke ruang sekre! Ada yang mau diomongin sama bang Dirga. Penting katanya," suara Danang membuat Arjun langsung mengembalikan aplikasi pesannya ke mode layar. Ibu jarinya dia angkat untuk memberi tahu jika dia akan segera kesana. Lalu Arjun baru mengucapkan terima kasih pada teman satu organisasinya di salah satu cabang BEM. Dengan langkah cepat, Arjun langsung berjalan menaiki anak tangga untuk menuju lantai dua dengan menenteng tasnya. Tidak sengaja dia mengabaikan pesan dari perempuan yang katanya sedang membutuhkan dirinya itu. Walaupun setiap saat pun, Rindi memang merepotkan untuknya. Bukan pacarnya, tapi perempuan itu sering mengirim pesan meski tidak penting. Dia juga sering mengomentari status yang dibuat Rindi hanya untuk mencari topik semata. Dia memang terlihat bodoh, tapi Arjun sadar jika cinta datang bukan karena kesempurnaan. Namun bisa juga karena rasa nyaman. Entah mengapa hatinya yang beku sudah kembali menghangat semenjak ada gadis itu. Caranya menyampaikan isi hatinya atau caranya meminta, semua itu sangat membuat Arjun terkesan. Arjun masuk ke ruangan sekre sendiri. Membuka pintu kaca itu dengan tangan kanannya dan tersenyum ke arah sang ketua BEM yang sedang duduk di depan sebuah layar monitor. Arjun memang salah satu orang yang dikenal paling dekat dengan ketua. Walaupun begitu, bukan berarti mereka sedang melakukan perundingan yang tidak diketahui oleh anggota yang lain. Namun, Arjun memang orang yang tepat dalam mengambil keputusan atau bisa diandalkan di lapangan untuk observasi sebelum mereka melakukan kegiatan. "Manggil aku, bang?" tanyanya yang berjalan masuk dan saat ini Arjun sudah bersiap-siap untuk duduk di kursi depan Dirga. Dirga mengangguk lalu menyerahkan beberapa lembar proposal yang sudah dibuat. Sedangkan Arjun sudah menangkap maksud dari Dirga tersebut. Laki-laki berperawakan tinggi itu mengarahkan pandangan matanya ke arah tiga proposal tersebut dan sedikit membacanya. "Ini aja lah bang, kayanya agenda ngajar di tempat-tempat kaya kolong jembatan itu ide yang bagus deh. Soalnya selama ini pengurus tahun kemarin-kemarin juga nggak pernah bikin acara semacam ini. Mereka kaya lebih monoton ke acara baksos gitu. Siapa tahu bisa meningkatkan pamor BEM kampus kita. Lagipula, kita bisa minta sponsor dan bikin mereka mau ngikutin acara kita. Kaya bakalan seru gitu lho, ditambah di daerah sini memang ada tempat atau semacam lembaga gitu yang nampung anak-anak bermasalah. Jadi, mereka dibina gitu lah," ucap Arjun dengan wajah seriusnya dan menarik sebuah proposal dengan judul yang sudah dia katakan tadi. Sedangkan Dirga manggut-manggut saja. Setiap ide apapun yang keluar dari mulut Arjun, rasanya semua berupa inovasi yang nyata baginya. Dia sedikit dimudahkan setelah Arjun yang dikenal sebagai orang yang pendiam dan cuek tiba-tiba mau masuk BEM—Badan Eksekutif Mahasiswa. Lalu Dirga mengambil alih proposal yang berada di depan Arjun sebelum akhirnya menyetujuinya. "Huh, thanks banget udah milih dengan baik. Lagipula aku juga bingung mau milih yang mana kalau semua proposal yang datang dengan inovasi baru semuanya. Mungkin kamu itu memang cocok masuk psikologi deh kalau dilihat dari caramu bicara. Semua rapi dan tertata," ucap Dirga cukup kagum pada anak psikologi di depannya. Pandangannya luas dan wajahnya yang selalu serius seakan menjadi daya tarik untuk mendalami aura lain di dalam diri seorang Arjun. Sedangkan Arjun hanya sedikit tertawa karena pujian yang memang sering orang lontarkan untuk dirinya. Sejak dulu dia memang punya pandangan baru soal beberapa permasalahan makanya sekarang dirinya tetap memilih jalan untuk menjadi seorang psikolog, karena baginya, menyelami diri orang lain itu adalah suatu hal yang baru. "Ah, kaya sama siapa aja sih, bang. Btw, besok aku off, nggak ikut rapat. Aku langsung terjun lapangan aja," ucap Arjun sambil memainkan pulpen di atas meja Dirga lalu mengalihkan pandangan matanya pada seniornya itu. Dirga mengangguk sebagai tanda jika dirinya mengijinkan, "mau jalan sama anak matematika itu nggak sih? Yang pernah kamu temui di kampus waktu itu? Yang kamu bilang anak ilang terus yang tiba-tiba kamu taksir karena hal yang nggak terduga," sindir Dirga yang membuat Arjun menghembuskan napasnya kasar. Memang, setiap hari dirinya menjadi bahan ejekan seniornya itu karena sudah tahu perasaannya setelah dia tidak sengaja keceplosan saat membahas beberapa masalah di kampus. "Aku gila nggak sih, bang? Aku nggak pernah suka sama cewek sejenis itu, tapi sekarang kok malah jadi gini. Aneh aja, kita yang nggak pernah deket sebelumnya, tiba-tiba jadi deket kaya gini," curhat Arjun yang membuat Dirga sedikit tertawa. "Ya, nggak ada yang salah sih. Kalau kamu nyaman, kenapa nggak? Lagian jangan terpaku sama masa lalu mulu, mereka di masa lalu itu cuma ngasih pembelajaran dan bukan salah satu penentu dari masa depan. Jadi jangan berpikir kalau kisah cintamu kali ini, bakal berakhir sama kaya kisah cinta jaman dulu," nasehat Dirga yang hanya diangguki oleh Arjun. Laki-laki dengan pakaian batik warna putih itu hanya menatap ke arah luar jendela, "ah, yang jadi masalah sebenarnya bukan di akunya sih, bang. Tapi malah di dianya yang nggak tahu bisa buka hati atau enggak. Aku udah tahu banyak sih, kalau dia berkali-kali disakitin juga. Lagian kalau buru-buru, takutnya dia malah nganggep aku main-main aja," Arjun kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Dirga mengangguk paham, dia juga mengerti jika Arjun memang bukan orang yang mudah menyatakan perasaannya. Apalagi ini adalah perasaan cintanya pada seorang perempuan yang sudah cukup lama dia taksir tapi tidak pernah ia berusaha gapai. Entahlah, apa yang akan seorang Arjun lakukan setelah ini, yang jelas Dirga tahu jika Arjun bukan tipikal orang yang mudah dipaksa. Arjun beranjak dari duduknya dan melangkah ke arah sofa ruang sekre lalu merebahkan tubuhnya di sana. Kedua tangannya sengaja dia gunakan sebagai bantalan kepalanya. Pikirannya melayang entah sampai di mana, di satu sisi hatinya sudah merasakan perasaan itu. Namun disisi lain dia ragu untuk menyatakan. Rasanya semua janggal, tidak tahu apa yang kira-kira dia lakukan setelah menyatakan perasaannya pada Rindi. Apakah akan sama atau tidak? Dan Arjun takut dengan semua kemungkinan itu. "Rindi itu perempuan yang baik sih, tapi aku terlalu takut untuk menjalin hubungan yang serius dengannya. Dia memang nggak secantik cewek-cewek yang lagi deket sama aku, tapi entah kenapa dia bikin hidupku rasanya aneh. Dia bikin semua jadi ribet, seakan-akan dia lebih mirip puzzle yang harus aku satuin. Aku benar-benar takut kalau perasaanku hanya sekedar rasa suka sepihak," keluhnya dengan kedua bola matanya yang menatap ke arah langit-langit sekre. Dirga mengulas senyumannya, baginya Arjun sudah dia anggap sebagai sosok adik ketemu gede. Sama halnya dengan Arjun yang selalu menganggap Dirga sebagai kakaknya sendiri. Semua hanya karena mereka punya pemikiran yang sama. Hanya itu yang kini membuat mereka merasa dekat dan saling membantu jika salah satunya sedang memiliki suatu masalah. "Rasain deh kalau kamu benar-benar jauh dari dia rasanya kaya apa? Batasi diri sama dia kalau kamu nggak benar-benar mau seriusan. Rindi kalau dilihat dari caranya aja udah kelihatan suka sama kamu. Perempuan yang suka mengandalkan ilmu eksak, pasti logikanya lebih terbuka. Dia pasti bakal mementingkan apa yang dia lihat daripada apa yang dia rasakan. Jadi, kalau dia suka tapi kamunya terus diam di tempat kaya gini, gimana dia mau tahu. Kalau kamu ngomong sama anak psikologi mereka juga bakalan ngerti, tapi kalau kamu ngomong sama anak matematika, bukannya paham dia malah nambah bingung. Adanya kamu dikira cuma cowok yang suka ngasih harapan tanpa kepastian," jelas Dirga yang baru saja membuka minuman botolnya. Lalu meminum isinya sampai seperempat botol. "Intinya, perempuan kaya Rindi itu, dia suka yang pasti, bukan yang cuma halusinasi. Ayolah, kalau emang kamu serius, kamu nggak akan mundur kan? Tapi kalau emang kamu mau mundur, mending sekarang aja. Kecuekan yang kamu terapkan sama dia itu, bikin dia makin bingung. Kadang kamu perhatian, tapi kadang kaya orang nggak butuh. Kesannya malah dia yang ngejar-ngejar kamu kan? Nggak kasihan sama yang dia alami," Dirga terus saja menyuarakan pendapatnya. Membuat sisi hati Arjun sedikit terbuka untuk menerima saran dari kakak tingkatnya itu. Tiba-tiba ponsel Arjun bergetar, lalu langsung saja dirinya membuka aplikasi chat-nya dan lagi-lagi nama perempuan itu yang muncul. Membuat kedua laki-laki itu saling berpandangan dan terfokus pada pikiran masing-masing. "Rindi?" tanya Dirga yang dijawab dengan anggukan oleh Arjun. Rindi : aku di kampus kamu sekarang. Udah habis bayar juga, kamu di mana? Bisa ketemu nggak soalnya aku masih ada di depan TU ni. Arjun buru-buru bangun dari acara tidurannya dan melangkah pergi dengan cepat dari ruang sekre karena pesan mendadak dari perempuan cerewet yang selalu memanggil dirinya dengan panggilan "Ar" itu. Entah mengapa Arjun melakukannya, namun semua itu respon dari tubuhnya jika perempuan itu memang penting baginya. Ya, sangat penting mungkin. "Itu yang namanya nggak cinta? Baru di chat langsung buru-buru kesana. Bikin pusing aja masalah percintaanmu itu," dengus Dirga yang kembali ke kursinya. Sedangkan di bawah, Rindi sedang duduk sambil bermain ponsel. Mulutnya sibuk mengunyah permen yang baru dibelinya sebelum datang ke kampus laki-laki bernama Arjun itu. Matanya terus melirik kanan dan kiri karena beberapa orang memang menatapnya dengan tatapan aneh. Dia merasa jika ada yang aneh dengannya. Tapi apa? Dia baik-baik saja kok, tak ada yang perlu dikhawatirkan. "Kenapa nggak bilang kalau jadi ke kampusku?" tanya Arjun yang sudah duduk disamping Rindi dengan wajah datarnya. Seperti biasa jika Arjun memang selalu saja cuek dengan siapapun terhadap Rindi. Rindi mengalihkan fokus pada ponselnya ke arah Arjun yang duduk disampingnya, "kan aku udah bilang juga. Kamu sibuk ya? Apa aku ganggu?" Rindi kini menatap manik mata Arjun yang langsung dia alihkan ke tempat lain. Dia benci situasi di mana Rindi begitu rapuh seperti saat ini. "Udah makan?" Arjun langsung mengalihkan pembicaraan mereka dengan topik yang lain. Dia pikir tidak penting untuk membahas hal itu. Dia sudah jatuh cinta namun tidak mau mengakuinya. Ya, dia terlalu munafik jika bilang tidak ada perasaan dengan perempuan itu. "Belum, kalau sama kamu. Mau makan apa, emang?" tanya Rindi antusias yang membuat Arjun memasang wajah sebal. "Makan ati," ketusnya yang sudah beranjak dari duduknya dan berjalan menjauh. "Eh, jangan jauh-jauh perginya. Aku susah nemuin kamu nanti," lagi-lagi Rindi mengeluarkan jurus gombalannya yang membuat Arjun hanya bisa menutup telinganya tak peduli. "Akan datang saat yang paling sulit untuk kita. Tapi aku berjanji akan mengatakan perasaanku tapi pada waktu yang tepat. Aku janji denganmu,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD