Airin menyeruput minumannya. Sedotan berwarna putih menjadi alat baginya untuk seekdar menenggelamkan dinginnya jus ke dalam dadanya yang sesak. Cara Darrel memuji Naya, membuatnya iri bukan main. Dia tidak pernah melihat ekspresi wajah Darrel yang seperti saat ini dia lihat. Darrel terlihat begitu bahagia saat nama Naya dia sebutkan. Tidak ada sedikit pun garis penolakan di wajahnya atau pun ekspresi jutek yang dulu Darrel tunjukkan saat bersamanya. Darrel benar-benar berbeda.
Darrel terlihat benar-benar mencintai Naya, itulah yang jelas terlihat. Dan sejujurnya, Airin iri bukan main. Andai saja dia bisa menemukan sosok berbeda itu di diri Darrel saat bersamanya, betapa bahagianya Airin memilikinya saat itu. Namun Darrel tak pernah menunjukkannya. Entah dengan alasan apa.
Suasana cafe mulai ramai dengan pengunjung. Walau tidak semua meja terisi penghuni, namun beberapa lainnya mulai penuh dengan pesanan makanan dan minum beraneka ragam dan rasa. Tidak seperti meja Airin dan Darrel, yang hanya tersedia minuman sejak satu jam yang lalu. Baik Airin mau pun Darrel sama sekali tidak memesan makanan apa pun. Keduanya maalh sibuk dengan minuman masing-masing, yang masih belum habis.
“Aku tau kalau aku aku sudah nyakitin kamu, Ai,” ucap Darrel lagi memulai pembicaraan yang semula suasana diisi keheningan antara keduanya. Airin kembali mengarahkan tatapan ke Darrel. Kali ini dia mulai berani beradu pandang, tidak seperti sebelumnya. Airin merasa, mungkin ini kali terakhir dia bisa menikmati mata teduh itu. Sebelum keputusan besar dia ambil untuk masa depannya.
“Kenapa baru menyadarinya sekarang?” tanya Airin dengan suara tetap tenang, walau sejak tadi emosinya bergejolak dalam d**a. Ingin rasanya dia membentak Darrel yang begitu tenang berbicara dengannya, seolah tidak pernah terjadi hubungan apa pun dengan dirinya dan Darrel.
“Sudah sejak awal kamu nyakitin aku, Rel, kenapa baru sadar sekarang?” tanya Airin lagi saat menyadari Darrel tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Ini bukan hanya tentang Naya yang bagi Airin, hadir merusak segalanya. Tapi ini tentang semua hal yang datang dari segala sudut hubungannya. Anehnya, Darrel selalu membuat sudut pada hubungannya, bukan membiarkannya melingkar dan tak bersudut, agar tak ada celah masalah yang menepi dan berdiri di sisi yang paling sulit digapai. Airin merasa, Darrel tidak pernah memberikan secercah harapan masa depan pada hubungannya. Seolah semua hanya permainan saja, sama seperti permainan di dala handphonenya yang kapan dia inginkan, dia kunjungi tak tentu waktu. Dan Airin, adalah permainan utama dalam hidup seorang Darrel. Boneka bagi Darrel. Itulah yang dirasakan Airin selama ini. Namun dia lebih memilih bungkam karena rasa takut akan kehilangan cinta yang dia yakini, berada di tempat yang benar.
Darrel menatapnya tak berkedip. Pertanyaan yang dilontarkan Airin, jelas membuatnya kesulitan dalam menjawab. Berulang kali Darrel mencoba menyusun kalimat terbaik untuk tidak menyakiti Airin. Mustahil dia mengatakan bahwa selama berhubungan dengannya, tak ada tempat terbaik yang dia berikan di hatinya untuk sekedar menepikan nama Airin. Tak mungkin Darrel terlalu jujur dengan mengatakan bahwa Airin, tidak berhasil masuk ke dalam hatinya. Jawaban itu tidak akan bisa diterima Airin, yang saat ini pastinya sedang tidak baik-baik saja. Seperti yang dikatakan Naya, bahwa kerapuhan kini dialami Airin. Karena itulah berulang kali Naya berpesan, untuk tidak menyakitinya dengan kata-kata, apa lagi pujian tentang dirinya.
“Kenapa gak bisa ngejawab?” tanya Airin yang mulai jengah dengan sikap diam Darrel. “Apa aku dihadirkan cuma untuk penghiburmu saja?” Kedua mata Airin terbendung air yang siap kapan saja melesat jatuh.
Darrel mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia benci jika Airin melakukan hal itu. Dia benci jika Airin menjadikan air mata sebagai senjata terkuatnya meluluhlantakkan pertahanan Darrel. Airin sudah tahu seluk beluk tentang dirinya, dan hal itulah yang membuat Darrel sering kali tidak percaya, apakah air mata yang dia ke luarkan benar tulus dari hati, atau hanya sandiwara belaka.
“Apa aku cuma boneka buat kamu, Rel?” tanya Airin lagi yang merasa, dialah yang kini terlalu aktif bertindak dan bersuara. “Jawab aku!” bentak Airin yang sempat menarik semua pasang mata tertuju pada keduanya. Darrel menjuruskan sorot matanya kembali ke Airin yang menatapnya geram.
Sejujurnya Darrel malu bukan main. Semua pasang mata yang masih mengarah padanya, ditambah dengan bisikan-bisikan kecil dari semua mulut, membuat Darrel tidak habis pikir dengan sikap Airin yang selalu saja bersikap seenaknya. Airin selalu saja bersikap di luar kemampuan Darrel untuk menutupinya. Dia malu, jelas malu. Dan itulah salah satu alasan Darrel memilih tidak memasukkan namanya ke dalam hatinya yang terdalam. Entah apa yang akan terjadi ke depannya, jika dia terus mendapati sikap seenaknya itu dari Airin. Padahal sudah sejak lama Darrel mengingatkannya, dari mulai cara lembut, sampai membentaknya tanpa sengaja. Namun Airin hanya berubah sesaat, setelah itu kembali menyerang dengan cara yang sama.
“Aku gak pernah menganggap hubungan kita permainan,” jawab Darrel tetap tenang setelah memastikan semua pasang mata, tidak lagi tertuju padanya. “Aku tidak pernah bermain-main dengan apa yang aku jalani, termasuk hubungan kita.”
“Kamu bohong, kan?” tanya Airin dengan nada suara pelan dan bergetar menahan tangis. “Kamu gak pernah menganggapku ada selama ini.”
“Kalau aku tidak menganggapmu ada, aku tidak akan menyanggupi semua permintaanmu, Ai,” balas Darrel tanpa memberi jeda. “Aku pasti tidak akan membalas pesanmu, tidak akan menjawab teleponmu, dan tidak akan menuruti semua permintaanmu.”
“Dan semua itu apa kamu sadar, kalau cuma aku yang berperan aktif dalam hubungan kita?” tanya Airin yang jelas membungkam mulut Darrel. “Hanya aku yang berusaha mempertahankan hubungan kita agar tetap hangat, hanya aku yang berusaha mencari cara agar hubungan kita tetap nyaman. Dan kamu, tidak melakukan apa pun selain mengikuti alur cerita yang aku arahkan. Kamu sadar akan hal itu, Darrel?” Akhirnya air mata tak lagi mampu dibendung Airin. Dia melintas begitu saja di pipinya. Darrel tertunduk tak kuasa melihatnya.
“Maaf,” jawab Darrel, dan hanya kata itulah yang bisa dia ucapkan.
Airin menghela napas panjang, tersenyum lucu sembari memutar bola matanya sekali mencoba menahan emosi di dadanya. Dia tidak menyangka Darrel hanya menjawab itu dari kalimat panjang yang dia ucapkan. Airin menghapus air matanya, lantas melepas cincin dan memberikannya ke Darrel.
“Aku pulangkan, karena aku sadar, cincin itu hanya bertugas untuk melingkar, bukan menyatukan,” ucap Airin yang lantas menarik kembali tatapan Darrel ke arahnya, setelah melihat ke cincin di atas meja. “Aku hanya berharap, Naya bisa membuatnya bertugas di tempatnya yang semestinya. Aku pamit.”
Airin beranjak dari kursinya dan melangkah pergi ke luar dari cafe, meninggalkan Darrel yang kini masih terpaku sembari menatap cincin yang belum dia ingin sentuh sampai detik ini. Kalimat Airin berhasil menusuk hatinya. Airin terluka, dan Darrel yakin, dia bisa menyembuhkannya dengan sendirinya.