BAB 7

1484 Words
… Naya dan Darrel …   … 2010 /2014…                   Pertemuan itu tak ayal membuat Darrel mengerutkan dahi. Bagaimana tidak, wajah semanis dan selembut Naya, ternyata cukup ketus membalas kalimatnya saat pertanyaan seputar nomor telepon ia keluarkan. Sebenarnya pertemuan itu sudah cukup lama berlangsung andai Naya menganggapnya ada di sekitar. Namun sayangnya, Naya sama sekali tak pernah melihatnya. Bahkan Darrel yang selalu duduk satu kelas dengannya, malah dianggap tak pernah ada. Dan itu, entah karena apa.                 Naya sendiri memiliki alasan kenapa sikapnya begitu sadis kepada cowok bertubuh tinggi dan berisi itu. Kejadian di awal pertemuan ditambah lagi beberapa kisah di masa lalu seakan menjadi satu alasannya untuk berhati-hati pada bangsa cowok. Apalagi yang sama sekali tidak ia kenali. Namun aneh, saat melihat Darrel entah mengapa Naya begitu sangat membencinya. Bahkan. Kebencian itu hadir begitu saja. Memeluk erat diri Naya hingga enggan menatap Darrel walau hanya sesaat.                 Darrel sendiri memang sudah lama memerhatikan wanita bertubuh lebih kecil beberapa senti meter darinya itu. Tak jarang Darrel memerhatikan tawa Naya saat ia bercanda dengan beberapa sahabatnya. Kepolosannya dalam bercerita bahkan kekonyolannya dalam bertindak. Tak jarang pula Darrel tertawa sendiri jika hal-hal itu hadir di depan matanya. Seperti saat itu, saat di mana Naya terjatuh akibat sikapnya sendiri. Lita—sahabat Naya—baru saja membeli sepatu berhak tinggi yang bisa dikira-kira hampir dua belas senti meter. Dengan bangganya Lita memamerkan hasil jerih payahnya dalam berkeliling mall untuk mencari sepatu berwarnakan merah menyala itu kepada Naya. Kelas yang masih sunyi, membuat Lita leluasa memamerkan barang barunya itu di depan kelas.                 Dari ekspresi awal, Naya tampak enggan jika ia harus memiliki sepatu seperti itu. Jelas saja, ia termasuk wanita biasa yang tak bersikap anggun layaknya beberapa wanita yang hadir di kampus dengan memakai sepatu ber-hak tinggi. Sepatunya simple, berbahan kulit yang tak ber-hak. Namun keisengannya ternyata membawa petaka. Darrel yang ketika itu duduk di belakang kelas tepatnya di kursi paling sudut, semula asyik menyaksikan hasil jepretannya di kamera miliknya yang selalu ia bawa kemana-mana. Namun gara-gara kebisingan dua umat manusia di depan kelas, akhirnya Darrel mengarahkan tatapannya ke Naya yang mulai mencoba menggunakan sepatu.                 Berulang kali Lita melarangnya karena takut sepatu barunya rusak, namun Naya sama sekali tak peduli. Dengan langkah perlahan, Naya mulai berjalan bak seorang putri walau tampak ketakutan dan kehati-hatian di setiap gerakan tubuhnya. Darrel yang masih saja memerhatikannya, hanya tersenyum tipis lalu kembali menatapnya tanpa henti. Terdengar Lita kembali memintanya untuk melepaskan sepatunya, namun baru saja ia mengatakannya, Naya malah terjatuh dan menjerit keras sembari memegang pergelangan kakinya yang tampak sakit akibat keseleo. Darrel tersentak kaget dan langsung berdiri. Sementara Lita, terlihat berdiri dengan wajah penuh emosi.                 Dengan polosnya, Naya mengangkat sepatu yang ia pakai di kaki kanannya dan mengarahkannya ke arah Lita. Menunjukkan mimik menyesal dan meminta maaf akibat hak sepatunya patah.                 “Maaf, Lita.” Kalimatnya yang membuat Darrel tertawa pelan sementara Lita, langsung merampas kedua sepatunya dan menatapnya tak percaya. Kedua bola matanya tampak menebal akibat air mata yang siap kapan saja jatuh. Darrel yang masih melihat Naya kesakitan, langsung menghampirinya dan mengangkat tubuhnya dengan kedua tangannya.                 “Hei, apa-apaan ini. Turunin aku!!” jerit Naya yang kaget mendapati sikap spontan Darrel.                 “Kamu harus ke rumah sakit!” seru Darrel lalu melangkah tanpa memedulikan Lita yang menangis meraung-raung di meja dosen dan suara teriakan Naya yang masih mencoba untuk melepaskan diri dari gendongan Darrel.                 “Aku gak mau ke rumah sakit!” tolak Naya saat keduanya sudah berada di mobil Darrel. Darrel yang tampak serius mengendarai mobil, sekilas menatap Naya di sampingnya, lalu kembali menatap lurus ke depan.                 “Kalau gak dibawa ke rumah sakit, bisa tampah parah sakitnya.”                 “Tapi aku gak mau ke rumah sakit!”                 “Harus, Nay!”                 “Aku takut! Aku benci rumah sakit!!!” Kalimat Naya spontan membuat Darrel menepikan mobilnya. Berhenti lalu menatap Naya yang masih menundukkan kepala. Dia kacau. Hanya itulah yang mampu ditangkap Darrel.                 “Aku benci rumah sakit, aku benci!” Naya terisak.                 Darrel yang mendengar suara isakan Naya, tampak kebingungan. Entah mengapa ia begitu lemah saat seorang wanita menangis di dekatnya. Dia tak kuasa mendengar isakan tangis itu. Darrel berusaha menenangkan Naya, namun Naya masih saja tetap menangis. Sampai akhirnya perjanjian keluar dari mulut Darrel yang berjanji tak akan membawanya ke rumah sakit. Naya berhenti dan menatapnya penuh harap.                 “Tapi kamu akan aku bawa ke tukang urut, gimana?” tanya Darrel yang langsung dibalas Naya dengan anggukan pelan. Darrel tersenyum sembari memegang kepala Naya yang spontan saja membuat wanita manis itu terdiam terpaku.                 Mobil kembali berjalan membelah jalan raya. Membawa Darrel yang masih tampak belum mampu menstabilkan perasaannya akibat melihat Naya menangis dan Naya yang masih belum mampu menetralkan hatinya yang aneh saat tangan Darrel menyentuh kepalanya.                 “Aku minta nomor telepon kamu,” ucap Darrel sebelum Naya menutup pintu rumahnya saat malam tiba. Naya yang sudah selesai diurut, akhirnya kembali ke rumah dengan diantarkan Darrel. Naya menatapnya enggan, lalu menarik tatapannya ke samping kanan seakan tak ingin menatap Darrel lebih lama.                 “Buat apa? Kayaknya gak penting-penting kali kan, jadi gak usah!”                 “Penting!” hardik Darrel. “Aku harus terus mastikan kamu ngolesin minyak yang dikasih tukang urut itu atau gak. Bisa saja kamu gak pakai tuh minyak!”                 “Aku bukan anak-anak lagi yang harus diingatkan setiap saat! Lagian kamu siapa sih, sok kenal banget!”                 Darrel tertawa mendengar kalimat terakhir Naya yang baginya tak masuk akal. Dia siapa? Seharusnya Naya sudah kenal dengannya dua tahun sebelum kuliah dimulai, seperti halnya Darrel yang sudah cukup lama mengenalnya, tepatnya saat kejadian itu terjadi. Namun Naya, malah tidak mengenalnya. Aneh.                 “Kita satu kelas! Masa kagak tahu!” ucap Darrel disusul tawa renyahnya.                 Naya memerhatikan wajah Darrel. Ya, dia baru ingat wajah di hadapannya itu. Wajah yang tiga bulan ini membuatnya kesal bukan main entah gara-gara apa. Dan tatapan kedua mata Darrel ... seakan mengingatkannya pada seseorang yang entah siapa itu.                 “Sini handphonenya!” pinta Darrel yang membuat Naya tak bisa mengelak. Biar gimanapun, nih lelaki sudah menolongnya hari ini. Sekedar memberikannya nomor telepon rasanya tak terlalu berlebihan.                 Naya memberikan handphone dan membiarkan Darrel mencatat nomor teleponanya di dalam ponsel pintar Naya. Menyimpannya lalu menghubungi nomornya itu menggunakan ponsel Naya. Tak berapa lama, Darrel mengembalikannya.                 “Aku pulang. Jangan lasak-lasak!” ucapnya yang langsung melangkah mendekati mobilnya dan masuk tanpa menanti kalimat balasan Naya yang sudah hampir meluncur. Suara deru mobilnya semakin lama semakin menjauh. Membuat Naya menggerutu sendiri, memaki lelaki aneh itu lalu membanting pintu dan menguncinya dari dalam.                 Kenangan itu, berhasil kembali mengusik Darrel yang saat itu duduk sendirian di area balap. Duduk di trotoar sembari memperhatikan motor birunya yang terparkir tak jauh dari tempatnya beristirahat. Ada senyuman di bibirnya walau sesaat. Berganti pilu yang tergambar jelas dari garis-garis wajahnya. Tangan kanannya merogoh sesuatu di dalam saku jaketnya. Mengeluarkan sebuah tasbih biru yang selalu ia bawa kemanapun ia melangkah. Seperti pesan dari sang pembuat tasbih. Dan hingga saat ini, terus ia jalani walau beberapa pesan lainnya, tak ia tepati.                 Darrel mendaratkan kecupan di tasbih biru yang indah itu. Menatapnya penuh haru, seakan merindukan sosok pembuat tasbih yang kini selalu menemaninya. Seakan sebagai pelindung di mana pun ia berada. Darrel sendiri tak pernah percaya, bahwa hatinya selalu merasakan sakit akibat kerinduan pasca wisuda terjadi. Awalnya ia berpikir bahwa ia mampu melupakan sosok Naya yang begitu menuaikan kisah aneh bercampur lucu di hidupnya. Namun ternyata ia salah. Naya seakan lem yang sudah berhasil merekatkan dirinya. Sulit terlepas bahkan bernapas sesaat saja, Darrel tak sanggup.                 Angin malam meniup pelan di tempat berbeda. Menerbangkan beberapa helaian rambut ikal Naya yang kini duduk sendirian di halaman rumahnya. Menikmati langit yang kini tak ada pesta bintang dan rembulan di sana. Ada kesedihan yang terlihat jelas dari wajahnya. Begitu jelas hingga berhasil menarik air mata melesat membasahi pipi kanannya yang mulus tanpa noda. Menghela napas panjang, lalu menatap lurus ke depan seakan enggan kembali mengarahkan tatapan ke langit yang mala mini tidak bersahabat.                 Naya membuka kepalan tangan kanannya. Terlihat tasbih yang sama seperti Darrel kini berada di telapak tangannya. Tasbih bernamakan dirinya sendiri yang langsung ia kecup penuh haru. Seakan ingin menyampaikan pesan kerinduan pada sang pemilik tasbih kembarannya yang kini entah di mana berada. Semua tidak lagi sama. Bahkan tak ada lagi foto-foto baru yang ia ambil bersama Darrel. Dulu, Darrellah yang selalu mengambil gambar dirinya setiap kali ia melakukan sesuatu hal. Dan tak jarang Darrel ikut berfoto dengannya. Hasil jepretannya pun langsung ditempelkan di buku harian Naya. Menuliskan beberapa kalimat di samping atau bawah foto dengan membubuhkan tahun di setiap halaman yang terpampang foto baru di sana.                 Angin kembali berdesir lembut. Naya kembali menggepal tangan kanannya yang terdapat tasbih di dalamnya. Mendekatkan kepalan tangannya itu ke dadanya dan memejamkan kedua mata. Menyebut satu nama yang sangat ia rindukan. Sementara itu di tempat berbeda, Darrel melakukan hal yang sama. Namun bedanya, Darrel tidak memejamkan kedua mata seperti halnya Naya. Melainkan mengarahkan tatapan ke langit dan berharap angin mampu membisikkan kerinduan yang ia rasakan pada seseorang di sana. Hanya itu.                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD