BAB 32

1062 Words
                Naya menatap nanar di makam Gino. Bersama Asty, Naya akhirnya bisa hadir setelah sekian lama tidak menyapa abang tersayang yang kini tak bisa berbuat apa-apa lagi di dalam sana. Tumpukan tanah menguburnya, hiasan bunga bertabur di atasnya atas keinginan Asty yang sejak tadi, begitu khusyuk melepas rindu. Sesaat Naya mengarahkan pandangan ke langit yang kini tampak mendung, namun tidak hujan.                 Sesaat Naya menutup kedua matanya, menyapa Gino di dalam hatinya lantas disambut angi  semilir yang bertiup menyentuh rambutnya lembut. Seolah Gino hadir seperti biasa menyapu rambutnya. Ada kehangatan sentuhan Gino di kepalanya yang selalu terasa di saat sapaan dia lakukan. Seolah Gino tahu, bahwa dia merindukannya.                 Sudah terlalu lama Naya tidak hadir, dan anehnya, Gino malah selalu hadir dalam mimpi komanya. Entah sekedar tersenyum, atau malah duduk bersamanya. Gino selalu menemaninya yang bingung harus memilih jalan apa saat itu. Kembali, atau mengikutinya pergi. Gino hanya menggenggam tangannya, mengusap ibu jarinya seperti biasa saat dia kalut di punggung tangan Naya, lantas sesekali merangkulnya penuh ketulusan dan kasih sayang yang selalu berlebih darinya.                 Naya sadar, dia masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Gino. Lelaki yang dia harapkan bisa menemaninya selamanya itu, malah begitu cepat berlalu dari hidupnya. Hari terburuk itu hadir begitu cepat, Naya bahkan belum siap. Seruan Naya memanggil namanya di samping tubuhnya yang kaku, malah tidak digubris Gino seperti biasanya. Padahal Gino selalu takut jika Naya marah padanya karena diabaikan. Namun hari itu, Gino malah terus mengabaikannya dengan menutup kedua matanya begitu rapat. Padahal Naya ingin bercerita banyak hal, tanpa henti, seperti yang biasa dia lakukan setiap malam sebelum tidur di kamarnya bersama Gino.                 “Nay,” panggil Asty sembari menyentuh kepalanya lembut. Naya membuka kedua matanya, menatap Asty yang kini sudah berada di dekatnya sembari memberikan keranjang bunga ke atas pangkuan Naya. Asty mengangguk pelan, yang langsung dibalas Naya dengan senyuman tipis. Perlahan, Naya menuruni kedua kakinya menginjak tanah. Dengan bantuan Asty, Naya beralih ke kursi lipat yang memang sengaja disediakan pihak makam yang sangat mengenal Asty dan selalu melayaninya dengan baik. Sikap baik Asty pada penjaga makam yang kini berdiri tidak jauh dari tempat Naya dan Asty berada, berbalik begitu tulus. Hingga terkadang Naya merasa, lelaki tua dengan rambut memutih yang tertutupi topi itu, adalah ayahnya sendiri. Lebih tepat ayah Gino yang begitu peduli dengan tempat tinggal Gino yang baru.                 Naya menaburkan bunga di dalam keranjang hingga habis tanpa sisa, menuangkan air dari botol yang diberikan Asty, lantas mengadahkan tangan berdoa. Sesaat Naya mengalihkan sorotan matanya ke Asty yang berdiri di depannya. Asty berlutut di samping pusara Gino, menutup mata sembari memanjatkan doa. Naya tahu, Asty sangat menyayangi Gino bahkan lebih dari dirinya sendiri. Walau sikapnya tidak terlihat kalau dia lebih menyayanginya, namun Naya tahu, hatinya akan lebih hancur saat Gino meninggalkannya. Mungkin akan berbeda jika Nayalah yang pergi.                 Naya menutup kedua matanya, mulai memanjatkan doa saat Asty membuka mata. Asty menarik beberapa rerumputan liar yang tumbuh di pusara Gino dengan wajah sendu. Ada bendungan air di kedua matanya yang masih enggan melesat ke luar. Angin kembali berdesir lembut, menerbangkan beberapa helai bunga yang sudah menghiasi makam Gino. Perlahan Asty menarik tatapanya ke lelaki penjaga makam yang masih setia berdiri di garis paling luar di jalan setapak menuju makam Gino. Dia berdiri di sana, seolah ikut menghormati Gino layaknya keluarga sendiri. Asty menarik tatapannya ke Naya yang baru saja selesai memanjatkan doa.                 “Nay, bunda ke sana dulu ya, bicara sebentar sama Pak Diman,” ucap Asty yang langsung dijawab Naya dengan anggukan kepala. Asty melangkah meninggalkan Naya yang masih menatap kepergian Asty, lantas menarik tatapannya kembali ke makam Gino saat sudah memastikan Asty tiba di hadapan Diman. Naya menghela napas berat. Rasanya ingin bercerita banyak hal pada Gino tentang keajaiban yang dia dapatkan setelah berbulan-bulan terbaring tak sadarkan diri. Naya mennatapnya nanar, sembari sesekali menundukkan kepala.                 “Makasih udah nemanin Naya, Bang,” ucap Naya memulai ceritanya. “Naya tau, abang sayang banget sama Naya sampai terus-terusan nemanin Naya.” Naya menarik senyuman di bibirnya saat kedua matanya kembali terarah ke Gino. Setangkai bunga mawar merah yang masih dia pegang, dia putar pelan. “Abang sudah lihat dia, kan? Lelaki itu yang berniat mengambil alih tugas abang menjagaku.”                 Naya mulai menjuruskan ceritanya ke Darrel. Sebenarnya, dia ingin membawa Darrel ke sini, menjenguk Gino dan menyudahi segalanya. Namun Darrel yang saat ini sedang bertemu dengan Airin untuk menyelesaikan apa yang memang sudah seharusnya diselesaikan sejak awal, membuat Naya enggan mengajaknya untuk ikut. Masih ada waktu lain untuk mengajaknya. Naya ingin, Darrel menyelesaikannya satu persatu, agar tidak membuat lelaki itu muak dengan semua permasalahan yang harus dia selesaikan.                 “Naya harap abang suka ya?” harap Naya dengan kedua mata berbinar-binar. Dia hanya berharap Gino tidak marah padanya karena memilih Darrel sebagai lelaki yang menemaninya. Naya hanya merasa, ada sosok Gino di dalam diri Darrel yang sulit dia jelaskan. Kedua mata Darrel, membuatnya selalu teringat sosok Ginoyang sangat dia rindukan. Mata teduh itu, membuatnya ingin terus menatapnya tanpa henti.                 Sesaat Naya melirik ke Asty yang terlihat serius berbicara dengan Diman. Entah apa yang keduanya bicarakan, yang pasti Naya sedang tidak ingin tahu apa pun tentang itu. Hatinya masihingin melepas rindu. Walau sampai kapan pun kerinduan itu tidak akan pernah terobati, walau Gino selalu ada untuknya setiap waktu. Naya kembali menundukkan kepala. Ekspresi wajahnya kembali sedih mengingat hari-hari ke depannya yang entah apa lagi yang akan terjadi. Ada rasa takut di hatinya saat kedua matanya terbuka di pagi hari. Entah masalah apa lagi yang harus dia hadapi, mengingat beberapa waktu ke depan, Naya harus tetap berada di kursi roda dan hanya bisa berharap pada orang-orang di dekatnya untuk selalu membantunya.                 Naya ingin bisa kembali melakukan segala hal sendiri. Keputusan gilanya itu, membuatnya harus melewati semua hari yang terus menerus diisi dengan kesedihan dan kebodohannya sendiri. Naya sadar, imbas dari kebodohannya waktu itu hanya menyusahkan Asty saja. Asty harus mencari sekuat tenaga uang untuk membiayai pengobatannya. Dan halitu membuat Naya sakit bukan main menyadari rumah yang dulu menjadi tempat tinggalnya, kini sudah menjadi milik orang lain.                 “Nay.” Terdengar seseorang memangginya yang membuat Naya mengalihkan pandangan ke Asty yang ternyata, sudah di dekatnya. “Kita pulang?” tanya Asty yang hanya dijawab Naya dengan anggukan kepala. Naya kembali berpindah ke kursi roda dengan bantuan Asty, memberi salam perpisahan ke Gino, dan membiarkan Asty mendorong kursi roda. Angin kembali bertiup, menyibakkan rambut Naya seolah memberi pesan, bahwa Gino membalas salamnya. Naa tersenyum simpul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD