Sebuah mobil memasuki pekarangan café yang tampak lenggang dari kendaraan yang biasanya, terparkir di sana. Pintu terbuka, dan terlihat Airin ke luar dari dalam mobil merah terang itu, dan sesaat mengarahkan tatapannya ke dalam café indoor yang terbungkus kaca hampir seluruh dinding. Airin menarik napas panjang, mengembuskannya kasar dan sesaat menggoreskan mimik sedih di wajahnya. Airin menarik sorot matanya ke cincin di jari manisnya, cincin penuh harapan akan satu kehidupan baru bersama lelaki yang begitu dia yakini, akan menjaganya setulus hatinya seumur hidup, kini hanya menjadi cincin penghias di sana. Airin benar-benar tidak pernah menyangka, bahwa akhir kisah cintanya, akan sepahit ini.
Dia sudah lama menanti, itulah yang tertangkap di kedua mata Airin saat memutuskan melangkah masuk ke café. Duduk seorang diri di meja paling sudut dekat dengan dinding kaca, yang mengarah langsung ke parkiran. Airin melangkah tenang, walau perasaannya kacau bukan main. Dia sadar, keputusannya ini harus dia ambil secepatnya. Bukan demi lelaki itu, tapi demi dirinya sendiri yang tidak ingin terus menanti di ruang hampa, tanpa ada satu pun orang yang dia harapkan kehadirannya, untuk sekedar mengetuk pintu memberi tanda, bahwa dia datang.
“Hai,” sapa Airin saat berdiri di hadapannya, tepat sebelum memutuskan untuk duduk di kursi kosong di depan kursi lelaki itu. Perlahan, dia mengangkat kepalanya, mengarahkannya ke Airin lantas tersenyum tipis. Semula dia terlihat konsentrasi dengan permainan aksi di handphone pintarnya, tapi kini konsentrasinya teralih ke Airin, walau bukan bermakna kagum atau terpesona pada Airin kali ini. Airin kembali tersadar, bahwa rasa itu sudah tidak ada di hati lelaki, yang dulu selalu mengumbar cinta padanya. Atau malah tidak pernah ada cinta di hatinya.
Airin memutuskan untuk duduk, sesaat terpaku mendapati segelas minuman kesukaannya di atas meja. Jus mangga yang menjadi minuman paling dipilih Airin ke mana pun dia pergi. Dan kali ini dia tahu siapa yang sudah memesannya, tapi diawali permintaannya seperti biasa.
“Aku sengaja pesan, karena takut kamu datang kehausan,” ucapnya membuyarkan lamunan Airin. Airin mengalihkan tatapannya ke arah lain, tidak ingin beradu pandang dengan lelaki itu di awal pembicaraan. Hatinya masih benar-benar kacau, dan Airin tidak ingin kembali luluh dengan lelaki yang tak pernah punya hati padanya.
“Seharusnya kamu gak perlu ngelakuin ini, aku bisa memesannya sendiri kalau aku mau,” jawab Airin yang menarik tatapan kecewa dari lelaki di hadapannya. Sesaat dia tertunduk, meletakkan handphone yang semula masihdia genggam ke atas meja, tepat di samping gelas jus alpukat yang dia pesan untuk dirinya sendiri. Airin meliriknya sesaat, lantas perlahan menghela napas.
“Selamat atas kesembuhan Naya, aku turut senang mendengarnya.” Datar terdengar nada suara Airin yang masih belum ingin melihatnya saat lelaki itu, kembali mengarahkan sorot mata wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan cinta. “Maaf, aku belum sempat melihatnya. Aku terlalu sibuk saat ini,” tambah Airin yangn terlihat jelas tidak ingin lemah di mata lelaki itu. Dia ingin siapa pun yang kini menyorotnya dengan sepasang mata, bisa menemukan sosoknya yang baru, yang tak terkalahkan oleh siapa pun. Termasuk soal rasa yang kini tak lagi bisa membuatnya percaya pada siapa pun.
“Aku tau, kamu sangat sibuk,” jawabnya santai sembari terus menatap Airin dalam. “Dan kesembuhan Naya juga berkat kamu, kan?”
Airin menyerah. Kalimat itu menarik tatapannya beradu dengan tatapan lelaki itu yang masih saja betah menjadikannya objek matanya. Airin benci tatapan itu. Tatapan sendu namun terkesan menggoda yang membuatnya jatuh hati. Dan sialnya, baru beberapa detik dia menikmati kedua mata itu, dia kembali jatuh cinta. Airin terus merutuki dirinya sendiri yang lagi-lagi lemah di hadapannya.
“Karena aku?” tanya Airin bingung. “aku gak merasa pernah melakukan sesuatu sampai berhasil membangunkan orang koma yang sudah berbulan-bulan.” Airin menarik salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas, sinis, itulah yang terbaca di kedua mata Darrel
“Kamu membangunkannya dengan caramu, yang siapa pun gak kepikiran untuk ngelakuin itu,” balas Darrel dengan gayanya seperti biasa, santai namun terkesan serius.
“Apa yang kulakukan?” Airin benar-benar bingung dengan semua ucapan Darrel. Dia hanya datang, dan malah membuat semuanya kacau. Bahkan yang paling Airin ingat, Asty malah sampai marah padanya karena berbuat seperti itu.
Airin tiba-tiba menatap Darrel kaget, kedua matanya terbelalak. Mustahil kejadian pelik itu malah berhasil membuat Naya tersadar dari komanya yang sudah berbulan-bulan lamanya. Sebegitu cintanya Naya, hingga membuka mata hanya karena mendengar Darrel kembali ke dunia yang seharusnya dia jauhkan.
Darrel yang mendapati ekspresi Airin, mengangguk pelan. Seakan tahu bahwa Airin mulai menyadari perbuatannya yang ternyata, berimbas baik untuk Naya sampai detik ini. Darrel menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum tulus.
“Terima kasih, Ai,” ucap Darrel lagi yang kali ini malah dibalas Airin dengan mengarahkan pandangan ke arah lain. Darrel tidak bisa menebak, apa perasaan Airin kali ini. Entah dia ikut bahagia karena berhasil membangunkan Naya, atau malah dia menyesal sudah melakukan hal itu hingga merobek harapannya. Ekspresi Airin datar, seakan tak terbesit apa pun di hatinya. Darrel menghela napas pelan saat suara pesan singkat masuk ke handphonenya. Darrel mengeceknya, dan Airin meliriknya.
“Kamu sudah ditunggu, kan? Pasti Naya yang menghubungimu,” tebak Airin yang semula, dijawab Darrel dengan gelengan kepala. Darrel kembali meletakkan handphonenya ke tempat semula, menyapukan pandangannya sesaat ke sekeliling cafe yang tampak nyaman untuknya berbicara serous dengan Airin. Cafe itu tidak terlalu berisik. Hanya terdengar alunan musik klasik yang sejak tadi berdendang merdu. Warna wallpaper kecokelatan berhasil menghadirkan rasa tenang untuk Darrel yang suka warna-warna seperti itu. Sedangkan beberapa pelayannya, tidak seperti cafe lainnya yang sibuk berdiri di mana meja terisi.
“Itu Farel, bukan Naya,” jawab Darrel yang masih menikmati situasi sekitar. “Naya malah memintaku untuk tidak menghubunginya dan fokus berbicara denganmu, Ai. Dia ingin, aku menyeelsaikannya dulu, sebelum memulai yang baru.” Darrel kembali mengarahkan tatapan ke Airin yang menatapnya sendu. Namun dengan cepat Airin mengubah ekspresinya itu dengan dibumbui tawa kecil darinya.
“Ya, Naya memang berbeda. Dia tidak sepertiku yang terus saja mengusikmu dengan pesan-pesan singkat sekedar bertanya kamu di mana, dan lagi apa. Aku benar, kan?” tanya Airin yang kali ini dijawab Darrel dengan tawa kecil. “Dia wanita yang kamu sukai. Tipe yang kamu inginkan.”
“Dia berbeda,” jawab Darrel yang jelas saja membuat Airin cemburu bukan main saat melihat senyumannya. “Karena setiap wanita, punya cara berbeda untuk mencintai, Ai, dan itulah cara Naya mencintaiku.” Darrel tersenyum, menatap Airin yang tampak gelisah duduk di hadapannya.