Sea - 3

1262 Words
"Pa ... sudah 24 jam ini, Hasya belum juga ditemukan." Seorang wanita paruh baya menangis dipelukan suaminya. Malam sudah berganti pagi, belum ada kabar apapun tentang putrinya. Sebagai seorang ibu yang sudah mengandung dan melahirkan putrinya, Wulan—Mama Hasya—sangat khawatir akan keadaan putrinya, putri semata wayangnya, yang ia kasihi dari kecil hingga dewasa seperti sekarang. Wulan sangat berharap Hasyanya masih hidup. Dimanapun gadis itu berada. "Sabar, Ma, tim SAR juga sedang berusaha mencarinya, kita hanya bisa berdoa agar Hasya baik - baik saja, dimanapun ia berada." Ucap pria paruh baya itu seraya mengelus punggung istrinya. Sebenarnya, dalam hatinya pun, ia takut akan kehilangan putri semata wayangnya itu. "Aduh ... Hasya cantikku hilang kemana, ya Tuhan? Tolong selamatkan Hasya, dimanapun ia berada saat ini," ujar seorang pria dengan suaranya yang gemulai. "Banyak endorse-an yang belum dipost, di youtube banyak yang nanyain kapan upload video baru, ya Tuhan ... tolong selamatkan Hasya cantikku." Orang tua Hasya otomatis langsung menoleh dan menatap tajam seorang pria yang kini duduk di sofa ruang tamu rumah mereka. Pria itu bernama Delon, manajer Hasya. Orang itulah yang mengatur semua t***k bengek yang bersangkutan dengan putrinya. Bahkan, Delon lebih tau Hasya dibandingkan mereka—orang tuanya sendiri. "You, kenape liat i macem tu?" ucap Delon dengan sinis, tangannya melambai menunjuk ke arah orang tua Hasya. "Karena kalian ... memaksa Hasya cantikku untuk menikah dengan pria durjana macem Ergi, Hasya kabur dan akhirnya kecelakaan pesawat, korang bedua tu, memang tak sayanglah kena Hasya." "Diam kamu, Delon!" geram Papa Hasya dengan suaranya yang keras. "Jangan berkata apapun lagi, mending sekarang kamu pergi dan urusi saja urusanmu sendiri!" "Okelah, Pak Tua. I pun tak ingin berlama - lama kat sini." Delon berkata seraya memegang clutch di tangannya. Dengan cara berjalannya yang agak berlenggok, Delon pergi meninggalkan rumah besar itu. "Banci sialan itu! Rasanya mau Mama pukul mulutnya!" "Udah, Ma. Lagian juga, dia udah pergi." ••••• "Jadi, kita akan memanggil dia apa, Kak?" tanya Randu kepada Kia yang kini tengah menjemur ikan - ikan hasil tangkapan Randu dan Danu kemarin malam.  Kia menoleh ke arah adiknya. "Kakak juga tidak tau, Ndu. Sampai sekarang, dia belum bisa mengingat apapun."  Randu menghela napasnya. Lalu berdecak pelan. "Bagaimana kita memulangkannya, jika nama saja dia tidak tau?" Pria itu memijit pelipisnya karena merasa pusing. "Kia ..." Kia dan Randu menoleh menatap seorang wanita setengah baya yang berjalan mendekati mereka. Wanita itu membawa bakul berisikan ikan - ikan yang sudah dijemur semalaman. Wanita itu bernama Yani. Randu dan Kia memanggilnya Kak Yani. Kak Yani tinggal sedikit lebih jauh dari pesisir pantai, masuk ke dalam sebuah desa. Di pesisir pantai, hanya ada dua rumah panggung, yang satu adalah rumahnya, sedangkan satunya lagi sudah tidak ditempati karena penghuninya pindah ke desa. Sekitaran rumah panggung mereka, terdapat banyak sekali pohon kelapa, dan di ujung timur, terdapat sebuah hutan mangrove yang lebat. "Lumayan banyak juga ya, hasil tangkapan kamu, Ndu." Kata Kak Yani seraya melihat ikan - ikan yang sedang dijemur. "Suamiku malah dapat sedikit ikan semalam." "Semalam, Randu dan Bang Danu tidak ke laut, Kak. Ini hasil kemarin malam," jelas Kia yang langsung diangguki oleh Kak Yani. "Perempuan itu siapa, Kia?" tanya Kak Yani sambil menunjuk ke arah rumah mereka. Dan di sana terlihat seorang gadis dengan rok selutut dan juga kaos pendeknya tengah berdiri di atas rumah panggung seraya menikmati angin pagi yang menerpa tubuhnya. Randu terdiam, menatap gadis itu dengan lamat. Ada sesuatu dalam dirinya yang terpikat oleh pesona gadis itu. Dan Randu berusaha untuk menepisnya, ia tidak boleh tertarik dengan gadis itu. Gadis yang tidak diketahui asal - usulnya darimana, ia tidak boleh memiliki perasaan padanya. Tidak boleh! Kedua matanya terpaku menatapnya, rambut hitam panjang milik gadis itu melambai indah karena tertiup angin. Lalu gadis itu tersenyum, menatap dirinya? Eh ... tidak ... lebih tepatnya Kak Kia yang berada di sampingnya. "MasyaAllah, cantik sekali gadis itu, siapa dia, Kia?" "Ehm ... dia ... perempuan yang kami tolong karena kecelakaan pesawat kemarin, Kak Yani." "Kasihan sekali, lalu bagaimana? Kau akan membantunya untuk kembali pulang? Keluarganya pasti sedang cemas memikirkannya, Kia," ucap Kak Yani dengan nada serius. "Kau tau kan, tempat ini terpencil, jauh sekali dari kota." "Kami pun tidak tau harus bagaimana, gadis itu tidak ingat apapun, bahkan nama sekalipun ia tak ingat." Kia menghela napasnya pelan. "Lalu, kita akan memanggilnya apa?" "Jinan." Ucap Randu tidak sadar, lalu ia langsung menoleh ke arah dua perempuan di sampingnya. "Maksudku, kita akan memanggilnya Jinan, daripada ia tidak memiliki nama sama sekali." "Hoii, nak Jinan! Kemarilah!" teriak Kak Yani yang membuat Randu dan Kia mengernyit bingung. "Cepat kesini!" Randu melihat gadis itu dengan perlahan turun dari tangga rumah, lalu berjalan mendekati mereka. Gadis itu terlalu penurut, bahkan terlihat sangat polos. Dengan tatapan sayunya, gadis itu berdiri di hadapan mereka. "Jinan—" ucapan Kak Yani terpotong begitu saja. "Jinan?" tanya gadis itu seraya mengernyitkan dahinya. "Mulai sekarang, kami akan memanggilmu Jinan, kau tidak keberatan bukan?" tanya Kia hati - hati. Ia takut lancang menyakiti hati gadis itu. Namun, yang ia dapatkan bukan amarah melainkan senyuman lebar yang sangat manis dari bibirnya. "Aku suka. Aku suka sekali nama itu. Jinan, namanya bagus." Tanpa sadar Randu tersenyum kecil. Gadis itu bahkan seperti anak kecil. "Itu nama yang diberikan oleh Randu," ucapan Kia sukses membuat Randu menoleh ke arah wanita itu dan menatapnya dengan tajam. Sedangkan Kia, hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Ehm ... terima kasih," ucap gadis itu. Randu menoleh, dan tatapan mereka berdua pun bertemu. Beberapa detik mereka terdiam. Lalu Randu pun berdeham kecil. "Ya, senang mendengar bahwa kau menyukainya." "Nah, Jinan, mulai sekarang, kau jangan sungkan untuk meminta bantuanku, ya? Namaku Yani, kau bisa memanggilku Kak Yani, sama seperti Randu dan juga Kia." Gadis itu tersenyum haru. Ditatapnya satu persatu wajah orang - orang baik yang sudah menolongnya. Ia bersyukur dipertemukan dengan orang - orang seperti mereka. Dan sekarang, ia memiliki nama baru. Jinan. Dan ia sangat menyukai nama itu. Orang - orang akan memanggilnya dengan nama itu. Mulai sekarang, ia adalah seorang gadis yang bernama Jinan. "Rumahku agak jauh dari sini, nanti Randu yang akan menunjukkan jalannya. Iyakan, Ndu?" "Iya, nanti akan kuberitahu." Jinan tersenyum senang seraya mengangguk.  "Apa kau sudah baikan, Jinan? Kakimu sudah tidak sakit lagi?" tanya Kia yang langsung mendapatkan gelengan dari gadis itu. "Sudah tidak terlalu sakit seperti kemarin, Kak Kia. Itu semua karena kakak, terima kasih karena sudah mengobatiku." Kia tersenyum lebar sambil mengelus lengan gadis itu. "Sama - sama, memang sudah tugas kita sebagai manusia untuk saling membantu bukan?" Ucapan Kia langsung diangguki oleh Jinan. "Apa ada yang bisa aku bantu? Aku ingin melakukan sesuatu." "Tidak. Tidak. Kau baru saja sembuh," elak Kia. "Aku sudah baikan, Kak Kia. Apa kakak tidak lihat ini?" Jinan melompat - lompat kecil bagaikan anak kecil. "Lihat, aku sudah tidak apa - apa." Randu yang melihat itu tersenyum kecil. Gadis itu benar - benar membuat dirinya takjub.  "Baiklah, kamu akan pergi dengan Randu, berjalan - jalan saja untuk lebih tau tempat ini, bagaimana?" Jinan langsung mengangguk antusias. "Aku mau. Aku mau sekali." "Kak ... tapi kita banyak kerjaan," ucapan Randu terhenti ketika pria itu melihat tatapan kecewa dan sedih yang berasal dari wajah Jinan. "Baiklah, kita akan pergi," ucapnya. "Tidak apa, Randu. Kau tidak perlu mengantarku." Randu terkesiap, ketika gadis itu memanggilnya dengan nama. Aneh, tapi ia suka dengan suara gadis itu yang memanggil dirinya. "Denganku atau tidak sama sekali." "Kau bilang sibuk tadi?" "Memang. Tapi aku akan mengantarkanmu berjalan - jalan dulu," ucap Randu yang membuat gadis itu tersenyum lebar. "Ayo, cepat, sebelum terlalu siang." Gadis itu berjalan mengikuti Randu dari belakang. Tak henti - hentinya ia tersenyum senang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD