3. Aku mencintaimu

2050 Words
Rindi kembali mencatat soal  geometri analitik bidang yang tercatat rapi di papan tulis. Sesekali dirinya hanya bisa menguap beberapa kali karena mengantuk. Semalaman dia hanya bisa membayangkan masa-masa di mana Arjun menggenggam tangannya dengan lembut. Benar-benar membuatnya melayang sampai ke angkasa dan lupa turun lagi. Dia selalu saja merasa lebih baik jika Arjun sudah mulai berbaik hati kepadanya. Laki-laki itu walau sulit ditebak, namun dia bisa mengartikan jika Arjun memang laki-laki yang perhatian. Kali ini dia hanya sendiri karena dia jam kuliahnya berbeda dengan Arimbi. Wajahnya yang biasanya ceria nampak kurang baik. Dia hanya baik-baik saja di depan teman-temannya namun kusut saat tidak ada orang. Dia juga sering menangis sendirian jika hatinya sudah tidak mampu menahan emosi di dalam dirinya lagi. Seperti jika sedang ada masalah dengan hatinya, pasti Rindi akan memendamnya dan meluapkannya saat sendirian. Dia paham soal hatinya yang rapuh ini. Tapi dia selalu saja menyembunyikan hatinya dari orang-orang. Berlagak baik-baik saja bahkan di depan Arjun. Padahal setumpuk masalah sedang menekan otaknya. Rindi bukan perempuan yang bahagia dan punya banyak orang-orang yang peduli padanya. Dia hanya perempuan sok tegar yang diam-diam menangis jika bebannya terlalu berat dan dirinya tidak lagi kuat menampung. Rindi kembali tumbang dengan air mata yang mengalir pelan menuruni pipinya. Sudah sejak kemarin dirinya merasakan sesak di dalam hati. Bukan soal Arjun atau yang lainnya, tapi soal keluarganya sendiri. Bagaimana bisa dia merasakan beban berat dan disimpan sendiri, itu karena selama ini Rindi tidak punya seseorang yang mau sukarela mendengarkan dirinya. Sebagian dari teman-temannya selalu saja menganggap ceritanya bukan urusan mereka dan mengabaikan begitu saja. Sejak kecil Rindi memang sudah menjadi korban bully oleh teman-temannya. Hidupnya yang sering berpindah karena ayahnya yang selalu saja pindah pekerjaan, membuat dia mau tidak mau harus datang dari satu kota ke kota lainnya. Sampai saat dia duduk di sekolah dasar. Teman-temannya tidak suka padanya karena fokus guru-guru tertuju padanya yang pintar. Ditambah waktu itu dia menjadi juara satu berturut-turut dan menggeser temannya yang juara. Semua temannya membencinya karena hal itu. Bahkan anak SD bisa berkonsentrasi untuk membuat anak-anak satu sekolah tidak mau berteman dengannya. Bukankah sudah biasa baginya tidak punya teman? Lalu semua itu berlanjut saat SMP, temannya itu masuk sekolah yang sama dan kejadian bully itu kembali terjadi. Dia usir dari kelompok dan dipojokkan karena hal yang bahkan bukan kesalahannya. Semenjak saat itu Rindi tidak pernah percaya dengan orang-orang disekitarnya yang hanya akan menyakitinya suatu hari nanti. Dia ingin menghabiskan waktunya dengan dirinya sendiri tanpa ada orang lain tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Rindi hanya perempuan yang sok kuat di luar namun rapuh di dalam. Pertengkaran orangtua yang bahkan menjadi backsound setiap langkanya. Ditambah dengan emosi yang meluap-luap yang diperlihatkan keduanya jika mereka berada dalam satu atap yang sama. Bukankah mereka keluarga? Yang katanya akan bersama walaupun keadaannya sulit sekalipun. Sama halnya dengan keluarga yang penuh dengan ketidaknyamanan. Semua berawal dari keduanya yang memang sudah tidak saling mencintai karena hubungan pernikahan kedua orangtuanya memang bukan beralaskan suka sama suka. Namun berlandaskan pada rasa kasian yang ibunya berikan kepada sang ayah dulu. Hanya karena ibunya tidak bisa bersama dengan sang cinta di masa lalu. Tapi itu jelas bukan urusannya. Rindi paham semua orang pasti punya masa lalu. Sama halnya dengan kedua orangtuanya. Kehidupan mereka yang pas-pasan karena ayah Rindi hanya bekerja sebagai karyawan di salah satu pabrik sedangkan ibunya bekerja berjualan makanan di warung kecil depan rumah, apalagi dia bukan anak tunggal. Dia punya dua adik yang masih sangat membutuhkan biaya sekolah. Keduanya sama-sama duduk dibangku SMA dan sama-sama laki-laki, jadi jelas mereka juga membutuhkan banyak fasilitas demi menunjang kehidupan SMA mereka. Kedua orangtuanya memang sejak awal Rindi masuk kuliah adalah agar Rindi mendapatkan beasiswa dan kuliah secara mandiri. Namun semua pupus saat akhirnya Rindi tidak masuk sebagai mahasiswa penerima beasiswa. Entah mengapa dia yang nilainya lebih bagus malah tidak diberikan kesempatan untuk mendapatkan beasiswa itu. Dia tidak berpikir yang lain selain mendapatkan beasiswa. Dia tidak mau masuk negeri karena entah mengapa dia sama sekali tidak minat. Baginya sekolah di mana saja yang penting niatnya. Mau negeri atau swasta, karena mereka sedang belajar dan bukannya mencari pengakuan. Ia kembali menghela napasnya kasar, sudah satu jam lebih dia mendekam di kelas sendirian dan menumpahkan perasaaan kesalnya di sini. Rasanya beban di dalam otaknya sedikit hilang ditambah dengan emosinya tadi juga sudah hilang. Dia memang tidak pernah merasakan suatu yang dinamakan kebahagiaan yang benar-benar murni. Dia hanya mengumbar tawa sana-sini tapi tidak benar-benar bahagia. Rindi melangkah keluar dengan santai dan mendapati laki-laki yang dulunya memang sangat akrab dengannya. Mereka dulu teman dekat, namun entah saat mereka semua masuk kuliah, tidak ada yang benar-benar mau menjadi temannya. Sama halnya dengan laki-laki itu yang memilih acuh padahal mengenal dirinya dengan baik. Kadang, ada saat kita pura-pura tidak mengenal padahal mengenal hanya karena merasa tidak dipedulikan. Teman-temannya itu bersifat sementara. Semuanya hanya bagian dari orang-orang yang numpang lewat semata. Seakan-akan dia memang tidak pantas di kenang sama sekali. Kadang, dia juga bingung harus minta bantuan dengan siapa jika dia sedang merasa kesulitan. Maka dari itu semua bebannya dia tahan sendirian sampai pikiran dan hati penuh dengan banyak masalahnya sendiri. Rindi rasa, teman-temannya malu dengan dirinya. Dia bukan orang yang cantik dan juga populer. Sudah jelas kan, jika yang cantik maka akan cenderung memiliki banyak teman. Entah itu fakta atau hanya sekedar opininya. Tapi bukankah selama ini yang jelas-jelas berlaku adalah hal itu? Di mana perempuan cantik dan punya tingkat percaya diri yang baik selalu di dekati oleh teman-teman yang banyak. Jadi baginya sendiri, tidak ada pertemanan yang benar-benar tulus. Adanya pertemanan bersyarat yang akan menjadi timbal balik bagi mereka. Lalu, apa gunanya berteman dengannya? Tidak ada gunanya, bukan? Perempuan yang tidak pernah bersosialisasi dengan baik dan tidak menarik karena terlalu cuek, mereka anggap sebagai orang yang berbeda. Sedangkan mereka yang sibuk memvonisnya tidak benar-benar tahu bagaimana kehidupannya yang begitu sulit. Dia tidak mau berteman, baginya semua hanya akan menyakitinya. Mereka yang dekat dengannya hanya sedang menunggu waktu untuk pergi meninggalkannya. Ya, Rindi yakin jika semua orang akan pergi pada masanya. Sejauh ini dia juga merasakannya. "Kupikir kita benar-benar sudah berteman dengan baik. Tapi saat ini aku rasa, semua orang malu mengakui aku sebagai teman hanya karena aku tidak secantik teman-teman yang berada di dekat mereka. Hanya karena aku tidak pernah dandan dan terlihat biasa saja tanpa make up. Tapi baiklah, aku sadar diri. Mereka memang orang yang melihat sesuatu dari fisiknya," ### Arjun melipat banner yang akan dia bawa ke acara bakti sosial dengan cara mengajar di kolong jembatan bersama dengan sebuah kelompok ibu-ibu muda yang putus sekolah karena sudah hamil duluan. Rata-rata mereka memang dibuang keluarganya karena merasa malu dengan mereka dan sebagian lagi sudah dititipkan agar kehidupan mereka tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya yang memang kejam jika sudah menyangkut yang upnormal seperti itu. Laki-laki dengan kaos berkerah warna abu-abu itu bolak-balik mengecek ponselnya. Tapi masih sama karena tidak ada pesan dari perempuan itu. Arjun tidak paham mengapa dia semakin jelas melakukan hal-hal bodoh semacam ini. Dia menunggu Rindi mengiriminya pesan sedangkan dirinya juga tidak sedang berusaha mengirim pesan duluan. "Dari pada mondar-mandir nggak ada yang nge-chat. Mending di chat duluan, Jun. Siapa tahu dia lagi butuh kamu kan bisa aja," ucap Dirga yang juga sibuk mengikat banner yang ditinggal mondar-mandir Arjun sejak tadi. Arjun mengangguk sekilas lalu membuka aplikasi pesannya. Dahinya mengernyit karena tumben-tumbenan Rindi tidak aktif. Biasanya perempuan itu jam segini selalu aktif. Bahkan terakhir di lihat juga sudah lama sekali. Sekitar pukul lima pagi dan sekarang sudah pukul empat sore. Pikirannya jadi semakin bercabang, ditambah dengan dirinya yang tidak bisa datang untuk menanyakan langsung apa yang terjadi pada perempuan itu karena sekarang dia benar-benar sibuk. Gara-gara sudah off kemarin, sekarang dia tidak bisa pergi kemana-mana. Arjun : angkat teleponku. Kamu di mana? Sudah sepuluh menit berlalu dan Rindi sama sekali tidak aktif. Jangankan membalas pesannya, membuka pesannya saja belum sama sekali. Tidak biasanya perempuan satu ini lama jika membalas pesan darinya. Dia jadi semakin tidak fokus. Arjun memang sibuk membantu persiapan untuk acara besok, namun pikirannya juga tidak sedang berada di sini. "Jun, mikirin apa sih?" tanya Lusia yang menyodorkan botol air mineral ke arahnya. Sedang Arjun hanya menggeleng karena tidak paham juga apa yang tengah menjadi pikirannya. "Makasih ya," ucapnya setelah menerima botol itu dan buru-buru membuka tutupnya. Lusia hanya bisa melirik Arjun dari samping karena Arjun memang tidak sedang menatapnya. Jika dilihat sekilas saja sudah terlihat jika Arjun memang banyak pikiran. Entah apa yang menjadi masalah terbesarnya, namun kebungkaman Rindi juga menjadi sesuatu yang sedang dia pikirkan. "Jun, kapan-kapan ajak aku main ke tempat yang bagus dong. Kamu kan udah sering jalan-jalan tuh di daerah sini," ucap Lusia yang mengalihkan fokus mata Arjun. Laki-laki itu menatap Lusia lalu mengangguk singkat. Lusia adalah salah satu teman perempuan Arjun, sama-sama mahasiswa psikologi dan sering jalan bersama dengan Arjun. Bahkan mereka juga sering disebut-sebut sebagai best couple anak psikologi karena mereka memang pas banget. Yang satu ganteng dan yang satu cantik. Sebenarnya, Arjun tidak mau ambil pusing soal julukan itu, namun Lusia semakin lama malah semakin baper dengan ciee-an teman-temannya ketika mereka sedang bersama. Arjun menghela napasnya kasar, namun matanya yang tadinya tidak fokus sekarang menatap ke arah depan pintu masuk kampusnya. Perempuan yang dia cari berada di depan sana. Rindi diam saat kedua bola mata mereka saling bertatapan. Dengan wajah Rindi yang lesu lalu berjalan agak menjauh karena dia sudah melihat jika Arjun sedang duduk bersama dengan perempuan. Dia merasa jika kedatangannya memang tidak tepat. Arjun melangkah lebih dulu sebelum Rindi keluar dari kampusnya. Tangan Arjun sudah berhasil menggapai tangan Rindi dan menariknya. Keduanya diam dengan helaan napas Arjun yang terdengar kasar. Sudah berapa kali perempuan di depannya ini membuat hidupnya serasa aneh. Tapi baiklah, Arjun tidak bisa mengingkari jika dia suka cara Rindi menatapnya atau sekedar manja seperti anak-anak. Dia jatuh cinta tanpa alasan sama sekali. "Jun, kita banyak kerjaan. Kamu tahu kan?" ketus Lusia yang kini berjalan mendekat ke arah Arjun dengan santainya. Arjun mengangguk, "iya, aku tahu." jawabnya singkat dan menjauh dari sana. Membuat Lusia mengepalkan tangannya. Baginya Rindi adalah musuh yang nyata, karena hanya karena perempuan itu, Arjun tidak menoleh ke arahnya. Rindi melepaskan tangannya pelan lalu duduk di kursi panjang yang ada di bawah pohon fakultas psikologi itu. Udara memang sudah mulai menghangat karena sudah mulai sore, cahaya keemasan juga menjadi sebuah pertanda jika malam akan menyapa. "Kenapa? Tumben kesini nggak bilang sama aku? Kalau ada masalah cerita sama aku. Aku disini, buat kamu," ucap Arjun susah payah yang membuat Rindi mengangguk tanpa menatapnya. Perempuan dengan rambut sebahu itu hanya memainkan ujung jarinya lalu menatap pepohonan yang menjadi background dari fakultas ini. Tidak berlebihan jika Rindi suka kesini terlepas ada seorang Arjun yang memang berada di dekatnya. "Aku mau pulang," ucapnya yang kini berubah menjadi rengekan pada Arjun. Membuat laki-laki dengan wajah ganteng itu mendengus sebal. Masa iya, jauh-jauh ke kampusnya hanya minta pulang padanya. Arjun mengelus kepala Rindi dan beranjak dari duduknya, "ya, aku ijin dulu sama bang Dirga. Kalau nggak di kasih ijin, kamu pulang sendiri ya." ucap Arjun yang kini berjalan menjauh. Membuat Rindi hanya memanyunkan bibirnya. Entahlah mengapa dia datang ke sini dan sekarang malah bilang ingin pulang. Sedangkan Arjun berjalan ke arah kerumunan anak BEM yang sedang istirahat. Langkah kakinya berhenti di depan Dirga yang duduk sambil meminum air mineralnya. "Bang boleh ijin keluar nggak? Aku ada kepentingan bentar," ucap Arjun pada sang ketua BEM di sana. Membuat fokus para anak-anak BEM juga menatap ke arahnya. Dirga menaikkan sebelah alisnya ke arah Arjun, "mau kemana?" tanyanya yang langsung Arjun arahkan ke arah di mana Rindi duduk. Dirga lalu mengangguk dan disambut dengan senyuman di wajah Arjun. Laki-laki itu buru-buru berlari untuk menghampiri Rindi. "Kok di kasih ijin, bang? Arjun kan udah kemarin minta off, masa sekarang abang ijinin lagi. Bisa ngelunjak kan," sinis Lusia yang mendapat perhatian penuh dari Dirga. "Sekarang juga waktunya untuk istirahat kan? Jadi, ya aku nggak ada alasan buat ngelarang dia," jawab Dirga singkat dan sibuk melanjutkan acara makannya. Sedangkan di sana, Arjun dan Rindi masih saja diam. Mereka masih berada di parkiran dengan wajah Rindi yang masih sendu karena sejak di kampus hanya ia isi dengan menangis saja. Arjun menaruh tasnya di atas motor dan langsung berhambur untuk memeluk Rindi. Rindi? Dia hanya kaget dengan apa yang Arjun lakukan padanya. Rasanya dia diterbangkan ke langit ke tujuh. Yang membuatnya lupa dengan segala kesedihannya. "Aku mencintaimu,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD