BAB 2

1573 Words
Beberapa minggu yang lalu. Seorang pria tengah berdiri dan menyandarkan tubuhnya pada tembok, seakan menunggu seseorang untuk lewat. Benar saja, setelah selama sepuluh menit ia menunggu. Pria dengan setelan jas berwarna hitam berjalan di belakang bosnya. Ia mendekat dan menabrak pria itu. Kemampuannya mengambil barang dari tubuh orang lain sangat lihai. Pria rapi dengan jas hitam itu tidak mengetahui bahwa ada barang yang hilang di curi orang. Sebuah pistol yang melegenda bernama colt 1991 dengan model tua. Pistol ini di pakai selama tujuh puluh tahun dan sangat populer di militer Amerika. Di Amerika pistol ini di gunakan tak hanya oleh militer tetapi juga kaum rumahan. Ia lalu mengambil gambar pistol itu dan menuju ke sebuah ruangan. Menyimpan pistol dengan rapi di dalam laci. Segera pergi sebelum sang pemilik ruangan itu kembali. Brian, si pria dengan setelan jas hitam rapi tengah mengawal Joehan, sahabat sekaligus bosnya. Sejak kecil mereka selalu bersama. Melihat kedekatan itu, Kakek Joehan sampai menitipkan dan mempercayakan keselamatan cucu kesayangannya pada Brian. Pria yang pandai bela diri. Kake Joehan memberikan pistol Colt 1991 klasik kesayangan miliknya yang ia beli langsung di dari Amerika untuk menjaga Joehan sewaktu-waktu jika cucinya mendapatkan bahaya. Brian mengecek tas khusus pistol yang melingkar di bagian pinggang. Meraba dan memastikan apakah pistol itu ia bawa atau tidak. Brian panik pistol kesayangan yang diberikan Kakek Joehan tidak ia bawa. Brian meminta izin untuk kembali keruangan karena ada barang yang ketinggalan. Brian mencari keberadaan pistol berwarna gold dengan model klasik dan mewah di berbagai penjuru ruangannya. Ia merasa lega setelah menemukan pistol itu di laci meja kerja. ***** Pelayan tampan terlihat membawa kain lap yang ia sematkan di lengan kiri. Memastikan barang yang disita dari semua tamu itu ada barang yang mirip dengan kepunyaannya. Seringai iblis terukir di wajah setelah melihat barang itu benar-benar mirip dengan yang ia miliki. Ia kembali ke ruangan sembari merapikan topeng elastis yang sengaja di pesan dan sangat terlihat nyata saat di pakai. Suara tembakan dari senjata api mengudara. Pelatuk peluru itu asalnya dari arah Joe dan mendarat di tubuh dua orang. Satu seorang wanita dan satu lagi seorang pria paruh baya. Seisi ruangan panik setelah mendengar suara tembakan, suara jeritan dan aroma anyir darah. Saling melirik masing-masing mencari dari mana asalnya tembakan itu dan siapa pelakunya. Asisten dari orang yang tertembak berteriak meminta tolong. Kedua bosnya tergeletak di lantai bersimbah darah dan kehilangan kesadaran. Pelayan hotel menghubungi ambulance dan polisi. Tidak lama tenaga medis datang ke tempat kejadian untuk membawa korban. Perlahan korban diangkat dan dibawa dengan tandu. Keadaan korban kritis, setelah diberikan pertolongan pertama lalu dipasangkan oksigen dan alat lain yang ditempelkan pada tubuh. Polisi juga datang mengamankan lokasi kejadian. Menyisir setiap sudut dan setiap isi di ruangan untuk mencari bukti. Satu persatu tamu undangan yang hadir dalam pertemuan itu di pindahkan ke ruangan lain. Barang-barang pribadi yang di amankan di kembalikan lagi. Brian mengambil kembali barangnya. Polisi memakai sarung tangan memeriksa semua yang terlihat mencurigakan. Mengambil bukti-bukti di tempat kejadian. Tamu undangan akhirnya diamankan lalu dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Joehan dan orang-orang yang datang dalam pertemuan di introgasi satu persatu oleh tim penyidik. "Tuan Joehan, silahkan masuk!" Seorang polisi mempersilahkan Joehan untuk masuk ke ruangan. "Iya, Pak!" Joehan langsung berdiri dan masuk ke ruangan yang ditunjukkan polisi tersebut. "Silahkan duduk, Tuan!" sapa salah satu polisi yang tengah duduk di depan sebuah komputer berwarna hitam. "Terima kasih," jawab Joehan sambil mendaratkan bokongnya di bangku yang tidak begitu empuk dan berukuran sedang. "Tuan, saya akan memberikan anda beberapa pertanyaan. Anda harus menjawab sejujur-jujurnya dan tanpa ada kebohongan. Apakah anda bersedia?" ujar polisi berbadan besar dan berkulit sawo matang. "Iya, Pak. Saya bersedia!" Joehan tersenyum lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Berusaha tenang dan tidak gugup. "Anda di acara tadi dari awal sampai akhir, Tuan?" Polisi itu mulai mengintrogasi. "Iya, Pak!" jawab Joehan singkat. "Apakah anda duduk bersebrangan dengan kedua korban?" "Benar, Pak!" "Menurut kesaksian orang-orang tadi yang merupakan rekan bisnis anda. Apa benar tadi anda sempat terlibat percekcokan dengan korban?" "Memang benar!" Joehan terus terang. "Apakah memang sejak lama anda dan kedua korban tidak akur atau sering berselisih?" Pertanyaan polisi semakin mengarah mencurigai Joehan. "Iya, mereka tidak menyukai saya, Pak." "Apa anda melihat pelaku penembakan, atau orang yang mencurigakan?" "Tidak, Pak!" "Sudah berapa lama anda dan korban saling mengenal?" "Kurang lebih tiga tahun!" "Menurut anda, apakah ada rekan bisnis yang tidak menyukai mereka berdua?" Joehan mengerutkan dahi. "Saya tidak terlalu memperhatikannya. Jadi saya tidak tahu, Pak!" "Sudah cukup. Kami akan menghubungi anda lagi jika ada yang ingin kami tanyakan. Terima kasih atas kerjasamanya, Tuan!" Polisi menduga kandidat pelaku sementara adalah Joehan. Menurut keterangan semua saksi, Joe dan korban memang tidak akur, sering bertengkar, sering bersaing dan pada hari itu saling adu mulut. Kritik pasangan Dayo memang sangat pedas. Jadi semua saksi menyimpulkan bahwa Joe memiliki dendam dan ingin melenyapkan pasangan itu. Setelah polisi menyematkan police line di area penembakan. Semua barang-barang yang mencurigakan dan bisa di jadikan barang bukti di masukan ke kantung plastik klip khusus. Semua CCTV yang terpasang di seluruh penjuru di mintai hasil rekamannya untuk di selidik dan dijadikan bukti. Mencari pelaku penembakan dengan mengecek siapa saja orang yang ada pada acara itu. Di rumah sakit selang dua jam pasca kejadian. Peluru sudah berhasil di ambil dan kedua pasien berada di ruangan operasi. Semua alat yang terpasang di tubuh pasangan itu menunjukan tanda vital yang kurang bagus. Bunyi alat terdengar nyaring, perawat menghampiri dan melihat tanda di layar alat. Dokter mulai panik karena melihat tanda vital yang memburuk lalu mengambil alat pacu jantung, menggosok dan menempelkannya dengan singkat pada d**a pasien. Beberapa kali berusaha tetapi tidak berhasil. Nyawa pasangan Dayo tidak bisa diselamatkan. Gadis cantik berambut coklat datang dengan nafas tak beraturan, keringat bercucuran membasahi pakaian yang ia pakai. Duduk di lantai menunggu tindakan dokter yang belum selesai. Jantungnya berdegup dengan kencang. Tangannya menjadi bergetar dan terasa dingin. Setelah lama menunggu, dua bed pasien di bawa keluar dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuh. Gadis itu berteriak histeris setelah melihat dua orang yang sangat ia cintai bertubuh kaku, dingin dan membiru. Memeluk dan mencium dua makhluk yang tak lagi bernyawa itu secara bergantian. Mengepalkan tangan dengan mata merah membulat dan mengeluarkan bulir-bulir air mata. "Maaf, Nona. Kami tidak bisa menyelamatkan nyawa pasien. Ini sudah kehendak tuhan." Gadis itu terdiam tidak menjawab pernyataan dokter. Dokter itu berdiri dan mengumumkan kematian pasien. Sang dokter kembali ke ruangan operasi dan dua perawat mendorong bed ke ruangan kamar mayat. Dua tubuh yang seakan kehilangan warna. Ta ada lagi darah yang mengalir ke seluruh tubuh. Tak ada lagi oksigen yang masuk dan di pompa oleh paru-paru. Tak ada lagi gerakan yang tercipta. Semua indra tak lagi berfungsi. Kini tubuh itu tak lagi bisa mengeluarkan suara. Tak bisa lagi di ajak bicara. Tak akan lagi ada kritikan pedas yang keluar dari mulut keduanya. Kaku, dingin dan membiru. Tertutup kain putih di ruangan nan dingin dan sunyi. Jemari kekar merangkul dan mengusap pundak sang gadis yang berdiri mematung di depan ruangan kamar mayat. "Kita harus bisa hidup berdua, Dek. Kakak akan menjadi kakak yang baik dan menjaga kamu mulai detik ini. Kakak akan jadi sosok orang tua juga untuk kamu!" "Papah … mamah … mereka—" Tubuh gadis itu lemas dan terduduk di atas lantai yang dingin. "Mereka sudah meninggal? Benarkah? Mungkin aku hanya mimpi." Menampar dengan kedua tangan sendiri sekencang-kencangnya ke bagian pipi. Berusaha menyadarkan diri dan yakin ini adalah sebuah mimpi. Mimpi yang buruk dan hanya menghiasi isi kepala yang sedang tertidur. "Cukup, Dek! Ini kenyataan." Sang kakak memeluk adiknya dengan erat. Berusaha menenangkan tapi malah gadis itu menangis tersedu-sedu di pundaknya. Membuat kemeja yang ia pakai basah kuyup dengan tetesan air mata. "Tuan!" panggil salah satu perawat. "Kenapa, Pak?" "Kami harus meminta Tuan atau Nona untuk menandatangani surat persetujuan otopsi. Ini untuk menunjang pemeriksaan polisi. Bisa di jadikan bahan bukti untuk menemukan pelaku dan apa yang menyebabkan pasien meninggal dunia " "Baik. Saya akan tanda tangan!" **** Dengan nafas tergesa-gesa. Keringat bercucuran dan wajah terlihat panik. Brian membangunkan Joe yang masih terlelap tidur karena ini masih sangat pagi. "Tuan, bangun!" Menepuk pelan tubuh bosnya. "Kenapa berisik sekali, Bri?" Joehan menoleh dan berusaha untuk terbangun. "Anda harus melihat ini, Tuan!" Menyerahkan benda pipih persegi empat panjang ke Joehan. Joehan melebarkan matanya membaca semua artikel pagi itu. Mengepalkan tangan seakan tidak percaya akan hal yang menimpanya pagi ini. Banyak berita hoax yang menyebutkan bahwa dirinya adalah pembunuh keluarga Dayo. Joehan membaca semua judul di internet. "CEO muda menyimpan dendam dan akhirnya membalaskan dendam itu." "CEO muda dengan inisial 'J' adu mulut karena tender dan membunuh saingan." "Keluarga Dayo terbunuh oleh CEO muda." "CEO muda yang terlihat baik ternyata busuk." "Topeng dibalik wajah tampan." Banyak sekali berita yang menjadikan Joehan topik terhangat pagi itu. Dunia seakan runtuh seketika. Bagaimana dengan karirnya saat ini. "Kenapa bisa berita ini tersebar begitu cepat, Bri?" Joehan terperanjat dan langsung berdiri di sebelah Brian. "Saya tidak tahu, Tuan. Ini berita hoax. Kenapa bisa anda yang dituduh? Padahal belum ada bukti kuat." Joehan duduk di sofa dan memegang kepala yang terasa pusing. Alkohol masih terasa dalam tubuhnya. "Apa semalam anda sudah meminum alkohol?" tanya Brian. "Iya" jawab Joehan singkat. "Apa anda ingin beristirahat di rumah saja?" "Tidak. Aku ingin memastikan keadaan di kantor. Aku tidak tenang. Kantor bisa terkena imbasnya." "Pasti ada orang yang ingin menjatuhkan Anda." "Itu hal biasa. Tapi ini sudah keterlaluan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD