… Naya dan Darrel …
… 2012 …
Hari itu seperti biasa, tenang saat angin melambaikan rerumputan hijau membentang di depan mata. Laying-layang berbagai warna melayang mengudara. Ditarik ulur oleh beberapa anak sembari tertawa silih berganti. Beberapa pepohonan yang tumbuh begitu rapi, juga tampak menari saat lantunan angin berdesir melewati. Menghadirkan rasa tenang bagi setiap orang yang hadir penikmat sepi. Menghadirkan ketenangan yang sulit didapatkan saat hidup di kota metropolitan.
Cuaca juga tak semenyengat biasanya. Mentari perlahan tertutup awan mendung yang bisa diprediksikan oleh sebagian orang, sebentar lagi langit akan menangis. Namun, tanda-tanda itu, tidak membuat Naya yang sedari tadi duduk menekuk kedua kakinya bersama Darrel, beranjak pergi. Wanita penyuka hujan yang selalu enggan bangkit dan pergi sebelum petir menyambar menakutkan. Dan hal itulah yang sudah dihapal Darrel semenjak memasuki dunia Naya.
Naya mengarahkan tatapan kaget ke Darrel saat kalimat itu terjurus padanya. Pertanyaan seputar issue di sekelilingnya yang langsung ia minta kejelasannya, ternyata benar adanya. Tak pernah ia sangka sebelumnya bahwa Darrel mempunyai hobby semenakutkan itu. Bertaruh nyawa di jalanan hanya demi kepuasan diri sendiri.
Darrel sendiri tersenyum saat mendapati ekspresi Naya masih tampak kaget. Memainkan handphone yang sedari tadi berada di tangannya sembari menanti kalimat lanjutan yang pasti di keluarkan Naya. Dan benar saja, lagi-lagi Naya mempertanyakan keseriusan dari jawaban Darrel. Darrel kembali tertawa.
“Itu hobby ku, Nay. Sama seperti kamu yang hobby-nya masukin foto ke diary,” ucap Darrel yang langsung membuat Naya memanyunkan bibirnya.
Hobby yang ia lakukan sejak kecil, memang bertolak belakang dengan hobby Darrel. Tak ada taruhan nyawa di hobby Naya. Tidak seperti Darrel yang bisa kapan saja terjatuh dan luka saat ia melesat tanpa berniat berhenti dan mengundurkan diri.
“Apa … gak bisa berhenti?” Pertanyaan dengan nada lirih itu berhasil membuat Darrel mengarahkan tatapannya ke Naya. Menatapnya yang saat itu menundukkan kepala sembari menarik beberap rumput yang memenuhi halaman rumah.
“Aku takut, kamu kenapa-kenapa, Rel,” lanjutnya lagi sembari mengarahkan tatapan ke Darrel yang masih menatapnya. “Aku ingin kamu berhenti dari hobby kamu.”
“Nay, selain suka menempelkan foto-foto kamu di dalam diary, kamu juga suka hujan kan?” Naya mengangguk pelan. “Kalau aku memintamu untuk berhenti dari hobby itu, apa kamu mau nurut?” tanya Darrel lagi dengan nada tenang, agar Naya bisa mengerti maksud dari pertanyaannya yang sebenarnya menjurus ke arah keengganannya menghentikan hobbynya itu. Darrel ingin Naya menerima hobby-nya itu, bukan malah memintanya berhenti dari semua yang dia sukai. Darrel sendiri menyadar bahwa semua itu bahaya untuknya, tapi mau tidai mau, Darrel harus terus melakukannya agar beban dalam pikirannya, bisa terlampiaskan.
Naya terdiam. Menatap lurus ke depan dengan wajah enggan bercampur kebingungan. Dia sangat suka melakukan itu. Baginya, cukup dengan menempelkan foto dari beberapa kejadian, dapat membuatnya mengenang kembali setiap kejadian yang hadir di hidupnya. Mengingat hal-hal yang pantas untuk diingat walau terkadang kenangan itu pahit terasa. Dia juga suka hujan, langit biru dan bintang. Jika semua itu harus ia jauhi, dia tidak tahu lagi bagaimana melepas rindu pada Gino. Hujan seakan mampu mendinginkan hatinya yang terbalut rindu. Bintang seakan mampu mengingatkannya pada Gino yang selalu duduk berdua menghabiskan malam di taman belakang rumah. Dan langit biru, seakan mendekatkannya dengan Gino. Semua itu, sulit untuk dijauhi mengingat kerinduan pada Gino, terus saja menghantui. Naya menghela napas panjang yang langsung menarik tatapan Darrel ke arahnya. Tersenyum menyadari ekspresi Naya yang tampak kebingungan, lalu menyentuh kepala bagian atas Naya dan mengusapnya sesaat. Hingga menarik tatapan kaget Naya yang paling tak kuasa menahan degupan jantungnya saat seseorang menyentuh kepalanya.
“Kamu gak bisa kan, sama. Aku juga gak bisa,” tambah Darrel saat mendapati taka da jawaban apa pun yang ke luar dari mulut Naya.
Naya menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, “Apa jika aku menurutinya, kamu bakalan berhenti dari balapan?” Pertanyaan Naya kembali membuat Darrel kaget bukan main. Ada kandungan keseriusan di dalam nadanya.
“Mungkin,” jawab Darrel singkat. Darrel menarik kedua bahunya ke atas, yang seakan mengisyaratkan bahwa mungkin saja dia melakukannya. Atau mungkin juga tidak.
“Kalau begitu, aku berhenti menempelkan foto di diary-ku,” Naya mengarahkan tatapannya ke Darrel yang tampak kaget mendengarnya. “Tapi jangan larang aku untuk duduk di bawah langit biru, menikmati bintang dan hujan ya, Rel. karena hal itu gak bisa turutin.” Naya tersenyum tipis, menatap Darrel yang masih bengong tak percaya denga napa yang dia dengar langsung dari mulut Naya.
Naya mengeluarkan kamera kecilnya. Kamera pemberian sang mama yang selalu ia bwa kemana-mana. Seakan menjadi sahabat terbaik dalam suka dan duka. Menjadi sahabat terbaik di setiap ia melangkah. Naya mengarahkan lensa ke arah dirinya dan Darrel. Menatap Darrel yang langsung dibalas Darrel dengan raut kebingungan.
“Please… ini yang terakhir.” Kalimat Naya berhasil mendesirkan darah hangat di dalam tubuhnya. Permintaan yang membuat Darrel tak bisa menolak. Mengarahkan pandangannya ke lensa dan sebuah suara penanda foto telah berhasil diambil pun terdengar. Naya tersenyum lebar dari langsung meraih hasilnya yang langsung keluar. Melihat foto tersebut dan tersenyum ke arah Darrel.
“Aku akan tepati, kamu juga ya?” tanyanya yang membuat Darrel bungkam seribu bahasa. Darrel masih tidak percaya dengan tekad Naya yang begitu kuat untuk meninggalkan kesukaannya, demi dirinya. Naya tersenyum lebar, persis seperti seorang anak yang sangat lucu. Menggemaskan, hingga membuat Darrel tak kuasa membiarkannya kehilangan senyuman itu dari sosok Naya, jika dia meninggalkan hobby yang bagi Darrel, sangat unik itu. Jarang dia temukan seorang perempuan sepert Naya, dan dia benar-benar tidak ingin kehilangan apa pun yang ada di dalam diri Naya. Satu pun tak boleh.
Angin berdesir pelan namun seakan menusuk tulang terdalam. Membuat Naya beranjak dari tempat duduknya dan mengajak Darrel untuk masuk ke dalam rumah. Darrel yang masih tampak kebingungan, hanya bisa mengikutinya berdiri namun langsung menahan Naya yang bersiap melangkah untuk tetap di hadapannya.
Darrel mengeluarkan diary berwarna biru dari dalam tasnya. Satu benda yang memang ingin dia berikan untuk Naya yang penyuka diary. Naya menatapnya bingung sembari menerima diary cantik itu dari tangan Darrel.
“Aku tidak ingin kamu berhenti menempelkan foto, Nay,” ucap Darrel yang spontan saja membuat Naya kaget bukan main. Darrel tersenyum tulus, mengusap kepala Naya lembut. “Tapi aku akan berjanji untuk berhenti dari dunia balap,” tambah Darrel tampak yakin dengan keputusannya.
“Kamu yakin, Rel?” tanya Naya yang langsung dijawab Darrel dengan anggukan kepala. “Bukannya kamu tadi memintaku untuk meninggalkan hobby-ku agar kamu juga melakukan hal yang sama? Aku benar-benar ikhlas kok kalau aku harus lupain semua ini, foto-foto, diary, aku akan buang jauh-jauh.”
“Aku yakin dengan keputusanku,” potong Darrel. “Lagian bisa jadi, semua foto ini akan kita butuhkan di hari kemudian, benar, kan?” tanya Darrel yang langsung membuat Naya tersenyum lebar sembari mengangguk cepat.
Kalimat Darrel berhasil menarik tatapan haru dari kedua mata Naya. Senyuman pun turut mengembang di bibirnya. Angin yang semula mendinginkan tulang, kini seakan menghangat. Begitu hangat hingga rasanya Naya ingin kembali duduk berdua di bawah langit yang seakan ikut bahagia melihatnya kini tersenyum lebar.