BAB 8

1071 Words
… KOMA …   … 2015 …                   Lelaki itu masih tampak memilukan. Duduk di samping seorang wanita dengan keadaan kritis di atas tempat tidur rumah sakit. Alat demi alat masih saja betah menyelusup ke dalam tubuhnya. Suara pendeteksi jantung masih saja terdengar memekakkan telinga. Menambah nuansa menyeramkan bagi siapapun yang datang dan berkunjung.                 Buku diary di tangannya ia tutup sesaat. Menatap ke wanita yang masih enggan menyapanya ramah seperti dulu. Berharap jauh di dasar hati yang terdalam, bahwa ia akan segera membuka kedua matanya. Menatapnya teduh walau air mata jatuh membasahi kedua pipi. Memanggilnya lirih dengan satu nama yang hanya ia seorang yang tahu. Menantinya seperti dulu walau yang dinantikan tak kunjung hadir. Mendoakannya dalam diam, mencintainya juga dalam diam. Dan semua itu, sangat ia rindukan.                 Dia kembali membuka diary di tangannya. Membaca satu kalimat yang sangat menyesakkan d**a. Satu kalimat yang membuatnya kembali meneteskan air mata. Satu kalimat yang membuatnya menyesal atas semua yang ia lakukan di masa lalu. Satu kalimat yang membuat kerinduan itu semakin berlapis di dadanya. Membuatnya ingin membalasnya, dan tak ingin lagi menyakiti wanita yang begitu mencintainya.                 ‘Aku menyadari bahwa aku tak pantas untukmu. Tak apa. Asal kamu bahagia walau harus menyakitiku berulang kali hingga kamu puas.’ Tulisnya di bawah foto Darrel yang asyik membersihkan kamera di dalam kelas. Duduk di salah satu kursi tanpa menyadari Naya mengambil gambarnya dengan kamera kesayangan Naya.                 “Nay,” panggilnya lirih sembari menempelkan keningnya di punggung tangan kanan Naya. “Maafkan aku.” Isak tangis mencoba menyamakan suara mesin pendeteksi jantung yang terletak tidak jauh dari tempat tidur. Seakan menjadi satu musik pengiring tidur terdalam sang putri yang masih enggan membuka mata. Walau kecupan hangat, selalu ia dapatkan di keningnya. Seperti yang ia sukai sejak dulu. Dan semua itu, selalu diberikan Darrel semenjak Naya di rumah sakit. Berharap menjadi obat penyadar tidur, namun tak jua terkabul.                 Naya …. Satu nama yang memang hadir di hidup Darrel semenjak ia menginjakkan kaki di bangku kuliah. Kehadirannya seakan membawakan angin segar yang entah apa maksudnya di hati Darrel. Ada sesuatu di diri Naya yang membuatnya merasakan takut kehilangan. Kehilangan yang pernah terjadi jauh sebelum ia mengenal Naya, membuatnya seakan tak ingin kembali menelan pil pahit itu. Tidak. Rasanya ia tidak menginginkan hal itu lagi. Namun teganya ia yang selalu menjadikan Naya sebagai pelampiasan kekesalannya sejak dulu. Kekesalan atas hidup yang tak sesuai harapan.                 Naya memang bukan dia. Namun hampir seluruh yang dilakukan Naya sama persis seperti yang ia lakukan. Sikap Naya yang apa adanya, senyumannya, panggilannya untuk Darrel yang dulu hanya dipergunakan dia, serta sikapnya yang selalu jujur apa adanyalah yang selalu mengingatkan Darrel akan dia yang kini entah di mana. Dia yang sudah lama Darrel kubur jauh-jauh di dalam hatinya. Namun kembali keluar akibat kehadiran Naya. Semua ini sulit diterima akal sehat Darrel saat pertama kali ia bertemu Naya. Namun, Tuhan seakan menuliskan skenario hidupnya yang itu-itu saja. Tak ada perubahan. Bahkan Darrel sendiri takut jika ia bersama Naya, kejadian yang sama akan terulang kembali. Dan itu membuat Naya pergi darinya seperti halnya dia.                 “Darrel!” Sebuah suara membuyarkan lamunan Darrel. Menarik pandangan matanya ke belakang tubuhnya. Tepat di depan pintu kamar rumah sakit. Asty berdiri di sana dengan senyuman tipis walau terkesan dipaksakan. Wanita berkulit putih dengan rambut yang masih digulung tinggi ke atas itu, menutup pintu kamar dan mendekati Darrel yang langsung berdiri dengan sikap sopan.                 “Sudah tiga hari kamu di sini, sebaiknya kamu pulang dan istirahat.”                 Darrel tersenyum tipis sembari menggelengkan kepala, “Sudah cukup tiga bulan saya berisitirahat, Tante. Saat ini saya tidak merasakan sedikitpun lelah. Darrel hanya ingin menemani Naya sampai ia sadar.”                 “Tapi kita tidak tahu kapan ia sadar, Rel!”                 “Tidak apa-apa, Tante. Yang pasti Darrel akan tetap di sini sama Naya sampai dia kembali membuka mata dan menyadari hadirnya Darrel di sini.”                 Kalimat itu, berhasil melesatkan air mata dari kedua mata Asty. Menatap sang anak yang masih betah tertidur dengan mimik kesedihan yang teramat dalam. Kehadiran Darrel sebenarnya membawakan dua perasaan berbeda hadir di hatinya. Sedih karena mengetahui bahwa Darrellah penyebab semua ini terjadi. Dan bahagia karena sang anak ternyata jatuh cinta pada lelaki yang begitu mencintainya. Namun andai saja Darrel sadari, kesedihan itu lebih besar dari pada kebahagiaan di hatinya hingga Asty sebenarnya enggan berlama-lama melihat Darrel berada di hadapannya.                 “Assalammu’alaikum.” Suara seorang lelaki berhasil memecahkan kebekuan yang sempat terjadi antara Asty dan Darrel. Bersamaan keduanya mengarahkan tatapan ke pintu. Mendapati seorang lelaki berkumis tebal dengan pakaian kemeja yang terlihat usang. Peci di kepalanya membuatnya seperti lelaki yang siap kapan saja untuk shalat jika adzan pemanggil shalat terdengar. Dan wajahnya, membuat Darrel tak perlu berpikir keras untuk mengingatnya. Dia begitu mengenalnya bahkan sangat mengenalnya. Dan semua itu berkat Naya.                 “Pak Tejo!” seru Darrel yang langsung menghampiri lelaki tua yang kini sudah kembali menutup pintu kamar. “Bapak sama siapa kemari?!”                 “Saya sendirian, Nak. Kamu sudah sembuh?” Darrel mengangguk pelan yang langsung membuat Pak Tejo mengucap syukur dengan senyuman tipis di bibirnya. Kedua matanya beralih ke Asty yang tersenyum ramah. Mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Pak Tejo. Jabatan tangan itu hanya sesaat. Pak Tejo melangkah pelan mendekati pinggir tempat tidur. Menatap pilu ke Naya yang masih saja betah tertidur walau ia sudah hampir sepuluh kali hadir membesuknya semenjak ia masuk rumah sakit.                 “Keadaannya masih sama, Pak. Belum ada kemajuan,” ucap Asty tanpa menanti pertanyaan Pak Tejo yang memang selalu bertanya tentang hal yang sama.                 “Sepi rasanya kampus tanpa dia, Bu.” Pak Tejo menyapu air matanya yang tumpah dan beralih menatap  Asty. “Gak ada lagi cerita-cerita lucu yang selalu menemani saya bekerja.”                 Asty menghela napas panjang. Dia tahu benar siapa Pak Tejo. Naya selalu menceritakan padanya tentang sosok penjaga kampus yang baik hati itu. Selalu menghabiskan hari hingga sore menjelang di kampus bersama lelaki bertubuh kecil itu. Selalu saja meluangkan waktu untuk sekedar menemaninya menyapu lorong demi lorong kampus hingga bersih tanpa noda.                 “Kita doakan saja yang terbaik untuk Naya ya, Pak.” Lirih terdengar suara Asty ketika itu. Nada suara yang seakan sudah pasrah dengan keadaan. Nada suara yang seakan mengandung ketidakberdayaan menghadapi semua kejadian yang menimpa anak satu-satunya. Tak ingin lagi ia merasakan kehilangan setelah anak lelakinya pergi tanpa ingat kembali. Kepiluan kala itu, rasanya tak ingin lagi ia rasakan. Cukup hanya Gino yang pergi meninggalkannya tanpa mengerti perasaannya, jangan Naya. Karena baginya, Naya adalah harta satu-satunya yang kini ia miliki. Semua itu terasa pasca perceraiannya dengan sang suami beberapa tahun silam.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD