BAB 21

1039 Words
… Ayra dan Tarra …   … 2012 …                 Tarra memasukkan semua alat tulis ke dalam tas. Waktu yang kian larut, membuatnya ingin secepatnya tidur sebelum pagi menyapa. Sudah terlalu lelah kedua matanya membaca mata kuliah besok, dan rasanya ia ingin menyambut mimpi indah yang mungkin saja akan membawanya ke satu hal terbebas yang ia rindukan.                 Tarra menghempas tubuhnya di atas tempat tidur. Meraih handphone yang sedari tadi menikmati bantal empuknya. Membuka pesan-pesan yang ia kirimkan melalui Blackberry messenger ke satu wanita, namun tak ada balasan. Bahkan untuk sekedar mengubah tanda’D’ ke ‘R’ saja tak ia temukan. Ayra seakan sengaja tidak membaca pesan singkatnya menginggat wanita bertubuh lebih kecil darinya itu, paling tidak suka terlalu lama membaca pesan dari orang lain. Tarra menghela napas panjang. Mencoba menginggat setiap kejadian beberapa hari sebelum perubahan Ayra. Sudah hampir satu minggu ini Ayra tak masuk kuliah. Telepon dari Tarra pun tak ia jawab. Pesan singkat dari seminggu lalu, sama sekali tidak ia baca. Ayra seakan menjauh darinya. Dan semua itu entah karena apa.                 Perubahan sikap Ayra jujur membuat Tarra merasa hilang arah. Tak ada lagi tawa Ayra yang hampir setiap hari ia temui di kelas atau sekedar saat bersamanya. Tak ada lagi waktu tenang yang menyelimuti Tarra saat duduk di atap gedung. Bahkan kalimat-kalimat lucu dan panjang Ayra hampir setiap malam, tidak lagi ia temukan. Tarra merindukannya. Jelas dia sangat merindukan sosok unik itu. berulang kali Tarra mencoba memikirkan setiap tindakannya pada Ayra yang mungkin menjadi satu alasan Ayra untuk menjauhinya. Namun sepanjang pemikirannya melayang ke hari-hari sebelum Ayra menghilang, Tarra tidak pernah merasa dia pernah menyakiti Ayra. Semua masih baik-baik saja, walau dulu sempat ia meninggalkan Ayra sendirian di atap gedung karena membahas tentang kehilangan.                 Tarra meletakkan handphonenya kembali ke atas meja yang berada di samping tempat tidur. Memukul-mukul bantalnya sesaat, lalu kembali merebahkan tubuh serta kepalanya di atas tempat tidur. Mencoba menutup mata walau sebenarnya tak ada rasa kantuk yang hadir. Rasanya, satu minggu ini ia kembali sulit tertidur di malam hari. Obat tidur yang selalu mampu menghilangkan penyakit insomnianya selama ini, hilang. Tak ada lagi yang bisa membuatnya tertidur seperti layaknya Ayra. Kalimat dan permintaan Ayra yang memaksanya untuk memejamkan mata, seakan berhasil membuatnya berteman dengan mimpi. Walau kini kembali bermusuhan.                 Secara tiba-tiba suara pesan singkat berbunyi yang membuat Tarra spontan meraihnya kembali. Tersenyum penuh harap, namun hilang seketika saat satu nama berbeda hadir melenyapkan harapannya. Airin menghubunginya dan bukan Ayra. Cukup lama Tarra mengetik kalimat balasan. Sampai akhirnya satu kalimat menjawab pertanyaan Airin pun ia kirimkan dan kembali berbaring menatap lelangitankamar.                   ‘Ini mau tidur, kenapa?’                 ‘Aku kangen, besok kita jalan yuk.’                 ‘Aku harus kuliah besok, lagian aku gak mood.’                 ‘Ada masalah?’                 “Gak, bukannya kemarin baru jalan-jalan?’                 ‘Aku kan pengen jalan-jalan lagi sama kamu, salah?’                 Kalimat balasan Airin memang tidak ada yang salah. Jelas saja Airin ingin terus bersamanya menginggat beberapa minggu sebelumnya, Airin pernah memprotes dirinya yang berubah. Perubahan yang terjadi karena kehadiran Ayra. Hampir seluruh waktu Tarra dihabiskan hanya untuk sekedar menemani wanita penguasa hatinya itu. namun semua itu, sama sekali tidak diketahui Airin. Semuanya tersusun rapi tanpa ada yang tahu. Pertemuan dengan Ayra pun sukses tanpa ada yang menghalangi. Termasuk Airin.                   ‘Aku lagi banyak tugas.’ Jawab Tarra mencoba mengalihkan pembicaraan.                 ‘Please, mau ya?’                 Enggan. Satu kata yang mampu digambarkan Tarra dalam hatinya. Saat ini keadaannya masih tak menentu. Tak ada semangat untuk pergi berjalan-jalan sama siapapun. Tarra ingin sendiri dan bahkan ingin menghabiskan seluruh waktunya di rumah. Menanti pesan balasan Ayra yang sama sekali tak hadir di handphonenya. Bahkan waktunya yang ia sempatkan untuk bersama Airin pun tak mampu menghilangkan kegalauannya akan hilangnya Ayra dari hidupnya.                 Tarra melangkahkan kedua kakinya di lorong kampus. Diliriknya jarum jam di tangan yang masih pukul tujuh pagi. Menatap lurus ke depan yang masih kosong tanpa satu pun mahasiswa. Berharap kesunyian di kelas mampu membuatnya tenang sesaat sebelum siang menjemputnya dan memaksanya untuk berjalan-jalan dengan Airin.                 Tarra terhenti seketika saat kedua matanya menangkap sosok Ayra di kelas. Duduk sembari membaca novel seperti biasa. Satu hal yang sangat kedua mata Tarra rindukan. Menikmati Ayra saat membaca novel dalam diam. Dan kali ini, semua itu kembali mampu ditangkap kedua matanya saat kakinya baru saja melewati pintu kelas.                 Ayra sendiri yang merasa degupan jantungnya berdetak tak seirama secara tiba-tiba, langsung menoleh ke pintu. Terperanjak kaget mendapati sosok lelaki yang berusaha sekuat tenaga ia jauhi, kini berada di hadapannya. Ayra tak bisa menghindar. Dirinya yang harus menghadapi kenyataan bahwa sekuat apa pun ia menjauh, Tarra tetap saja berada di sekelilingnya, membuat Ayra menundukkan kepala. Mencoba kembali berkonsentrasi pada buku di atas mejanya. Berusaha sekuat tenaga tidak memedulikan Tarra yang mulai melangkah perlahan mendekatinya dan duduk di dekatnya. Menatapnya walau tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya.                 “Aku ada salah sama kamu, Ay?” Satu pertanyaan yang membuat Ayra tak kuasa menahan gejolak di hatinya. Ingin rasanya ia mengatakan hal yang menjadi alasannya utuk menjauh. Namun, rasanya itu tak mungkin. Ayra tidak ingin merusak hubungan Tarra dengan Airin yang sudah berlangsung lama.                 “Jawab aku, Ay?” Tarra kembali mengeluarkan suara hingga membuat Ayra bangkit dari tempat duduknya dan bersiap-siap melangkah meninggalkan Tarra di kelas. Namun, genggaman tangan Tarra di siku tangan kanannya, membuat Ayra tak bisa melaksanakan niatnya untuk kabur. Tanpa berbalik, Ayra mencoba menetralkan iraman napasnya.                 “Jangan menjauh lagi, Ay.” Suara Tarra terdengar lirih. “Aku bingung kalau kamu gak ada di dekatku.”                 “Lepasin aku, Tarra!” ucap Ayra sembari menghentakkan tangannya hingga berhasil terlepas. Berbalik menatap TArra yang masih mencoba tetap tenang walau napasnya masih saja memburu.                 “Kamu kenapa, Ay. Aku ada salah? Iya?”                 Ayra mengalihkan tatapannya ke arah lain. Di satu sisi hatinya mendesak untuk mengatakan segalanya. Namun di sisi lain, hatinya menolak. Tarra yang masih menatapnya, hanya mampu diam dan menanti jawaban Ayra. Namun yang ia terima alah sikap Ayra yang berlari meninggalkannya. Melewati pintu yang di sana sudah hadir Vino. Menatap ke Tarra dengan perasaan tak enak karena sudah membocorkan rahasia. Tarra sendiri langsung mengejar Ayra. Namun, tarikan Vino membuatnya berhenti.                 “Semua ini karena Airin.” Tarra membuka kedua matanya lebar-lebar mendegar ucapan Vino. “Aku bisa jelaskan semuanya, Tar.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD