BAB 17

1764 Words
… Ayra dan Tarra …     … 2012 …                             Seperti biasa, Ayra tetap saja sendirian saat jadwal kuliah pagi harus ia jalani. Berulang kali ia melihat ke bangku kosong yang sering dijadikan Tarra tempatnya duduk. Sang pemilik masih belum tampak dan hal itu membuat Ayra menghela napas panjang. Ada sesak di dadanya yang membuatnya harus mengatakan pada Tarra saat ini juga. Rasanya, sudah cukup baginya untuk menyimpan rapat-rapat semua rahasia masa kelamnya. Dia tidak ingin menanggung semuanya sendirian lagi. rasanya, sudah saatnya ia bercerita. Walau tanpa ia bisa memberikan alasan, kenapa harus Tarra orangnya.                 Pintu kelas terbuka. Harapan akan sosok Tarra yang hadir dan menyapanya, sirna saat suara cempreng Chika menyapanya. Melangkah mendekatinya dan melihat Ayra yang hanya sekedar tersenyum menyapanya.                 “Neng, ada masalah?” Pertanyaan Chika yang langsung disambut Ayra dengan gelengan kepala, bukannya membuat wanta berwajah tirus itu diam, malah duduk di samping Ayra dan terus menatapnya. Berharap akan dapat jawaban pasti, namun Ayra masih tetap diam tanpa membalas tatapannya.                 “Cerita atuh, Neng. Ada apa?”                 Ayra menghela napas, mengarahkan tatapan ke Chika yang masih duduk di sampingnya dan menatapnya penasaran. Mungkin sebagian orang yang mengenal Chika, bakalan menganggap dia tak pernah serius akibat sikapnya yang selalu melawak tanpa henti. Dan mungkin banyak juga yang bilang Chika tak pernah mengerti perasaan orang lain hanya karena sikapnya yang cuek sama siapapun dan masalah apa pun. Chika selalu saja menganggap semua masalah yang terjadi bak sebuah debu yang bisa ditiup dan menghilang.                 Namun, andai semua orang bisa melihatnya lebih dekat, Chika bukanlah tipikal orang yang seperti itu. di balik sikapnya yang lucu dan cuek, Chika adalah wanita yang peduli bahkan lebih peduli dari Ayra. Dalam diam, dia mencoba mengamati dan mencari cara terbaik untuk menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi. Beberapa saran darinyalah yang terkadang mampu menguatkannya dari semua tusukan di kedua kaki. Dan Chika jugalah yang menjadi saksi atas peristiwa beberapa tahun yang lalu. satu peristiwa yang membuat Ayra sempat menjauh dari hiruk pikuk keramaian yang membuatnya kebingungan dan hilang arah. Ya, sejujurnya Ayra membenci keramaian. Dia bisa sesak napas setiap kali orang-orang menghimpitnya. Namun semua itu, tak banyak yang tahu.                 “Kemarin Tarra menolongku di atap gedung.”                 “Kau mencoba bunuh diri lagi?!” Ayra mengangguk pelan yang membuat Chika geleng-geleng kepala. “Ay, harus berapa kali lagi kubilang, bunuh diri itu dosa!!!”                 “Tapi aku lelah, Chi. Aku capek jika harus nahan semuanya lebih lama. Bahkan melihat wajah mama yang setiap hari selalu di dekatku, aku ngerasa ingin cepat-cepat meluapkan emosi yang sejak dulu kupendam!”                 Chika mengerti perasaan sahabatnya yang satu itu. Ayra memang sudah terlalu lelah menghadapi semuanya seornag diri. Harus berhadapan dengan seseorang yang secara tidak langsung menjadi penyebab dunia gelap menimpanya, bukanlah hal yang mudah bagi Ayra. Karena sikap sang mamalah, ia harus rela menghadapi celaan demi celaan yang terus menghantui hingga ia tamat dari SMP. Dan itu bukan perkara mudah. Jika saja Chika tidak da di hidupnya, mungkin sudah sejak dulu Ayra pergi menyusul orang yang ia sayangi sepenuh hati.                 “Jadi sekarang maunya gimana?” Chika kehabisan akal. Dia takut salah memberikan pendapat tentang masalah Ayra yang sejak dulu tak pernah berubah.                 “Apa aku salah kalau … aku menceritakan segalanya pada Tarra?”                 “Ay, apa kau yakin Tarra bisa nerima keadaanmu yang tidak lengkap?”                 Ayra tersenyum kecut. Kondisi rumah yang tak sesempurna rumah lainnya, emang selalu menjadi satu alasan Ayra untuk memilih-milih teman. Dia tak ingin situasi tak mengenakan yang dulu pernah ia rasakan, terulang kembali. Ledeka demi ledekan bahkan seakan semua orang memusuhinya hanya karena satu hal yang bukan ia lakukan, rasanya tak ingin ia dapatkan lagi. namun semuanya tak mungkin ia pendam mengingat kemarin Tarra memintanya untuk bercerita.                 “Biar gimana pun, orang yang aku cintai harus tahu keadaan yang sebenarnya, Chi.”                 “Apa kau yakin Tarra juga mencintaimu?” Pertanyaan Chika yang membuat Ayra menunduk ragu. “Bisa saja Tarra mendekatimu hanya karena sesuatu. Dan sialnya, kau menceritakan keluargamu yang broken home. Kau yakin?”                 Ayra menghela napas panjang. Kebingungan seketika melandanya. Jauh di dasar hati yang terdalam, ia meyakini Tarra bukanlah lelaki seperti itu. dia lelaki yang baik dan mampu menjaga rahasia. Dari kedua matanya, terlihat jelas sekelebat kejadian ia kunci rapat-rapat setiap Ayra membahas mengenai kehilangan. Namun di sisi lainnya, Ayra seakan membenarkan kalimat Chika. Dia takut jika harus salah langkah dan mengakibatkan semuanya lenyap tanpa sisa berganti kepiluan.                 “Tapi, gak ada salahnya juga sih.” Chika melanjutkan kalimatnya. “Kayaknya tuh anak baik. Aku aja yang terlalu mendramatisir. Aku Cuma takut kamu mengalami hal seperti dulu, Ay. Lagian, gak ada salahnya ngucapin makasih atas pertolongannya kemarin kan?”                 Ayra mengangkat kepalanya dan menatap Chika yang kini tersenyum ke arahnya. Menarik tubuhnya untuk masuk ke pelukannya yang selalu Ayra rindukan setiapmaslah hadir tanpa henti. Kalimatnya menjadi obat penenang. Walau sebenarnya Ayra sendiri meyakini, tak aka nada obat untuk hatinya selain kehadiran seseorang yang tak mungkin ia rengkuh kembali.                 Tarra tetap menatap ke arah yang sama setelah kedua kakinya terhenti dan mendapati Ayra berada di hadapannya. Menatapnya teduh walau masih jelas tersirat di garis-garis wajahnya warna kesedihan walau sudah satu hari berlalu pasca kejadian di atap gedung. Senyuman yang tergaris di bibir Ayra pun masih terkesan dipaksakan. Tak setulus biasanya, tak semanis biasanya.                 Ada luka yang jauh tersimpan di relung hatinya. Luka yang tak terobati dan luka yang menyakitkan jika hadir tanpa bisa disembuhkan. Ingin rasanya Tarra mengetahui segenggam luka itu, mencoba membantunya mengobati walau ia akui, tak semudah seperti yang ia ucapkan. Luka di hatinya saja hingga sekarang tak mampu ia obati. Bagaimana bisa ia mampu mengobati luka di hati Ayra yang begitu terasa menyakitkan hanya dari raut wajah dan tatapannya.                 Hingga beberapa menit, keduanya masih saling bertatapan di tempat parkir. Beberapa mahasiswa yang lalu lalang, seakan hanya angin lalu yang begitu cepat menepis keduanya. Sampai akhirnya, Ayra kembali melangkah mendekati. Berhenti tepat di hadapan Tarra dengan jarak beberapa langkah saja lalu kembali mencoba mengurai sneyuman.                 “Aku butuh sandaran, apa kamu bisa hari ini menjadi dinding untukku bersandar, Tarra?” Ucapan Ayra sejujurnya membuat Tarra lega. Sejak kemarin ia ingin menjadi hal terpenting untuknya, walau sebenarnya semua sikapnya kali ini, akan menyakitkan untuk diterima Airin jika ia mengetahuinya. Kampus yang berbeda memang membuat Tarra lebih leluasa untuk berdekatan dengan siapa saja, termasuk Ayra tanpa harus memikirkan perasaan Airin.                 Sesungguhnya sejak dulu lebih tepatnya semenjak memutuskan untuk berpacaran dengannya, Tarra memang mengunci dirinya untuk mendekati wanita lain. Namun saat Ayra hadir dan menyapanya, semua menghilang. Kemiripan Ayra dengan seseorang terdahulu, membuatnya enggan melepaskannya dan membiarkannya menjauh. Bahkan apa pun akan ia lakukan walau tanpa sepengetahuan Ayra.                 Atap gedung menjadi satu-satunya tempat untuk melepaskan penat. Duduk berdua dengan Ayra seakan menjadi waktu yang menyenangkan bagi Tarra saat itu. Angin hari ini bersahabat walau tak sehangat biasanya. Mentari seakan masih enggan menerikkan sinarnya. Begitu meneduhkan hingga Tarra dan Ayra betah berlama-lama di sini saat jarum jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi.                 Dalam diam, Ayra memiringkan kepalanya dan membiarkannya bersandar di bahu Tarra. Menatap lurus ke depan, tepat ke beberapa meja rongsokan yang usang. Belakang punggungnya sengaja ia tempelkan di dinding pinggir pembatas atap. Menikmati ketenangan sekaligus kenyamanan yang hadir saat Tarra berada di dekatnya.                 “Tarra, kamu tahu kenapa aku selalu menyukai langit?” Suara Ayra membuat Tarra lega bukan main. Suara lembut itu akhirnya memecah kesunyian dan kebekuan antara keduanya.                 “Karena kamu suka warna biru?”                 Ayra menggelengkan kepala sembari menegakkannya kembali, “Itu bukan alasannya.” Ayra menghela napas panjang lalu mengarahkan wajah ke langit. “Karena aku merasa lebih dekat dengan seseorang di sana.”                 Tarra terdiam. Kalimat Ayra seakan menusuk hatinya yang juga selalu merindukan seseorang yang kini sulit ia gapai. Bahkan tak mungkin lagi mampu ia gapai dan peluk erat. Seseorang yang dengan tega meninggalkannya tanpa memikirkan perasaannya. Walau sebenarnya Tarra menyadari, ini seutuhnya bukan salahnya.                 “Aku kehilangan seseorang saat aku masih SMP. Seseorang yang selalu menjagaku lebih dari dirinya sendiri. Seseorang yang membiarkan waktu remajanya hilang hanya untuk bersamaku. Dan seseorang yang menyayangiku lebih dari apa pun.” Air mata Ayra menetes walau senyuman kini mengembang di bibirnya. “Dia pergi tanpa berpamitan denganku. Dan kepergiannya seakan menjadi satu dasar kebahagiaan yang selalu menyelimutiku, lenyap tanpa sisa.” Ayra menghapus air matanya dan mengarahkan tatapan ke Tarra yang masih menatapnya dalam kebungkaman. “Mungkin kamu tidak pernah merasakan sakitnya di posisiku, Tarra. Aku berharap kamu tidak akan pernah merasakannya.”                 Tarra tersenyum kecut. Menghela napas panjang lalu tertawa kecil seakan terkesan meremehkan ucapan Ayra, “Lima tahun lalu, aku merasakannya, Ay.”                 Raut kaget hadir begitu nyata di wajah Ayra. Tak pernah ia sangka sebelumnya kalau ia akan bertemu dengan seseorang yang juga pernah mengalami hal seperti dirinya. Kehilangan yang memilukan hingga membuat seluruh dunianya berubah drastis. Tarra mengarahkan tatapannya ke Ayra yang kini gantian menatapnya kaget.                 “Aku kehilangan seseorang saat aku benar-benar menyadari arti dari cinta. Dia pergi dan mengingkari semua janjinya untuk tetap bersamaku. Dia pergi tanpa ingat kembali.”                 “Karena apa?”                 Tarra mencoba menguatkan dirinya sendiri. Berulang kali ia menghela napas panjang lalu tersenyum lebar. Rasa sakit itu ternyata masih terasa jelas di hatinya. Selama ini, ia berusaha mengubur jauh bahkan melupakannya. Namun ternyata ia salah, semua itu tak bisa hilang walau beberapa orang hadir dengan berbagai kisah di hidup Tarra.                 “Kanker.” Jawaban singkat Tarra membuat Ayra menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Tak percaya. Penyakit yang memang mengerikan itu bisa merampas kebahagiaan seorang Tarra. Membuatnya terluka hingga sulit diobati. Walau selama ini Tarra seakan mampu menyembunyikan segalanya di hadapannya.                 “Aku selalu mendengar kalimatnya yang mengatakan kalau ia mampu kuat saat aku berada di dekatnya. Dia tidak pernah mengeluh saat di hadapanku. Dan aku menganggap dia baik-baik saja. Sampai akhirnya …,” Tarra menggantung kalimatnya. Menarik napas panjang dan kembali tersenyum saat mengarahkan tatapan ke Ayra. Tampak kedua matanya menebal karena air mata. “Waktu mengambilnya dari dekapanku.”                 Ayra menghela napas panjang. Mengusap punggung Tarra sesaat lalu kembali menatap ke langit yang luas, “Apa kita harus menyalahkan waktu? Langit? Atau … Tuhan?”                 Tarra menggelengkan kepalanya pelan, “Bukan, ini bukan salah siapa-siapa. Takdirlah yang memang sudah saatnya hadir menyentuh hidup kita, Ay. Orang-orang yang kita cintai telah berjanji sama Sang Maha Pencipta saat ia dilahirkan, kalau ia akan kembali pada-NYA tanpa bisa dihindari. Walau mereka harus meninggalkan semua orang yang menyayanginya.”                 Ayra terdiam. Menundukkan kepala mencoba menahan air mata yang siap kapan saja keluar tanpa bisa ia tahankan. Tarra sendiri berusaha sekuat tenaga untuk tetap tegar agar Ayra tidak semakin sedih hanya karena melihatnya begitu terpuruk dalam masalahnya.                 “Siapa yang pergi meninggalkanmu itu, Ay?”                 Ayra mengangkat kepalanya bersamaan dengan air mata melesat membasahi pipi kanannya, “Abangku.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD