Darrel mendorong kursi roda Naya ke dalam taman komplek yang cukup sunyi. Jam di pergelangan Darrel masih menunjukkan pukul tujuh pagi, dan rasanya semua orang yang menikmati taman itu untuk sekedar duduk mau pun menenangkan diri, sedang sibuk dengan rutinitas masing-masing. Ada yang di sekolah dan ada juga yang mungkin sedang di kantor. Sedangkan Darrel sendiri memilih menemani Naya yang sudah seminggu ke luar dari rumah sakit.
Naya tersenyum saat mendapati Darrel duduk di hadapanya. Darrel mengeluarkan sebungkus roti yang dia beli dari tukang roti keliling tadi, saat berjalan menuju taman. Darrel membuka bungkusnya dan memberikannya ke Naya yang memang belum sarapan. Naya tidak berselera, hal itulah yang membuat Darrel hadir dan mengajaknya ke luar, lantas membelikannya roti untuk sekedar mengisi perutnya yang masih kosong.
“Apa udah dapat kerja?” tanya Naya yang langsung dijawab Darrel dengan gelengan kepala. Dia benar-benar belum sempat menyelesaikannya. Kondisinya dan Naya yang beberapa bulan ini tidak memungkinkan untuk menyelesaikan tugas masing-masing, membuat Darrel memutuskan untuk mengikuti jejak Naya untuk lebih fokus menjaga Kesehatan terlebih dulu.
“Aku masih ingin nemanin kamu,” jawab Darrel yang membuat Naya tersenyum mendengarnya. Naya mengusap pipi Darrel lembut, yang membuat Darrel menatapnya penuh rasa. Dia tidak menyangka, Darrel kini bersamanya setelah beberapa tahun bertahan dengan rasa yang tidak tahu harus berakhir bahagia ataukah menyedihkan. Darrel yang begitu sangat dia cintai, kini malah bersamanya tanpa ada rasa takut dan segan pada siapa pun.
“Kenapa?” tanya Darrel yang langsung dijawab Naya dengan gelengan kepala. “Apa wajahku mengingatkanmu dengan seseorang?” sindir Darrel yang langsung mendapatkan pukulan di bahunya. Darrel merintih kesakitan sedangkan Naya memanyunkan bibirnya. Darrel tahu, bahwa Naya mengetri maksud dari kalimatnya.
“Kalau ngomong suka ngasal,” keluh Naya yang berhasil menarik senyuman Darrel. “Lagian, siapa yang ingin siapa sekarang, nanti kamu yang ingat masa lalu kamu.”
Darrel tersenyum lebar, menatap Naya yang masih enggan menjuruskan tatapannya ke arahnya. Dia tahu, Naya saat ingin cemburu bukan main. Dan dia suka melihat ekspresi cemburu itu. Rasanya, dari ekspresi itu Darrel bisa mengetahui, betapa sayangnya perempuan yang kini masih duduk di kursi roda, namun tetap sempurna di kedua matanya.
“Kalau kamu cemburu, bilang aja, Nay,” sindir Darrel yang langsung membuat Naya tertawa tidak menyangka. Dia benar-benar tidak menyangka Darrel akan mengeluarkan kalimat itu padanya. Bukannya membujuknya, Darrel malah terus saja memancing kekesalan yang sebenarnya,belum ingin di keluarkan Naya.
“Kepedean banget sih, siapa juga yang cemburu,” bantah Naya tanpa melihat ke Darrel yang masih saja menjuruskan tatapannya ke Naya. “Perasaan!”
“Kamu,” jawab Darrel yang berhasil menarik tatapan Naya terarah kepadanya. “Aku benar, kan?” tanya Darrel yang membuat Naya memukulnya berulang kali. Darrel tertawa melihat sikap Naya yang berusaha menutupi rasa malunya akibat tebakan Darrel yang tepat sasaran. Darrel berusaha menghentikannya, memegang kedua pergelangan tangannya lantas menatap Naya yang terdiam menatapnya.
“Aku suka melihatnya,” ucap Darrel sungguh-sungguh. “Aku benar-benar suka melihat kamu cemburu. Aku juga suka melihat kamu marah, bawel atau bahkan cerita banyak hal. Aku benci saat kamu diam aja, Nay. Aku benci lihat kamu yang waktu itu memilih diam dan membiarkan suara alat-alat memenuhi ruangan tempat kamu berbaring. Aku gak mau kamu diam lagi seperti itu, Nay, aku gak mau,” ucap Darrel sembari menunduk menyembunyikan kesedihan yang terlihat jelas di kedua matanya.
Naya menatapnya haru. Dia tidak menyangka, Darrel akan serapuh itu. Yang dia tahu, Darrel adalah sosok lelaki yang benar-benar kuat dan tak mudah menangis. Namun kejadian kemarin membuatnya sadar, bahwa Darrel berbeda. Dia rapuh, walau sekuat tenaga dia sembunyikan di balik senyumannya.
Naya mengusap kepala Darrel lembut, membuat Darrel yang semula menundukkan kepala, kembali mengangkat kepalanya menghadapkannya ke Naya seiring dengan embusan angin pagi yang mulai menghangat, karena cahaya matahari. Naya tersenyum saat tatapan Darrel kembali terjurus kepadanya.
“Maaf,” ucap Naya yang seakan tidak punya kalimat lain untuk membalas kalimat panjang Darrel. Dia benar-benar merasa bersalah sudah membuat Darrel terpuruk dengan ketakutan yang teramat sangat. Seharusnya, dia tidak melakukan hal gila itu hingga membuat semua orang panik karenanya. Seharusnya Darrel tidak mengorbankan nyawanya hanya untuk dirinya dengan kembali masuk dan menginjakkan arena yang tidak seharusnya dia pijak kembali.
“Kamu gak salah, Nay, aku yang terlalu bodoh karena gak bisa memperjuangkanmu,” ucap Darrel yang masih terlihat sedih. “Aku malah takut melangkah, aku malah takut memilih yang hasilnya malah, kamu yang terluka. Aku benar-benar gak bisa maafkan diriku sendiri kalau sampai kehilanganmu waktu itu,” ucap Darrel yang langsung dijawab Naya dengan gelengan kepala.
“Aku bingung, aku benar-benar bingung harus dengan cara apa mengajakmu berbicara kemarin,” lanjut Darrel. “Aku bingung harus bagaimana lagi agar kamu bisa membuka kedua matamu. Aku yakin saat itu kamu mendengarku, tapi aku kesulitan untuk membuatmu kembali menatapku, Nay.” Darrel kembali menundukkan kepala saat menyadari ada bendungan di kedua matanya. “Tolong, Nay, jangan pernah diam lagi di hadapanku. Aku gak mau kehilangan suaramu, aku gak mau kamu sampai tidak mengabariku. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Darrel yang langsung dijawab Naya dengan anggukan kepala dan air mata yang jatuh melewati pipinya.
Darrel menghapus lintasan air mata di pipi Naya, menarik tubuh Naya untuk jatuh ke dalam pelukannya. Naya terisak, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun untuk sekedar membalas kalimat Darrel. Ada rasa sakit di hatinya melihat Darrel yang seperti ini. Namun di sisi lain, dai benar-benar bahagia bisa melewati segalanya dan menepi di hari ini. Hari yang benar-benar dinantikannya untuk bisa kembali bersama Darrel tanpa halangan apa pun.
“Nay, jangan tinggalkan aku, bisa, kan?” tanya Darrel yang masih memeluk Naya erat.
Naya mengangguk, menjauhkan tubuhnya dari pelukan Darrel lantas memegang pipi lelaki di hadapannya itu. Naya sesaat tertunduk, mencoba menetralkan perasaannya sendiri yang benar-benar merasakan sedih dan bahagia yang bercampur menjadi satu.
“Kamu sudah menyelesaikan apa yang harus kamu selesaikan, Rel?” tanya Naya yang langsung dijawab Darrel dengan anggukan kepala. “Aku yakin? Aku mendengar suaranya yang terus memakiku saat aku koma. Dia marah, dia kecewa, dia benar-benar menganggapku perusak hubungan kalian.” Naya menatap Darrel dalam. “Selesaikan jika belum selesai, Rel. Aku gak ingin melangkah di atas luka perempuan lain. Selesaikan, Rel, agar tidak ada lagi yangn terluka karena kita. Kamu bisa lakukan hal itu, kan? Buat aku? Buat kita,” ucap Naya yang langsung menarik senyuman Darrel.
“Aku akan selesaikan, Nay, tunggu aku sekali lagi ya?” pinta Darrel yang langsung dijawab Naya dengan anggukan sembari tersenyum lebar.