2. Tanpa batas

2169 Words
"Masih ngarep sama Arjun yang nggak pasti? Kenapa nggak coba buka hati untuk cowok lainnya? Rama yang anak PBI pasti juga mau sama kamu. Apalagi dia itu udah naksir kamu lama," ucap Arimbi dengan wajah tak habis pikir. Dia bingung mengapa teman kuliahnya itu sangatlah menyukai seorang Arjun yang menurutnya memang tidak suka pada Rindi. Bukankah percuma mencintai orang yang tidak mencintai kita? Rindi menaruh pulpennya di atas meja dan mengalihkan pandangan matanya dari papan tulis ke arah Arimbi, "kalau bisa, aku juga nggak bakalan suka sama Arjun, tapi dia punya sisi positif yang nggak dimiliki orang lain. Hm, tapi tenang aja karena aku masih suka sama loreng," jawab Rindi mantap dengan cengengesan. Perempuan itu kembali mencatat apa yang ada di papan tulis dan mengabaikan Arimbi yang tidak lagi menjawab. Baginya, selama ini tidak ada yang benar-benar memahami dirinya dengan tepat. Teman-teman kuliahnya tidak sama dengan teman-temannya di jaman SMA dulu, yang akan lebih peduli atau akan ada di dekatnya tanpa men-judge dirinya. Rindi tahu, setiap manusia pasti punya masalah, dan kadang kala orang seperti dirinya juga sangatlah membutuhkan teman bicara dan berbagi. Namun, teman-teman kuliahnya ini memang tidak mau peduli. Kadang dia sama sekali tidak didengarkan, mungkin mereka bosan dengan ceritanya yang selalu mengarah pada Arjun atau paling tidak pada si loreng. Padahal selama ini, saat mereka bercerita padanya, dia dengan antusias mendengarkan lalu jika bisa dia akan memberikan saran walaupun kadang mereka tidak cocok dengan saran yang Rindi berikan. Rindi memang langsung memberikan saran yang menurut dirinya benar dan kadang dia juga menyalahkan temannya. Dia memang pintar dalam kritik dan penengah dalam masalah orang-orang. Tapi dia belum mampu menengahi masalah hatinya yang kacau. "Pulang yuk, aku udah selesai nulis." ucap Rindi yang sudah memasukkan barang-barangnya ke dalam tasnya. Mata kuliah siang ini memang cukup sangat membosankan. Ditambah dengan tulisan sang dosen yang nampak seperti sandi rumput dalam Pramuka. Benar-benar membuat matanya sakit. Arimbi mengangguk dan ikut berjalan bersama dengan Rindi. Mereka memang sering pulang bersama naik trans jogja. Kadang saat mood-nya jelek begini, dia akan banyak diam daripada bicara. Wajahnya begitu tidak bersahabat karena dia merasa kesal. Dia berada di batas titik lelah dan tidak ada yang mau mendengarkan keluh-kesahnya. Apa dia tidak pantas untuk didengarkan? Dia punya banyak teman, namun hanya satu yang bisa mendengarkan dirinya dengan baik. Selebihnya mereka hanya teman yang sekedar bicara teman tapi kenyataannya mereka bukan bagian dari seorang teman. Tiba-tiba ponselnya bergetar dan menandakan ada pesan yang masuk ke ponselnya. Dia langsung mengusap layarnya ke atas dan terpampang sebuah pesan di sana. Arjun : di mana? Aku lagi kosong ni, mau makan siang bareng? Rindi diam sejenak lalu tetap fokus pada jalanan yang rasanya begitu panjang. Padahal hanya sekitar satu kilometer untuk menuju halte tapi sekarang semua fokus pikirannya malah tertuju pada pesan yang sudah dikirimkan seorang Arjun padanya. Dia bingung, tapi entah mengapa ada puing-puing kesenangan saat Arjun bilang itu padanya. Tapi tetap saja Rindi merasa bimbang karena selama ini Arjun selalu memperlakukan dirinya dengan seenaknya. Entah mengapa Arjun melakukan itu padanya. Rindi : mau kok. Mau makan di mana? Aku udah di halte. Rindi melirik Arimbi yang ada disampingnya. Mereka biasanya pulang bersama, tapi kalau dia pergi dengan Arjun, lalu Arimbi bagaimana? Walaupun Arimbi tidak peduli padanya, tapi dia juga masih punya perasaan. Lagi pula Arimbi bukan orang yang berani naik trans sendiri. Pasti dia akan marah jika Rindi terlalu memilih bersama dengan Arjun. Tapi dia juga mau sebentar saja pergi dengan Arjun. Karena kesempatan ini tidak datang dua kali kan. Jarang sekali Arjun mengajak dirinya. Tapi, apa dia akan menyia-nyiakan waktunya sekarang? Tak lama mereka sudah sampai di halte sedangkan pesannya itu belum dibalas sama sekali oleh Arjun. Jangankan dibalas, dibuka saja belum. Arimbi saat ini baru mengoceh tentang keluarganya dan menceritakan cowok yang sedang mendekati dirinya di kampus. Arimbi memang lebih cantik dari Rindi, sayangnya dia cuek dengan lingkungan sekitar dan menganggap hidupnya saja lebih penting dari hidup orang lain. Namun acara cerita keduanya terpotong saat sebuah motor berhenti di depan halte. Arjun membuka helm full face miliknya dan menatap kedua perempuan yang sedang bicara di depannya. "Sorry Rim, aku bisa nggak ngajak Rindi pergi. Soalnya ada masalah yang harus aku selesain sama dia," ucap Arjun yang tak menatap ke arah Rindi sama sekali. Sedangkan Arimbi tidak punya pilihan lain kecuali untuk mengiyakan kemauan Arjun. "Oh, oke nggak masalah," jawab Arimbi yang melirik Rindi yang duduk disampingnya dengan wajah yang sulit di deskripsikan. Rindi tetap diam meski kakinya berjalan mendekat ke arah Arjun yang berada di bawah. Rindi menatap wajah Arjun sekilas lalu menerima helm yang laki-laki itu sodorkan padanya. Baru setelah itu Rindi duduk di boncengan motor Arjun setelah memakai helm itu. Kedua manusia itu tidak saling bicara walaupun motor Arjun sudah melaju membelah jalanan yang ramai. Sesekali Rindi tersenyum karena aroma parfum Arjun yang menyeruak di indera penciumannya begitu lembut. Dia kecanduan dengan aroma tubuh Arjun walaupun dirinya tetap diam, menyembunyikan detak jantungnya yang rasanya mau meledak karena detaknya luar biasa. Baru setelah sampai di sebuah rumah makan lesehan yang menyediakan makanan laut motor Arjun berhenti. Dia mengajak perempuan yang ada di boncengan belakangnya itu untuk makan-makanan kesukaannya. Rindi menatap Arjun yang sudah berjalan lebih dulu. Matanya menerawang, entah mengapa pikirannya kembali bercambang karena berubahan sikap Arjun setiap kali bersamanya. Kadang dia bisa berlaku cuek serta tidak peduli, lalu bisa bersikap manis serta overprotektif. Entahlah, Arjun melakukan semuanya untuk apa? Dia juga bingung. Mereka duduk saling berhadapan sedang Arjun sibuk dengan buku menu yang berada di dalam genggaman tangannya. Rindi hanya menjadi penonton karena Arjun yang memilih semua makanan yang mereka makan. Walaupun sebenarnya Rindi juga suka makanan yang dipilihkan Arjun, mungkin selera mereka sama. Ada udang balado, ca kangkung, dan juga es jeruk yang akan menjadi minuman penyegar di kala udara panas begini. "Biasanya sibuk organisasi, rapat sana-sini, sibuk bikin laporan, dan nemenin kak Dirga sosialisasi di luar," ucap Rindi yang mengabsen kegiatan Arjun diluar kepala. Dia sudah sangat hapal dengan seluruh kegiatan positif atau sok sibuk yang selalu dilakukan seorang Arjun. Bahkan Rindi sering dimarahi karena Rindi memang termasuk ke dalam mahasiswa kupu-kupu—kuliah-pulang-kuliah-pulang. Intinya tidak ada kegiatan selain itu. Rindi memang pasif di kampus bahkan kelasnya. Dia tipe mahasiswa manutan—nurutan lah. Apa-apa iya, teman kesana dia kesana, teman kesini dia juga kesini. Intinya dia hanya pasif tanpa melakukan hal yang disebut inovasi. Ikut UKM—Unit Kegiatan Mahasiswa atau biasa dikenal dengan ekstrakulikulernya anak kuliahan saja tidak, apalagi ikut dalam organisasi semacam BEM. Walaupun di jaman SMA, Rindi termasuk siswa berprestasi, namun untuk urusan kuliah dia cenderung pasif. Banyak teman-temannya yang menganggap dirinya sebagai orang yang cuek dan acuh pada sekitarnya. Padahal dia hanya tidak pandai bersosialisasi. Arjun diam sejenak lalu menaruh ponselnya di atas meja. Biasanya jika mereka sedang berduaan begini, Arjun memang selalu tidak lepas dari ponsel. Maklum, dia kan orang sibuk. Jadinya apa-apa dibutuhkan oleh seniornya. Rindi juga tahu, para fans dari laki-laki di depannya itu bukan hanya dari kalangan anak-anak psikologi saja, namun dari banyak prodi juga berkumpul membentuk komunitas pecinta seorang Arjun. Sudah jelas kan jika Arjun memang dikenal oleh banyak kalangan, karena dia aktif dan pintar bicara. "Aku nggak sibuk dan aku nggak akan main hp kalau barengan sama kamu. Aku minta maaf soal kemarin yang bikin kamu marah mungkin," ucap Arjun yang tidak lagi terfokus pada ponselnya. Kini pandangan laki-laki itu penuh ke arah perempuan di depannya. Sebenarnya mereka ini apa? Teman atau orang yang belum jadian? Suka tapi tidak pernah memperlihatkan satu sama lain? Rindi mengangguk lalu menatap mata Arjun dalam, dia suka cara Arjun menatapnya. Laki-laki itu memang sudah memenuhi separuh hatinya yang kosong. Walaupun sebenarnya Rindi tidak percaya-percaya banget jika Arjun menyukainya. Dia takut mendapatkan cinta sepihak yang akan membuat dirinya patah hati parah. "Aku enggak marah sama sekali kok. Ku pikir, hari ini sudah cukup untuk menggantikan hari-hari kemarin waktu kamu sibuk." senyum Rindi yang membuat Arjun semakin merasa bersalah. Dia selalu ketakutan setiap ingin mengatakan isi dalam hatinya. Arjun terlalu takut jika Rindi tak mencintainya dan nantinya akan meninggalkan dirinya begitu saja, sama seperti perempuan-perempuan masa lalunya. Rindi selalu memberikan dirinya rasa nyaman, namun dia terlalu pengecut untuk menjadikan perempuan itu sebagai bagian dari hidupnya. Semua hal yang dia tahu tentang Rindi juga penuh luka. Dikhianati dan juga disakiti pernah Rindi alami dulu. Dia juga merasa belum pantas mengungkap apa yang dia rasakan. "Bisakah kita seperti ini terus? Aku takut, takut kamu akan hilang nanti. Aku nggak mau kehilangan kamu, Arjun. Aku benar-benar ketakutan jika semua itu terjadi." Arjun menangkap sorot mata Rindi yang meredup, seakan dia paham isi perempuan itu. Andai saja, Arjun memiliki keberanian lebih, pasti dia sudah mengajak Rindi berkomitmen. Masih ada rasa yang belum tuntas jika dia harus kembali menjalani kisah dengan orang baru. Walaupun Rindi bukan orang yang baru satu dua hari dirinya kenal. "Semua akan baik-baik saja, aku janji." Arjun menatap sekilas mata Rindi lalu fokus pada piring di depan mereka. Baru saja makanan mereka datang dan Arjun menghentikan pembahasannya. Sebenarnya Rindi tidak paham dengan maksud Arjun yang bilang jika semua akan baik-baik saja. Bahkan Rindi tidak banyak bicara jika bersama Arjun karena dia kehabisan kata-kata. Baginya, dia harus selalu hati-hati dalam bicara jika bersama dengan Arjun. Laki-laki itu selalu memarahinya jika apa yang Rindi lakukan salah atau terlampau kekanakan. "Aku nggak ngerti kenapa kamu melakukan semua ini. Terkadang kamu acuh denganku, tapi kamu juga memperlakukan aku begitu manis. Aku tidak berhak tanya, aku tahu. Tapi tolong ingatkan aku, jika aku melampaui batas terhadapmu," suara Rindi kini membuat syaraf di tubuh Arjun kaku seketika. Mengapa Rindi menanyakan hal semacam itu padanya. Sikapnya memang aneh, tapi dia juga belum siap dengan semua. Dia masih harus berpikir jauh soal hatinya dan juga hati Rindi padanya. Arjun melahap makanan yang ada di tangannya dan memilih mengabaikan semua pertanyaan Rindi jika berhubungan dengan hatinya. Rindi menatap layar ponselnya setelah bergetar, ada pesan dari Rama yang diawal disebut-sebut sebagai anak PBI yang menyukai Rindi sejak awal masuk kuliah. Bahkan laki-laki itu sudah berkali-kali menembak dirinya tapi selalu saja ditolaknya mentah-mentah. Entah apa yang membuat Rindi tidak mau membuka hati untuk orang lain. Bahkan dirinya menunggu orang yang tidak pasti. Rama : dimana Rin? Nanti mau jalan-jalan ke alun-alun nggak? Kayanya seru kalau jalan-jalan di Jogja bareng kamu. Lagian aku juga bukan orang sini, jadinya enakan kalau kamu yang jadi pemanduku. Nanti aku traktir telur gulung deh. Gimana? Rindi berpikir sejenak, tiba-tiba dia mengingat apa yang Arimbi katakan tadi. Jika dirinya juga harus membuka hati, namun apa dia masih bisa memikirkan soal membuka hati sedangkan dia saja sedang nyaman-nyamannya duduk berdua dengan Arjun. Arjun melirik Rindi sesaat dengan ekspresi yang sudah berubah kesal, "nggak, jangan pergi sama dia. Cewek nggak bagus keluar malam-malam. Nanti masuk angin," ketusnya yang membuat Rindi akhirnya mengangguk karena menurut dengan ucapan Arjun padanya. Lalu buru-buru dia mengetikkan sesuatu di sana. Rindi : maaf ya Ram, aku nanti mau ngerjain tugas metode statistik. Soalnya susah dan banyak jadinya nanti aku mau ngerjain bareng teman-temanku. Sekali lagi maaf. Rindi menaruh ponselnya dan melanjutkan makanannya. Dia tahu jika Arjun sedang badmood apalagi jika dilihat dari ekspresi wajahnya yang sudah berubah. Masa iya marah karena Rama mengiriminya pesan. Kan antara mereka juga bukan apa-apa. Mereka hanya seorang teman dan tidak lebih. Hanya saja Rindi menyukai Arjun, sangat-sangat menyukainya. Dia juga sudah melakukan apa yang Arjun mau. Dia tidak akan pergi dengan Rama. Walaupun sebenarnya, Arjun tidak punya hak dengan itu. Dan harusnya dia juga berani melawan karena Arjun bahkan tidak menanyakan perasaannya. Sebenarnya mereka ini apa? Kadang dia juga berpikir, kenapa harus menuruti Arjun? Kenapa lidahnya selalu Kelu untuk bilang jika dia tidak mau. Padahal dia dan Arjun belum jelas kan? Ya, belum jelas! "Kenapa kamu ngelarang aku? Selama ini kamu sering larang aku ini itu, kenapa?" tanyanya lagi yang membuat Arjun diam. Rindi kembali memberondong pertanyaan pada Arjun, "kenapa kamu nggak jawab? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku? Jawab Ar," desak Rindi yang membuat emosi malah memuncak di kepala Arjun dengan cepat. "Kalau kamu emang nggak mau dilarang ya udah. Terserah lah kamu mau gimana atau lakuin apa sesukamu. Emangnya aku peduli," ucapnya kasar dengan wajah merah padamnya yang membuat Rindi terpaku di sana. Tangannya dingin karena dia ketakutan ditambah dengan sorot mata Arjun yang seakan menjelaskan jika dirinya salah. Perlahan air mata Rindi jatuh dengan satu kedipan mata. Dia takut dengan keadaan di mana orang yang paling dicintainya membentaknya hanya karena pertanyaannya. Dia tidak bisa mengendalikan air matanya yang terlanjur banjir di pipinya. Arjun menghela napasnya kasar, "maaf. Aku benar-benar kelepasan marah sama kamu." sesalnya dan meraih jemari Rindi yang berada di atas meja. Rindi diam dengan detak jantung yang dipompa lebih cepat. Namun air matanya juga tiba-tiba kering karena hatinya mulai hangat dengan genggaman tangan Arjun. "Maafin aku. Aku nggak mau lihat kamu nangis," ucapnya lirih lalu tak berapa lama Rindi mulai membaik dan mengangguk. Sebegitu mudahnya membuat Rindi membaik? Apa hanya dengan melihat penyesalan di wajah laki-laki itu, dan Rindi lupa dengan semuanya? Inikah cinta yang sesungguhnya? Jika iya, semoga ini cinta yang benar. Cinta yang akan membawa keduanya untuk tetap saling bertahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD