Bab 5

1105 Words
Raka menatap Tiara yang terlihat salah tingkah. Playboy itu menunggu ucapan terima kasih dari gadis di depannya. Ddrrt ddrtt. Namun, sampai detik berganti menit. Sampai handphone di saku kemeja Raka bergetar tanda mendapat panggilan masuk, kata singkat yang ditunggu itu tidak kunjung terucap dari bibir Tiara. "Kamu duluan aja, aku mau jawab telpon." suruh Raka yang merasa sebal. Hanya mengangguk satu kali dan tanpa berkata-kata, Tiara berbalik lalu melaksanakan titah Raka. "Cewek darimana sih lo, Ra?" Raka mengomel sebelum menjawab panggilan. ××× Tiara berjalan dengan semangat penuh, karena perutnya yang kosong sebentar lagi akan terisi. Jujur saja dia memang merasa lapar karena sejak siang tadi dia belum makan. "Assalamualaikum Abah." Seorang pria tua yang sedang mengoseng nasi di wajan, menoleh. "Wa alaikumussalam." Senyum hangatnya memancar. "Tiara. Kamu kemana aja? Lama nggak kelihatan." tanya Abah setelah menjawab salam dari Tiara. "Hehe, nggak kemana-mana kok, Bah. Lagi sibuk sama kuliah aja." jawab Tiara seraya tersenyum manis. "Bah, aku pesen satu, ya, kayak biasa." "Sipp." sahut Abah sambil mengacungkan jempolnya. Tiara berbalik dari gerobak, bersiap untuk mencari tempat yang masih kosong. "Bowo." pekiknya saat mendapati seseorang yang dikenalnya tengah duduk sambil menikmati sate jeroan. "Beneran Bowo kan?" "Ra, jangan bawa-bawa nama kampung gue disini." Pria berseragam security itu menyahut sengit. Tiara tertawa kecil. "Ya ampun, kamu apa kabar?" tanyanya lalu duduk tanpa diperintah maupun permisi. "Baik, sebelum kamu dateng sambil bawa nama kampung gue." jawabnya, masih sewot. Tiara kembali terkikik. "Nama itu pemberian dari orang tua Wo." "Iya, tapi jangan panggil gue Bowo juga dong, Ra." Pria bernama lengkap Nugroho Adi Wibowo itu membuang muka. Tiara mengangguk-angguk. "Iya-iya, maaf." Gadis itu lalu beralih menatap seorang gadis di samping Bowo. "Aku nggak dikenalin nih sama cewek kamu?" Tiara berkedip jenaka. "Dia temen gue, namanya Wina." Bowo menoleh pada gadis di sampingnya. "Kenalin Win, ini sohib gue dari jaman orok di kampung. Tiara." Tiara mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman. Tak lupa senyum indah terukir di bibir. "Tiara." "Wina." × Sambil menjawab telepon, Raka terus mengamati Tiara dari kejauhan. Dia bisa melihat saat gadis itu tersenyum manis dan tertawa bahagia. Sangat cantik, tapi sayang sekali, senyum dan tawa itu bukan untuknya. Setelah sambungannya dari sang kakak berakhir, Raka lalu mengantongi benda elektroniknya tersebut ke dalam saku celana. Dia akan berusaha tetap terlihat santai walau sejujurnya hatinya sudah mulai memanas. × "Ra, aku nggak jadi makan di sini." Tiba-tiba sebuah suara menginterupsi mereka bertiga. Tiara mendongak. Apa sih maunya cowok ini? Ngeselin banget, batinnya sebal. "Ayo cari tempat lain aja." Raka menarik lengan Tiara yang dibalut jasnya. Sejak kapan Tiara jadi memakai jas itu. Bukankah tadi Raka hanya menyampirkan di bahu telanjang Tiara. "Kamu kalau mau cari tempat lain, cari aja sendiri. Aku mau makan di sini. Nanti aku pulang sendiri." tolak Tiara seraya menghempaskan tangan Raka dan kembali menatap Bowo, ingin melanjutkan perbincangan. Gadis itu mungkin lupa dengan barang bawaannya yang masih berada di dalam mobil Raka. Bahkan saat ini dia sedang tidak membawa ponsel. "Nggak bisa, ayo ikut!" Raka sedikit menyentak. "Wo, tolongin gue." Tiara meronta saat tubuh kecilnya ditarik paksa oleh Raka. "Ogah." tolak Bowo mentah-mentah. Dia masih kesal karena Tiara memanggilnya Bowo. "Bawa aja, Mas." jawab Bowo sekenanya. Nggak usah sok akrab, batin Raka masih sebal. Tiara dipaksa masuk lagi ke dalam mobil. Padahal perutnya sudah semakin keroncongan. "Aku tadi udah pesen sama Abah." ucapnya sedikit berteriak saat Raka sudah duduk dibalik kemudi. Raka menggosok telinganya yang baru mendapat hajaran suara Tiara. "Biasa aja, nggak usah teriak-teriak." "Aku udah pesen!" Tiara makin berteriak kencang. Tak lupa, kakinya juga menghentak-hentak seperti anak kecil. "Cewek kalo lagi laper jadi kayak singa." Raka bergumam lirih sambil menjalankan kemudi. "Apa?" tanya Tiara yang merasa Raka tadi mengejeknya. "Nggak, aku nggak ngomong apa-apa." Raka berkelit. "Kita cari tempat makan lain." Tiara bersedekap, sebal, gagal sudah rencananya untuk terlepas dari Raka malam ini. Apalagi dia tadi sudah berteriak-teriak seperti kucing tak diberi makan sebulan. Sangat memalukan. × Hening, setelah Tiara teriak-teriak tadi, sekarang ia memilih untuk menutup mulut. Karena sebanyak apapun ia berbicara, tetap tidak akan ada gunanya. Raka melajukan kendaraannya cukup pelan sembari melihat kanan kiri. Mencari makanan yang banyak dijual di pinggir jalan. Jam di pergelangan tangan Raka sudah menunjuk pukul 21.40 waktu indonesia barat. Sudah lewat jauh dari jam makan malam. Dia juga hampir tidak pernah makan di jam-jam segini. Tapi, mengingat perut Tiara yang berbunyi tadi, dia harus memastikan gadis itu mengisi perutnya terlebih dahulu. "Mau makan apa kamu, Yang?" tanya Raka tanpa menoleh. 5 detik. 10 detik. 30 detik. "Sayang, kamu mau makan apa?" ulang Raka karena Tiara tetap diam tak menyahuti pertanyaannya. Cewek dimana-mana kalau ngambek sama aja, batinnya mengingat Melissa dan Hara juga akan mogok bicara jika sedang marah. Raka lalu menoleh ke samping, ia mendapati kedua mata Tiara yang sudah terpejam. Rupanya gadis itu ketiduran. ××× Raka menggendong tubuh kecil Tiara dengan hati-hati. Keluar dari mobil, ia langsung menuju lift di basement yang akan mengantarnya ke lantai atas. Di tidak mungkin mengantarkan Tiara pulang, selain karena tidak tega membangunkan gadis itu, dia tidak mau jika dihakimi massa yang mungkin bisa salah paham. Lalu Raka juga tidak mungkin membawa Tiara pulang ke rumahnya karena pasti ia akan langsung di damprat oleh sang ibu. Jadi, pria itu memilih untuk membawa Tiara ke apartemennya yang hanya sesekali ia datangi. Tak ada siapapun di dalam lift selain mereka berdua dengan posisi Raka yang masih menggendong Tiara. Saking sepinya, Raka bahkan bisa mendengar deru napas Tiara yang teratur. Embusannya membentur dadanya yang bidang. Entah kenapa, sesuatu di dalam sana mendadak berdesir. Pria itu mengamati wajah ayu Tiara yang terlelap. Tak ada sorot sinis dari kedua matanya. Tak ada lengkingan kesal dari bibirnya. Bibir, fokus Raka berhenti pada satu titik. Permukaannya yang dipoles warna orange kemerah-merahan sangat cocok dipadukan dengan rona buatan di kedua pipi. Seperti buah stroberi yang manis. Lift berhenti di lantai lima belas. Raka lantas keluar dan melangkahkan kakinya menuju kamar apartemen miliknya. Kaki kanannya menjejak dinding di samping pintu agar tubuh Tiara tak jatuh, sementara tangan kanannya merogoh saku celana untuk mengambil dompet dimana ia menyimpan keycard apartemen. Ting. Raka kembali mengantongi dompetnya, tangan kanannya lalu membuka pintu sebelum menggendong Tiara lagi. Klik. Pintu terkunci otomatis. Pria sipit itu membaringkan tubuh Tiara di atas tempat tidur dengan cukup pelan berusaha agar tak mengganggu tidur gadis itu. Setelahnya Raka lantas menarik selimut untuk menutupi tubuh Tiara sampai batas d**a. Lagi, tatapannya berhenti pada bibir merah Tiara. Dia sedikit menunduk dengan posisi kedua tangan yang berada disamping kedua bahu Tiara untuk menahan beban badannya sendiri. Perlahan bahunya semakin turun. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD