BAB 14

1460 Words
… Naya …   Takkan selamanya … tanganku mendekapmu Takkan selamanya … raga ini menjagamu *Peterpan – Tak Ada Yang Abadi*   … 2003 …                 Seorang anak berusia tiga belas tahun berlari-lari kecil memasuki rumah. Seragam SMP yang ia kenakan, tampak kotor di bagian lengan. Menangis tersedu-sedu hingga akhirnya menjatuhkan tubuhnya di atas sofa tepat di ruang tv. Isakannya menggema ke seluruh ruangan hingga berhasil menarik minat cowok berambut cepak yang sedari tadi duduk di ruang makan sembari melahap masakan sang ibu, berhenti menikmati makan siangnya. Beranjak dari tempat duduk dan masuk ke ruang tv yang masih ada anak perempuan di sana.                 Tanpa berkata apa-apa, ia duduk di sampingnya. Menatap ke seluruh tubuh gadis itu dengan kaget saat mendapati kedua lututnya berdarah. Dengan sikap panik, ia berteriak memanggil sang mama hingga membuat wanita berambut pendek sebahu, keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Kamar yang tak terlalu jauh dari ruang tv, membuatnya bisa melesat lebih cepat dari perkiraan. Berlutut di hadapan anak gadisnya sembari memeriksa keadaan lutut sang anak setelah mendengar pengaduan dari anak laki-lakinya.                 “Bimo jahat, Ma!” isaknya yang membuat sang mama memeluk erat. Berteriak memanggil seorang wanita yang bekerja hampir lima tahun bersamanya, lalu memintanya mengambil kain dan air hangat saat ia tiba di dekatnya.                 “Memangnya diapain lagi?!” Suara anak laki-laki di sampingnya, terdengar mengandung kemarahan. Sejak kecil, selalu nama itu yang hadir mempermainkan emosinya. Selalu saja nama itu yang membuat sang adik menangis sepulang sekolah. Seakan anak laki-laki sebaya sang adik itu tak pernah membiarkannya tenang walau sehari.                 Bimo jugalah  yang membuatnya terpaksa harus berada di sekolah yang sama agar bisa menjaga sang adik. Sekolah yang memang menyediakan tingkatan sekolah di mulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, SMP hingga SMA itu membuatnya lebih mudah menetap untuk sekedar menjaga sang adik. Namun, jadwal pulang yang memang lebih dulu dirinyalah, yang membuatnya tak bisa menjaga sang adik seperti biasa. Gino masuk pagi sedangkan Naya yang masih SMP, ternyata harus terpisah dengan jadwal sekolah yang masuk siang. Hal itulah yang membuat Gino tak bisa menjaga sang adik seperti dulu saat ia masih berjadwal sama dengan Naya.                 “Tadi Naya cuma mau ngambil buku gambar Naya yang Bimo ambil, tapi Bimo malah lari ngebawa buku catatan Naya, Ma. Naya berusaha ngejar, tapi malah Naya jatuh,” ceritanya yang membuat sang mama mengangguk mengerti sembari membersihkan luka di kedua lutut Naya.                 “ Ya udah, besok biar abang datangi tuh anak. Dari kecil sikapnya gak pernah berubah!”                 “Gino, udah. Jangan diperpanjang.”                 “Ma, lutut Naya udah berdarah gitu masak gak dikasih pelajaran tuh anak. Gino gak mungkin diam aja, Ma.”                 “Biar mama yang besok nemuin kepala sekolah dan guru Naya. Mudah-mudahan bisa dipertemukan sama mamanya Bimo, jadi biar Bimo gak gangguin Naya lagi.”                 Hal yang selalu sama. Sejak dulu bahkan sudah beberapa kali sang mama memberitahu kejahatan Bimo pada ibu kandungnya. Meminta wanita bertampang manis dan bertubuh bongsor itu untuk mengajari sikap sopan santun dan baik pada semua teman ceweknya terutama Naya yang selalu jadi korban. Namun semuanya nihil, Bimo bukannya semakin sadar akan sikapnya, malah semakin tak bisa diatur. Bahkan kemarahan sang mama akan pengaduan keluarga Naya, malah ia lampiaskan pada Naya hingga gadis manis itu enggan masuk sekolah selama satu minggu penuh. ***                 “Em … kasihan anak ayah, jadi Bimo masih jahat sama kamu ya?” Seorang lelaki bertubuh tinggi dan sedikit berbadan, mengusap-ngusap kepala Naya yang ketika itu sedang asyik menikmati makan malam. Tersenyum sesaat mengiringi langkah sang lelaki duduk di sampingnya dan mulai bersiap-siap melahap makan malam bersama keluarga tercinta.                 “Sakit, Yah.”                 “Tenang aja, Dek, besok abang hajar dia!”                 “Gino, jangan seperti itu. Kalau kamu ngelakuin itu, Bimo malah bukannya semakin menjauh dari Naya, malah semakin ngelampiaskan marahnya sama adik kamu, Nak.”                 “Tapi, Ma, Gino gak bisa diam aja lihat tuh anak jahat sama Naya!”                 “Ayah yang akan nyelesaikan semuanya,” ucap Rianto di sela-sela giginya bermain dengan nasi. “Tadi begitu ayah dengar cerita dari mama, ayah langsung nelepon kepala sekolah buat nemuin ayah dengan kedua orang tua Bimo.”                 Gino menghela napas panjang, meneguk air mineralnya dan kembali melahap santapan makan malam yang tersedia. Ayam goreng kesukaannya sudah di depan mata. Walau sesaat napsu makannya hilang, namun ucapan Rianto yang cukup menenangkan, membuatnya mampu meredam emosi.                 “Yah, jadi besok kita belajar mobil?” Pertanyaan Gino, berhasil menarik ekspresi kaget di wajah Asty. Menggelengkan kepala seakan tak setuju dengan semua rencana anak dan sang suami yang sejak seminggu lalu sudah dirancang sedemikian rupa.                 “Mama gak setuju kamu belajar mobil!”                 “Ma, Gino udah SMA. Gino pengen belajar mobil,” ucap Gino yang masih tetap ngotot dengan niatnya. “Lagian, setahun lalu Gino juga udah belajar sama Om Tyo, jadi Gino cuma tinggal belajar sedikit aja. Setelah itu, Gino bisa antar ayah, mama sama Naya kemanapun kalian mau.”                 “Naya mau jalan-jalan!” seru Naya yang langsung menarik senyuman di bibir Gino.                 “Tapi, Gino ….”                 “Ma, sudahlah. Lagian kita belajarnya gak di tempat susah kok.” Rianto kembali menenangkan dengan kalimatnya. Asty bungkam walau ekspresinya masih saja tetap tak setuju dengan semua rencana keduanya. Berulang kali ia menarik tatapannya ke Gino yang sudah kembali melahap makan malamnya. Seakan tak ingin beradu pandang dengan sang mama yang pastinya terus mencoba melarangnya dengan segala cara.                 Gino menghela napas panjang. Rasa gugup hadir di dirinya saat ia duduk di belakang kemudi mobil. Menatap jalanan lurus di depannya dan kembali menarik napas panjang. Rianto yang duduk di sampingnya, tertawa kecil. Mengusap punggung Gino dan mencoba menenangkannya hingga ia berusaha menarik keberanian yang sempat lenyap dalam dirinya.                 Mentari masih meninggi di langit. Rianto yang hari itu sengaja mengambil libur satu hari demi janjinya dengan Gino, tampak bersiap-siap memulai mengajarkan Gino beberapa teknik awal mengemudi mobil. Gino tampak serius mendengar setiap ucapan sang ayah. Mengingatnya lalu mulai mencoba menghidupkan mesin mobil.                 Tak berapa lama, mobil mulai berjalan. Rianto tersenyum bangga saat mendapati sang anak begitu tenang membawa mobil kesayangannya. Gino sendiri yang sebenarnya masih gugup, mencoba menghela napas panjang agar kegugupan itu menghilang darinya. Jalanan yang tampak sunyi, membuat Gino bisa dengan mudah menguasai segala teknik mengemudi. Sampai akhirnya, mobil kembali berhenti di pinggir jalan. Gino menghela napas lega dan menatap Rianto yang mulai membuka sabuk pengaman.                 “Nah, sekarang saatnya kamu coba mengemudi sendiri. Ayah bakalan nunggu kamu di luar. Tapi ingat, jangan jauh-jauh. Cukup di sini aja. Kamu siap?”                 Gino mengangguk pelan, “Gino siap, Yah.”                 Rianto membuka pintu mobil. Melangkah keluar lalu kembali menutup pintu mobil meninggalkan sang anak yang mulai menjalankan mobil dengan perlahan. Tempat duduk yang terbuat dari batu tepat di bawah pohon rindang, menjadi satu tempat bagi Rianto untuk memerhatikan Gino mengemudikan mobil. Tersenyum bangga lalu mulai memanggil pedagang es jagung yang kebetulan lewat di hadapannya.                 “Pesan dua ya, Pak!” serunya yang langsung disambut ramah oleh sang penjual. Namun, baru saja ia memesan es jagung kesukaan Gino, terdengar suara benturan yang begitu keras dari arah kirinya. Rianto mengalihkan pandangannya ke sebuah mobil yang kini tampak mengeluarkan asap di persimpangan jalan. Mobil sedan di hadapannya juga mengeluarkan asap yang cukup tebal menggepul di udara. Keduanya saling beradu yang membuat siapapun di dekatnya, menatap kaget dan miris. Rianto menjerit memanggil Gino dan berlari mendekati mobil. Namun, baru saja Rianto hampir mendekati mobil kesayangannya itu, sebuah ledakan membuatnya terhenti dan menjatuhkan tubuhnya dengan posisi berlutut. Beberapa orang yang berusaha mendekat pun, kini menjauh. Takut api menyambar dan membuat mereka terluka.                 “Gino!!!” jerit Rianto yang membuat semua orang miris. Rianto mencoba menguatkan kakinya dan berlari mendekati mobil. Namun kondisi yang masih belum aman dengan kobaran api yang terus menyala, membuat beberapa penduduk menghalangi Rianto dengan cara menarik tangannya sekuat tenaga. Jeritan demi jeritan terdengar dari bibir Rianto. Daun-daun kering bertebrangan mengikuti arah angin yang terasa memilukan. Semua berakhir tragis tanpa pernah bisa diulang kembali.                 Tubuh Gino hancur terbakar. Naya yang tidak diizinkan melihat mayat sang abang, menangis pilu di luar kamar jenazah. Berusaha sekuat tenaga untuk bisa masuk, namun beberapa suster berusaha menahan tubuhnya. Asty sendiri keluar dari kamar jenazah dengan dirangkul Rianto. Menangis pilu hingga tak kuasa menahan tubuhnya dan akhirnya terkulai di lantai rumah sakit. Rianto berusaha menenangkan sang isteri. Namun Asty malah menolaknya hingga Rianto terlempar  jauh.                 “Ini semua gara-gara kamu!!!” bentaknya tanpa peduli semua mata tertuju padanya. “Kalau kamu dengar apa kataku, Gino gak mungkin meninggal!!!”                 “Maafkan aku, Asty, maafkan aku.”                 Suara tangis Naya masih saja menggema di lorong rumah sakit. Memilukan. Sangat memilukan hingga Asty tak kuasa mendekatinya dan memeluknya seperti biasa. Sesaat, Asty mengarahkan tatapannya ke Naya yang kini dipeluk erat Tyo—adik kandungnya. Lalu kembali ia arahkan tatapan ke Rianto yang duduk menekuk kedua kaki dan bersandar di dinding rumah sakit.                 “Aku mau kita cerai!!!” Ucapan Asty berhasil membuat rasa kaget datang menghampiri Rianto. “Aku gak mau punya suami pembunuh!!!” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD