“Ngapain di sini!” Tanya Ayra yang menyadari kehadiran Tarra di belakangnya. Ayra yang semula sendirian di atap gedung. Mencoba menikmati awan mendung yang seakan ingin memuntahkan tangisnya dari langit. Namun semua ketenangan itu menghilang saat suara kaki Tarra terdengar. Dan tanpa harus melihat siapa yang datang, Ayra sudah tahu. Karena hanya dirinya dan Tarra sajalah yang diiznkan duduk berlama-lama di atap gedung. Itu pun tak boleh terlalu lama.
“Aku sudah tahu semuanya, Ay!”
Ayra tersentak kaget mendengar, “Tahu apa?” Nada suara Ayra masih terdengar ketus walau hatinya kalut bukan main.
“Soal Airin yang mendatangimu dan … menamparmu di café.” Tarra menghela napas panjang. “Atas nama Airin, aku minta maaf.”
Ayra menundukkan kepala. Rasa sakit bekas tamparan Airin, terasa kembali menghantamnya. Perih, walau tak seperih hatinya kini yang mendengar kalimat maaf Tarra dengan membawa nama Airin.
Sakit. Ya, semua ini terasa sakit bagi Ayra yang masih memilih duduk di bagian atap lain yang taka da pembatas. Hanya ada lantai bawah yang tak terlalu lebar. Dan hal itu membuat Ayra menggantungkan kedua kakinya dan menatap lurus ke depan. Ke gedung-gedung di luar kampus yang juga memiliki tingg yang hampir sama dengan gedung yang kini Ayra jadikan persembunyiannya.
Ada rasa sakit di dadanya yang masih belum ingin ia umbar. Pertemuaannya dengan Tarra, seakan menjadi babak baru bagi ruang di hatinya. Rasa itu memang sudah cukup lama Ayra rasakan. Namun … waktu seakan tak bersahabat dengannya. Entah bagi Tarra, dia hanya sekedar pelepas lara atau sekedar penghibur saat waktu hadir membosankan. Ataukah bagi Tarra, kehadirannya memang sangat ia butuhkan bukan hanya sebagai penghibur melainkan sebagai pengisi hatinya yang terdalam.
Tarra mendekat dan duduk di samping Ayra. Menarik dagu Ayra hingga membuat wanita di sampingnya mengarahkan tatapan ke Tarra. Dengan penuh kelembutan dan ditambah dengan sorot mata tak tega, Tarra mengusap pipi kanan Ayra. Mencoba mengobati luka yang sudah lama, namun ia yakini pasti masih terasa bagi Ayra akibat rasa malu yang juga hadir bersamaan.
“Vino udah cerita semuanya. Dia gak sengaja ngikutin Airin waktu itu dan melihat semuanya dari luar.” Ayra menutup kedua matanya sesaat. “Masih sakit?”
Ayra embuka kembali matanya. Menggelengkan kepala sembari tersenyum. Menyentuh tangan TArra yang masih di pipi kanannya dan perlahan menuruninya. Kembali mengarahkan pandangan lurus ke depan seakan tak ingin membuat kedua matanya lemah dengan menjatuhkan air mata.
“Lupakan saja. Airin pantas melakukan hal itu samaku.”
“Gak, Ay, dia gak seharusnya ngelakuin hal itu!” bantah Tarra. “Karena ….”
“Karena sebenarnya aku bukan siapa-siapa kamu, iya kan?” potong Ayra yang berhasil membuat Tarra bungkam. “Kita hanya sahabatan, dan kamu gak punya rasa untukku. Itu yang mau kamu bilang kan?”
“Kamu salah, Ay.”
“Cukup!” potong AYra lagi. “Aku malas agh ngomongi serius sekarang. Lupain aja yah.”
Tarra terdiam. Sebenarnya ia sangat ingin mengatakans egalanya. Rasa di hatinya yang tak mungkin ia pendam selamanya. Dia ingin jujur, walau keadaan sebenarnya tak memungkinkan untuknya mengulurkan tangan dan menyambut rasa yang hadir. Dia masih terikat dengan Airin. Dan rasanya itu akan terlalu sakit bagi keduanya, baikmitu Ayra ataupun Airin. Dan saat ini dia masih belum memiliki alasan yang tepat untuk mengakhiri hubungannya dengan Airin. Walau sebeantrnya masalah Airin menampar Ayra bisa saja dijadikan alasan yang tepat. Namun tidak bagi Airin.
“Ta … ish, rasanya gak asyik manggil nama kamu dengan sebutan Tarra,” ucap Ayra yang mulai mencoba mencairkan suasana. “Dipanggil Tarra, serasa manggil cewek. Entar di panggil Ta atau Ra juga serasa manggil cewek. Serba salah!”
Tarra tersenyum mendengar kalimat Ayra dan ekspresi lucunya yang tampak tak dibuat-buat. Dia terlihat lucu dengan ekspresi bingungnya saat itu. menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin saja tidak terasa gatal lalu berulang kali memanyunkan bibirnya.
“Jadi maunya manggil apa?”
“Emangnya boleh kalau aku panggil kamu dengan nama yang berbeda?”
Tarra menaikkan kedua bahunya sembari mencibirkan bibirnya sendiri. Ayra tertawa kecil dan duduk bersandarkan dinding pembatas gedung. Mencoba memikirkan nama yang pas untuk memanggil Tarra agar tak terkesan kalau ia sedang memanggil seorang perempuan. Tarra sendiri pun ikut duduk di sampingnya. mencoba menanti sembari menikmati lekuk wajah Ayra yang terlihat manis. Pipinya yang tembem dan selalu membuat Ayra mengeluh kesal setiap kali teman-temannya menarik tanpa perasaan. Kedua matanya yang tak terlalu besar, ditambah lagi bibirnya yang kemerah-merahan membuatnya tampak manis di mata Tarra. Kesederhanaan dan kepolosannya juga membuat Tarra betah berlama-lama dengannya. Ditambah lagi, sikap konyol yang selalu membuat orang terlalu padahal di saat yang bersamaan, Ayra sendiri tampak bengong melihat teman-temannya menertawakannya.
“Lihat buku kamu!” seru Ayra yang langsung membuat Tarra mengerutkan keningnya. “Aku mau lihat nama kamu, jadi biar bisa nyari yang pas.”
Tarra mengerti. Dengan sikap yang tetap tenang, Tarra membuka kancing tas ranselnya lalu mengeluarkan buku catatan berwarna biru tua kesukaannya. Memberikannya pada Ayra dan kembali menutup tas dan menikmati lekuk wajah Ayra yang selalu membuat Tarra tenang.
“Tarra Darellian Putra … emm … kalau Putra, udah biasa. Em … apa ya?” Ayra masih berusaha memikirkannya saat Tarra menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap Ayra. Meraih handphonenya di dalam saku celana, lalu membuka salah satu akun yang ia miliki.
“Haa, Darrel!!!” seru Ayra yang membuat Tarra kaget bukan main. Kedua matanya terbelalak menatap Ayra. Detakan jantungnya seakan terhenti mendengar nama itu yang menjadi pilihan Ayra. Ayra sendiri tersenyum lebar sembari memberikan buku catatan yang sejak tadi ia pergunakan ke pangkuan TArra.
“Baguskan namanya? Seingat aku Darrel itu artinya belahan jiwa. Haha … nama kamu bagus!” ucapnya yang membuat Darrel menundukkan kepala.
“Jangan nama itu.” Nada suara Tarra terdengar lirih. Ayra menatapnya bingung. “Cari nama lain aja ya?”
“Gak mau, aku mau nama itu!”
“Tapi, Ay. Nama itu ….”
“Kenapa dengan nama itu?”
Secara tiba-tiba, sekelebat kenangan hadir mengusik ketenangan Tarra. Duduk berdua dengan seorang gadis cantik di pinggir danau yang tenang. Angin semilir membuat helaian rambus gadis cantik itu menarik mengikuti arah tarikan angin. Sedangkan Tarra tampak duduk di sampingnya sembari sesekali melempar batu-batu kecil ke dalam kolam.
“Darrel!” seru gadis itu yang membuat Tarra menghentikan lemparannya. “Aku mau panggil kamu dengan nama itu. Karena Darrel itu artinya yang tercinta. Jadi dengan tak langsung, aku mengatakan bahwa kamulah yang paling aku cintai. Dan aku gak mau satu orang pun manggil kamu dengan sebutan yang sama. Kalau pun ada, berarti aku udah gak sama kamu lagi. Mungkin aja itu jelmaanku.” Senyumannya mengembang lebar. Tarra yang semula menatapnya teduh, langsung tersenyum lebar. Menarik kepalanya agar bersandar di dadanya sembari mengusap rambutnya lembut.
“Jangan ngomong gitu ya, kamu pasti sembuh.”
Kenangan itu membuatnya menundukkan kepala. Suara lembut panggilan demi panggilan dengan nama Darrel, tengiang di telinganya. Tarra berusaha menutup telinganya yang langsung membuat Ayra bingung bukan main. Ayra berusaha menenangkan Tarra, namun Tarra tetap saja menutup telinganya dan sesekali memukul-mukul kepalanya.
“Darrel, kamu kenapa!” seru Ayra yang langsung membuat Tarra menatapnya tajam.
“Cukup, Dinda!!!” bentakknya yang membuat Ayra kaget bukan main. “Jangan panggil aku terus!!!”
“Dinda?” tanya Ayra yang langsung membuat Tarra sadar dari halusinasinya. “Aku Ayra, bukan Dinda.”
Tarra menatap tak percaya ke arah Ayra yang masih menatapnya dengan ekspresi kaget. Tarra berusaha menenangkan dirinya dengan menarik napas panjang berulang kali dan menghembuskannya perlahan. Kenangan dan suara Dinda seakan terus saja mengusiknya hingga tanpa sadar, nama yang sudah lama tak ia sebutkan, kini keluar dari bibirnya dengan lancar.
“Siapa Dinda?”
Tarra mengalihkan panangannya ke Ayra yang masih menatapnya. Menghela napas panjang lalu menatap dalam-dalam ke kedua mata Ayra yang begitu meneduhkan.
“Dia … mantanku.”