BAB 18

1536 Words
… Koma …   … 2015 …   Ajakan kembali melesat tajam membelah jalanan sunyi, akhirnya diterima Darrel kembali saat mengetahui bahwa Asty membutuhkan uang lebih untuk membiayai pengobatan Naya di rumah sakit. Pengeluaran untuk biaya pengobatan yang cukup besar, sudah membuat Asty harus merelakan segala yang ia miliki untuk dijual hingga membuatnya menetap di rumah kecil pemberian sang ayah dulu sebelum beliau meninggal.                 Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Bahkan Asty sendiri harus memikirkannya terus menerus walau sebenarnya saat ini tak ada lagi uang simpanan yang ia miliki. Tawaran dari Rianto yang mencoba menghubunginya berulang kali, ia tolak mentah-mentah akibat sekelebat kisah pahit yang hadir saat menatapnya. Darrel sendiri tak bisa memaksakan keinginan Asty untuk menolak bantuan itu. bagaimanapun, semua itu memang menyakitkan. Mendapati orang yang sangat ia cintai, merampas hal paling berharga dalam hidupnya.                 Darrel yang sudah duduk di atas motor, menatap pilu ke arah tasbih yang sudah ia susun kembali setelah putus tanpa sebab. Satu firasat aneh yang sempat ia rasakan bertepatan dengan kecelakaan yang menimpa Naya. Satu benda yang selalu dikatakan Naya sebagai pelindung. Satu benda yang diukir Naya sendiri dengan setulus hati dan kini kembali ia satukan membentuk tasbih seperti semula.                 “Maafkan aku, Nay.” Lirih terdengar suara Darrel saat itu. Mencium tasbih di tangannya dan memasukkannya ke dalam saku celana.                 Dia sendiri menyadari, andai Naya mengetahui bahwa ia kembali menyentuh dunia balapan, bisa dipastikan ia akan marah besar. Namun, keadaan membelitnya. Ia tidak ingin Naya pergi tanpa melihatnya lagi. Dia tidak ingin merasakan kepahitan itu lagi. Tidak. Semua itu dia tidak ingin lagi terjadi.                 Pukulan pelan di bahu kanannya, berhasil membuyarkan bayangan Darrel mengenai sosok wanita yang ia harapkan hadirnya itu. melesatkan tatapan ke sosok lelaki bertubuh kurus dengan topi yang tak pernah lepas menutupi kepalanya. Tersenyum sekedar menghargai, lalu kembali menatap lurus ke tasbih yang masih ia genggam erat.                 Vino menarik tatapannya ke tasbih yang ia tahu bahwa itu pemberian Naya. Menepuk-nepuk pundak Darrel seakan mencoba menguatkan sahabatnya itu. menghela napas panjang lalu, sesaat melambaikan tangannya ke seseorang yang menyerukan namanya di belakang Darrel. Dan kembali menatap Darrel yang masih pilu membayangkan Naya.                 “Kalau memang berat, jangan lakukan, Rel. biar kita aja yang tanding, entar uangnya buat pengobatan Naya.”                 Darrel menggelengkan kepala sembari tersenyum tipis, “Biar aku aja. Aku ingin Naya sembuh karena ada usahaku di dalamnya.”                 “Tapi ….” Kalimat Vino terhenti saat tatapannya menangkap sosok seorang wanita berpakaian gaun selutut berwarna merah menyala. Jaket hitam kulit yang ia pakai, membuatnya terhindar dari udara dingin malam ini. menatap Vino dengan tatapan menyedihkan, seakan ingin mengatakan bahwa ia tersakiti karena seseorang yang begitu ia cintai.                 Vino kembali memukup pelan bahu Darrel, membisikkan sesuatu di telinganya yang langsung menarik tatapan Darrel untuk tertuju ke satu objek yang dimaksud Vino. Menatap kaget, lalu berusaha tersenyum walau sebenarnya perasaan tak enak hadir di hatinya. Vino yang merasa suasana tak lagi bersahabat, memutuskan untuk pergi setelah berpamitan pada Darrel. Wanita itu mendekat perlahan, berhenti tepat di hadapan Darrel yang masih duduk di atas motornya lalu melayangkan tamparan ke pipi kanan Darrel yang membuatnya terdiam. Air mata melesat dari kedua matanya yang indah. Kedua mata yang berhasil ditepis dengan keteduhan mata Naya.                 “Jangan lakukan ini!”                 Darrel mengurai senyuman. Wanita yang kini ia lupakan itu, hadir di hadapannya. Darrel sendiri sadar bahwa sikapnya kelewatan. Memintanya menjadi pacarnya untuk sekedar melupakan sosok yang dulu pernah hadir. Namun kini, semua kembali seperti sediakala. Dia bukan lagi yang terpenting untuknya saat Darrel baru beberapa hari membuka mata dari keadaan koma.                 “Apa ini semua demi Naya?” tanyanya yang langsung membuat Darrel tersenyum miris. “Apa kamu begitu mencintainya hingga melakukan apa pun untuknya?”                 “Airin, maaf.”                 “Aku gak ingin dengar maaf darimu. Aku hanya ingin mengingatkan, bahwa Naya sendiri mungkin tidak akan suka dengan keputusanmu mengikuti balapan ini!”                 “Ini jalan terakhir, dan aku harus mengikutinya.”                 Airin membuang tatapannya ke arah lain. Mencoba menyembunyikan air mata yang berhasil kembali melesat melemahkannya, “Percuma saja, kamu tidak akan pernah mau mendengarkanku.”                 “Maaf, Ai.”                 “Seharusnya dari dulu aku sadar, bahwa posisiku hanya sebagai pengganti Dinda. Bukan karena hatimu yang memilihku.” Lirih terdengar suara Airin ketika itu. Darrel menundukkan kepalanya. Tak mampu sepatah katapun keluar dari mulutnya untuk sekedar membalas kalimat Airin.                 Kematian Dinda memang menjadi satu pukulan keras baginya. Darrel sempat kehilangan arah, bahkan hampir kehilangan nyawa andai saja Airin tak hadir tepat waktu. Menolongnya dengan mencoba menghubungi rumah sakit terdengar untuk meminta mobil ambulance, dan menantinya sampai akhirnya Darrel kembali tersadar setelah setengah tahun koma.                 Semua itu demi balas budi. Dan semua itu demi mencoba menghapus bayangan Dinda dari hatinya. Darrel menerima Airin yang kala itu mengungkapkan kata cinta padaya hanya karena dua alasan yang masih ia sembunyikan dari siapapun. Sampai akhirnya Airin mengetahuinya saat ia tersadar dari koma untuk kedua kalinya.                 “Semoga berhasil ya.” Airin membalikkan tubuhnya membelakangi Darrel saat kalimat itu selesai ia ucapkan. Menangis pilu lalu melangkah meninggalkan Darrel sendirian. Memasuki mobil yang terparkir tidak jauh dari arena balap lalu pergi dengan mobil tanpa berniat membuka kaca untuk sekedar melihat Darrel yang masih melihatnya.                 Darrel mulai bersiap-siap. Memakai helmnya dan mulai menghidupkan mesin motor. Menatap lurus ke satu orang yang berdiri di hadapan para pengemudi motor yang sudah bersiap-siap melesat tajam membelah malam gelap dan sunyi. Sementara itu di rumah sakit, Airin melangkah memasuki kamar tempat Naya dirawat. Menatap wanita yang masih terbaring lemah beberapa detik, lalu mengarahkan tatapannya ke tasbih yang sama seperti yang selama ini dilihatnya saat bersama Darrel di tangan kanan Naya. Tasbih bertuliskan nama Naya sedangkan tasbih bernamakan Darrel, selalu lelaki itu bawa kemanapun ia pergi.                 Airin melangkah mendekati dan memerhatikan tasbih itu tanpa berniat meraihnya. Mencoba menahan air mata saat kenyataan kini hadir menyakiti dirinya. Kenyataan yang selalu ini sulit untuk ia dapatkan dari Darrel yang terkenal mampu menyembunyikan segalanya.                 “Apa kamu masih mau seperti ini? apa kamu tahu, saat ini Darrel sedang mempertaruhkan nyawanya demi kamu!” ucapnya dengan setetes air mata melesat membasahi pipinya.                 Sementara itu, lemparan kain penanda lomba di mulai, tampak terlepas dari genggaman seorang wanita di hadapannya. Darrel yang semula masih memain-mainkan gas motornya, kini mulai mengendarai motornya melesat secepat mungkin mengalahkan segalanya.                 “Dia kembali balapan, Nay. Dan semua ini demi kamu. Demi bisa membiayai pengobatan kamu!” ucap Airin lagi yang tampak memilukan dengan air mata yang terus jatuh.                 Darrel menatap tajam ke jalanan di hadapannya. Beberapa pengendara berhasil ia lewati. Berulang kali ia menyebutkan nama Naya di dalam hatinya. Berharap Naya mendengar, berharap Naya mendoakannya dalam ruang ketidaksadaran.                 “Mau sampai kapan kamu nyusahin hidup Darrel terus, Nay!!” Ucapan Airin berhasil menarik napas Naya yang semula normal, kini seakan memburu hebat. Tangan kanannya langsung terkepal hingga menggenggam erat tasbih di telapak tangannya. Airin yang masih belum puas, terus mengeluarkan kalimat-kalimat menyakitkan untuk Naya.                 “Aku mencintainya. Seharusnya kamu sudah bersama orang lain. Tapi lagi-lagi kamu membebaninya dengan semua hal ini!! Kamu membuat Darrel memutuskan hubungannya denganku, Nay!!!”                 Darrel berusaha mengalahkan satu pengendara motor yang masih berada di depannya. Garis finish sudah dapat ia lihat. Dia tidak ingin kalah. Uang yang ia dapatkan, akan membantu membiayai pengobatan Naya walau tak seutuhnya bisa membantu hingga Naya keluar dari rumah sakit dalam keadaan baik-baik saja.                 “Kenapa kamu gak sadar juga, Nay. Ayo sadar! Larang Darrel balapan. Aku gak bisa melarangnya, Nay. Cuma kamu!! Ini semua karena kamu, Nay, dan kamu harus bertanggung jawab!!!”                 Pintu kamar terbuka dan Asty masuk ke dalam. Perasaan kaget hadir di dirinya saat menyadari suara pendeteksi jantung tak seirama seperti biasanya. Tatapannya yang tertuju ke Naya pun semakin membuatnya panik saat Naya seakan seperti mencari-cari udara  dengan terus bernapas panjang. Airin yang menyadari kedatangan Asty, langsung mundur beberapa langkah ketika mendengar bentakan Asty melesat padanya. Berulang kali Asty menekan tombol pemanggil suster. Berharap suster ataupun dokter bisa hadir tepat waktu dan menolong Naya keluar dari masa kritisnya.                 “Apa yang kamu lakukan!!!” bentak Asty yang membuat Airin ketakutan.                 Beberapa orang suster dan seorang dokter hadir ke dalam ruangan. Melakukan pertolongan pertama yang mampu membawa Naya kembali ke dalam kondisi normal. Salah saorang suster meminta Asty dan Airin keluar dan membiarkan dokter melakukan tugasnya.                 Sementara itu, Darrel melesat tajam mengalahkan pesaing terakhirnya. Dan dalam waktu beberapa detik, garis finish mampu ia lewati. Suara seruan para penonton begitu meriah ia dengarkan hingga ia menghentikan laju motornya. Mengucap syukur berulang kali dan menyebut nama Naya sembari mengeluarkan tasbih dari saku jaketnya dan menciumnya berulang kali. ***                 Darrel yang langsung hadir di rumah sakit, menghentikan langkah bahagianya saat melihat Asty menangis pilu di luar kamar tempat Naya dirawat. Seorang dokter yang semula berbicara dengan Asty, mengarahkan tatapannya ke Darrel yang melangkah pelan dengan keadaan yang kacau. Bayangan kepahitan melesat dan berganti di kepalanya. Kedua matanya juga sempat terarah ke Airin yang bersandar dengan ekspresi menyesal.                 Darrel menghentikan langkahnya di samping Asty sesaat setelah dokter pergi dari hadapan Asty. Dengan perlahan, ia sentuh bahu Asty yang membuatnya membalikkan tubuh mengarah ke Darrel dan kembali menangis saat mendapati sosok lelaki yang dicintai sang anak hadir di dekatnya. Amplop cokelat di tangan Darrel terlepas dan langsung memeluk Asty yang tampak melemah. Menangis di pelukannya tanpa bisa berkata sepatah kata pun lagi saat itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD