BAB 16

1443 Words
… Adam …   Lihatku di sini … kau buat ku menangis Kuingi menyerah tapi tak menyerah Mencoba lupakan … tapi ku bertahan *Armada – Pemilik Hati*   … 2014 …                 Adam terdiam terpaku saat Naya mengajaknya duduk di sampingnya. Naya yang kala itu kembali menikmati angin malam di taman rumahnya, memang sengaja mengajak Adam duduk di sampingnya yang saat itu hadir tanpa ia minta. Menikmati malam dalam diam … walau sebenarnya jauh di dalam diri Adam, dia sangat ingin bertanya banyak hal tentang kehidupan Naya.                 Naya masih enggan membuka suara saat setetes air jatuh dari langit. Malam itu memang tak ada bintang dan bulan yang biasanya menemani Naya. Langit tampak menunjukkan kemendungan. Angin pun tak seperti biasa. Terasa dingin dan aneh menyentuh kulit. Membuat Naya menyadari bahwa hujan akan turun mala mini, walau ia masih enggan bangkit dari tempatnya duduk saat ini.                 Sesekali ia mendengar desahan tarikan napas Adam yang mungkin saja tak betah jika terus duduk dalam diam. Namun inilah yang sebenarnya disukai Naya. Dia suka ketenangan. Dia suka sangat suka keheningan. Rasanya, hanya hening yang kini mampu menjadi sahabat terbaik. Tak ada lagi warna-warni yang siap menghamburkan kebahagiaan. Hanya ada kegelapan yang seakan masih betah menyelimuti dunianya.                 Adam melirik ke Naya yang masih betah menatap langit. Membiarkan tetes air hujan kembali jatuh menyentuh hidungnya. Tak ada senyuman di bibirnya. Jelas saja, sudah hampir satu tahun belakangan ini senyuman itu menghilang. Dan itu ia ketahui dari Asty yang memintanya untuk membuat Naya kembali tersenyum, walau Adam sama sekali tidak mendengar kisah apa-apa tentang Naya dari Asty.                 “Sudah mau hujan, Nay. Kita masuk ya?” ajak Adam mencoba memberanikn diri untuk memecah kesunyian.                 “Aku suka hujan.” Jawaban singkat Naya yang tanpa menatap ke arahnya.                 “Tapi kamu bisa sakit.”                 “Sejak setahun yang lalu aku ingin sakit, tapi tak pernah mendapatkannya. Sengaja membiarkan rasa lapar mengikatku agar maag kambuh, sengaja tak tidur malam agar bisa drop dan masuk rumah sakit. Dan sengaja mandi hujan biar demam dan harus dibawa ke rumah sakit. Tapi semua usahaku tak pernah mendapatkan hasil yang aku inginkan. Allah seakan punya banyak cara untuk membuatku tetap sehat sampai sekarang.”                 “Ya … baguskan kalau tetap sehat. Jadi kamu bisa ngelakuin apa pun yang kamu inginkan,” jawab Adam yang membuat kedua mata Naya terbuka. “Bisa foto semua objek, bisa nemepelin hasil foto kamu di diary. Bisa nulis kata demi kata. Bisa main computer. Jalan-jalan dan ….”                 “Dan melihat kenyataan bahwa aku tak mendapatkan apa yang aku pinta?” potong Naya yang membuat Adam bungkam. Satu kalimat Naya yang mendesirkan kesedihan di hatinya. Ditambah lagi kedua mata teduh Naya yang terarah padanya, begitu menunjukkan bahwa saat ini … ia benar-benar lemah. Naya kembali menutup kedua mata. Menikmati rintikan hujan yang semakin lama semakin deras menimpa tubuhnya. Adam yang tidak ingin Naya kehujanan, langsung membuka kedua tangannya dan melindungi kepala Naya agar tak kena hujan.                 Naya yang merasakan rintikan hujan tak lagi menyentuh kepalanya, langsung kembali membuka mata. Mengarahkan tatapannya ke atas kepala yang terdapat kedua tangan Adam di sana. Naya menarik tatapannya ke Adam yang saat itu berusaha menepis hujan di wajahnya yang hampir menyakiti kedua matanya.                 Ada rasa haru yang menyeruak di dadanya. Ada rasa kaget yang hadir tanpa jeda melihat sikap Adam yang seakan mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang seharusnya sudah ia lupakan akibat satu kalimat yang menyakitinya. Satu lelaki yang tak pernah menghargai perasaannya yang kini entah kemana. Menghilang tanpa jejak. Pergi tanpa kabar berita.                 Naya tersenyum tipis. Mengusap wajah Adam yang mulai dibanjiri air hujan dan kembali tersenyum lebar. Adam yang menerima sikap Naya saat itu, terbelalak tak percaya. Seorang Naya yang selama ini menjaga jarak dengannya. Seorang Naya yang selama ini tak peduli perjuangannya, kini seakan memberikan kemudahan baginya untuk terus berjalan menarik hatinya.                 “Kamu tidak perlu menghalangi air hujan jatuh membasahi kepalaku, Dam.”                 Adam tersenyum walau masih berusaha menepis air hujan yang kembali membanjiri wajahnya, “Aku hanya tidak ingin kamu sakit, Nay. Karena aku … sudah berjanji untuk selalu melindungimu dari apa pun.”                 Satu kalimat yang lagi dan lagi berhasil melesatkan ingatan Naya pada seseorang. Seseorang yang masih hadir di setiap sunyinya. Seseorang yang masih ia simpan jauh di dasar hatinya akan cinta. Dan rasanya sekuat apa pun ia mencoba melupakannya, waktu seakan tak mengabulkan keinginannya. Waktu terus saja menyatukannya dengan sosok itu. secara tak langsung maupun langsung.                 “Nay, kita masuk yuk?” ajak Adam yang membuat Naya mengangguk pelan. Bangkit dari tempat duduk yang sudah basah dihujani air dari langit. Dan melangkah bersama-sama menuju rumah. Memilih duduk di teras walau pakaian basah kuyub dan mengadirkan hawa dingin menusuk tulang.                 “Kamu ganti baju dulu, Nay.”                 Naya menggelengkan kepalanya. Tangan kanannya terulur ke depan, mencoba merasakan hujan yang jatuh memasahi telapak tangannya sembari duduk di pinggir lantai teras rumah. Adam melirik ke Naya yang duduk di sampingnya. menikmati lekuk wajah Naya yang semakin lama dilihat, tampak semakin manis. Tanpa sepengetahuan keduanya, Asty mengintip dari balik pintu. Menyaksikan kedekatan sang anak dengan lelaki yang ia pertemukan dengan raut kesedihan. Berharap Naya akan membuka sedikit pintu hatinya untuk Adam yang sangat baik sampai saat ini.                 Naya menghela napas panjang. Mengalihkan tatapan ke Adam yang langsung membuat lelaki tampan dengan rambut cepaknya itu menarik pandangannya ke arah lain. Takut jika Naya menyadari bahwa sejak tadi ia asyik menikmati wajah Naya yang kini berhasil mendesirkan rasa di hatinya yang terdalam.                 “Adam …,” panggilnya yang membuat Adam kembali menatapnya. “Pulanglah. Aku ingin sendiri.”                 Adam terdiam. Harapannya akan kalimat cinta dari Naya mala mini, lenyap seketika terbawa angin dingin. Menatap Naya yang masih mengarahkan tatapannya ke dirinya dengan senyuman tergaris di bibirnya yang tipis. Ada kepiluan di kedua matanya yang masih belum lenyap sejak Adam mengenalnya. Ada rahasia yang ia pendam sendiri dan enggan siapapun untuk mengetahuinya. Rasanya, ia ingin memeluk Naya dan mencoba meyakinkannya bahwa dia akan melakukan segala cara untuk mengobati luka di hati Naya. Menuntun Naya menyambut kebahagiaan yang selama ini ia paksakan pergi dari benteng tinggi yang ia bangun.                 Adam menghela napas panjang. Menatap rintikan hujan sesaat, lalu kembali mengarahkan tatapannya ke Naya yang masih betah melihatnya. Naya kembali memintanya pulang dengan isyarat kepala. Bibirnya pun mengucapkan kata pergi tanpa terdengar suara yang keluar. Adam sendiri menyadari posisinya yang masih belum bisa memenangkan hati Naya. Perlahan, ia bangkit dan pergi menembus hujan mendekati mobilnya. Naya memerhatikan setiap langkah Adam yang pergi tanpa pamit seperti biasa. Berhenti sesaat sebelum membuka pintu mobil, dan menatap Naya yang kini menepiskan senyumannya di bibir. Masuk ke dalam mobil dan menatap Naya kembali dari dalam. Mencoba memahami waktu yang masih belum seirama dengannya. Menghidupkan mesin mobil dan menggerakkannya perlahan keluar dan pergi dari pekarangan rumah Naya.                 Asty menelan ludahnya. Menghela napas panjang lalu memutuskan untuk keluar. Mendekati sang putri yang masih duduk bersila sembari menampung hujan. Duduk di sampingnya yang membuat Naya mengarahkan tatapannya sesaat ke Asty, lalu kembali menatap hujan. Dengan perharapan bahwa hujan mampu menepis segala kerinduan yang kini kembali mendera.                 “Harus sampai kapan kamu gantungi Adam, Nay?”                 “Naya gak merasa gantungi Adam, Ma.”                 “Tapi sikap kamu selama ini ke Adam, terasa nyakitin buat Adam.”                 Naya mengarahkan tatapan ke Asty. Mengubah posisi duduknya dengan mengahadap wanita yang telah berjuang mati-matian untuknya. Walau semua itu ia lakukan sebagai penebusan dosa karena telah mengubah dunia bahagia Naya, menjadi bak neraka.                 “Naya udah sering bilang sama Adam buat lupain Naya, tapi dia gak mau.” Naya tetap tenang walau ada kilatan emosi di kedua matanya. “Apa mama masih ngerasa Naya gantungi Adam?”                 “Ya minimal, kamu cobalah berpacaran sama dia. Adam anak baik, Nay.”                 Naya tertawa lucu mendengar kalimat sang mama. Kata coba yang diselipkan Asty, berhasil menarik emosi Naya hingga melesat sampai ke puncak. Menatap Asty dengan tatapan penuh amarah walau bibirnya membentuk segaris senyuman yang teras menyakitkan untuk diterima Asty.                 “Cinta bukan coba-coba, Ma.”                 “Tapi gak ada salahnya juga kan?”                 “Ma!” seru Naya. “Sekarang Naya tanya sama mama, apa bisa mama coba balik ke ayah setelah semua yang pernah terjadi?!”                 Bungkam. Tampak jelas raut kekagetan menyeruak di wajah Asty mendengar kalimat Naya. Kedua matanya membuka lebar mengarah ke Naya yang masih menanti jawaban. Gemuruh terdengar nyaring di telinga, membuat Naya yang cukup takut petir, langsung kaget bukan main. Menutup kedua telinganya yang langsung membuat Asty memeluknya erat.                 “Maafkan mama, Nay. Maafkan mama.” Terdengar isakan Asty yang membuat Naya memeluknya erat. Terasa kenyamanan dari pelukan seorang ibu ketika itu. kenyamanan yang selama ini dipungkiri Naya hampir sebelas tahun. Semua kembali terasa, walau rasa sakit masih membayanginya.                 “Naya mencintainya, Ma. Naya mencintai Darrel. Bukan Adam,” ucap Naya yang membuat Asty menggelengkan kepala sembari mempererat pelukannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD