… Ayra …
Perasaaan ini apa namanya
Ku takut untuk menyebut apa namanya
Bukan karena kutakut salah
Tetapi kutakut benar apa yang kurasa
*Titi DJ—Galau*
… 2012 …
Suara deringan handphone terdengar saat Ayra masih asyik duduk di pinggir atap gedung. Tanpa mengalihkan tatapannya, Ayra memasukkan tangan ke dalam tas. Meraih handphone dan mematikan alarm yang selalu berbunyi di waktu-waktu tertentu. Memasukkannya kembali dan meraih kotak cokelat. Menatapnya pilu seakan ada kenangan yang terselubung di dalam kotak cokelat yang selalu mampu memberikan kebahagiaan untuknya.
Hingga sepuluh menit berlalu, Ayra sama sekali tidak membuka kotak cokelat miliknya. Hanya menatapnya hingga tetes-tetes air mata mengalir membasahi kedua pipi. Menepisnya dengan jemari tangannya lalu kembali menatap kotak cokelat di tangannya.
Ada sekelebat kenangan yang sulit ia tepis. Ada cinta yang begitu tulus pernah ia rasakan dan kini tak lagi terasa. Ayra menggenggam erat kotak cokelatnya, menatap ke langit dengan setetes air mata kembali mengalir. Bibirnya bergetar menahan tangis. Andai saja cinta itu masih ada, mungkin saat ini ia isa melangkah bersama melewati satu hari bahagia yang seharusnya memberi tawa. Namun satu tahun di mana semuanya pergi tanpa ingat kembali, membuatnya sendirian. Menatap hari tanpa harapan dan hanya tersisa ketakutan yang hingga kini tak pernah berakhir.
Ayra mencoba berdiri. Menyentuh pembatas gedung dengan tangan kanannya dan memerhatikan langit yang mulai menyambut sore. Kembali menangis seakan merasakan kesedihan yang teramat dalam hingga sulit ia tahan seperti biasa. Menepisnya kembali namun air mata baru jatuh lagi dan lagi.
“Selamat hari ulang tahun. Kali ini, cokelat akan aku persembahkan untukmu. Kamu yang pertama kali mengenalkanku dengan dunia manisnya cokelat. Kamu yang selalu membelikan cokelat ketika aku menangis. Dan kamu yang selalu mengajakku memakan cokelat setiap kita duduk di bawah langit. Selamat ulang tahun. Aku ingin kamu kembali hadir memelukku. Bersamaku, menjagaku seperti dulu.”
Ayra membuka kotak cokelatnya, mengarahkannya ke bawah dan mulai membalikkan botol hingga seluruh cokelat berjatuhan ke lantai dasar. Seakan ingin membagikan pada dunia satu makanan yang selama ini mampu menguatkan pijakannya. Ataukah, saat ini Ayra ingin membuang semua kenangan yang teramat sangat menyakitinya tanpa henti. Menangis pilu, memeluk udara yang tak sehangat biasanya.
Tanpa Ayra sadari, Tarra yang melewati halaman gedung tempat Ayra masih berdiri, terhenti seketika saat cokelat-cokelat milik Ayra, berjatuhan di dekat kakinya. Tarra menunduk dan meraih satu cokelat berwarna merah dan memerhatikannya dengan seksama. Kenangan bersama Ayra di atap gedung hadir seketika. Senyuman Ayra saat ia memberikan cokelat yang katanya mampu memberikan kebahagiaan itu, berhasil membuat Tarra mengarahkan tatapannya ke atap gedung. Mendapati sosok wanita yang masih belum mampu ia tangkap wajahnya tampak sedang berusaha memanjat pembatas gedung di atap tempatnya berdiri. Tarra yang kaget, langsung berlari memasuki gedung. Berusaha secepat mungkin menaiki tangga hingga beberapa orang hampir saja ia tabrak andai mereka tak mengelak dari tubrukan Tarra.
Tarra membuka pintu atap. Memerhatikan wanita yang kini mampu ia tangkap siapa dia, sedang berdiri merentangkan tangan di atas pembatas. Tarra melangkah cepat dan menarik tangan Ayra hingga tubuhnya terjatuh ke dalam dekapannya. Memeluknya erat dan mendengar isakan tangis Ayra yang semakin kuat. Sekuat mungkin Ayra melepaskan diri dari pelukan Tarra. Namun tenaga Tarra yang lebih kuat dari hentakan Ayra, membuatnya kehabisan tenaga dan akhirnya memasrahkan segalanya.
“Apa yang kamu lakukan, Ay!!” bentak Tarra yang kini melepaskan pelukannya. Memegang kedua lengan Ayra dan menggoncang tubuhnya mencoba menyadarkannya. “Kamu udah gila!!”
Ayra semakin menangis. Menundukkan kepala tak berani menatap Tarra yang masih saja mengarahkan tatapannya kepadanya. Merasa tak ada jawaban dari Ayra, Tarra kembali menarik tubuh Ayra dan memeluknya erat. Napasnya memburu akibat langkah cepatnya menyentuhkan kedua kaki di atap gedung. Napas panik bercampur takut yang entah kenapa hadir begitu nyata di dalam dirinya.
Hanya isak tangis yang sengaja dibiarkan Tarra keluar dari bibir Ayra yang kini terdengar. Rasanya, Tarra tidak ingin menghentikannya. Rasanya, Tarra tidak ingin meminta Ayra untuk menjawab semua pertanyaan yang hadir di dalam kepalanya. Walau sebenarnya ia sangat ingin tahu penyebab Ayra melakukan semua ini, namun melihat kondisi Ayra yang masih belum stabil, membuatnya enggan untuk memberatkannnya dengan semua pertanyaan. Tarra hanya terus memeluknya erat sembari mengatur napasnya yang masih belum stabil.
Tarra memberikan sebotol air mineral ke tangan Ayra yang ketika itu duduk di bangku panjang di pinggir jalan. Menerimanya sembari mengucapkan terima kasih lalu mulai meminum air yang tutupnya sudah dibuka Tarra. Tarra sendiri langsung duduk di samping Ayra. Meneguk minumannya lalu menghela napas panjang saat kedua matanya mengarah ke Ayra yang masih belum mau berbicara padanya.
Ayra sesaat menunduk. Memainkan jemarinya di mulut botol, lalu mengangkat kepalanya mengarahkan tatapan ke beberapa penjual kaki lima di sekitar taman tempat keduanya duduk menikmati sore hari yang mulai menyambut malam. Tersenyum tipis yang berhasil ditangkap kedua mata Tarra lalu menghela napas panjang seakan ingin meredakan sesak di d**a yang masih tersisa.
“Rasanya kalau kamu gak datang tadi, aku gak mungkin bisa duduk di sini.” Suara Ayra terdengar yang berhasil membuat Tarra lega bukan main. “Tarra … aku rasanya ingin pergi saja.”
“Pergi kemana, Ay?”
Ayra mengarahkan kedua matanya ke Tarra. Tersenyum tipis, lalu mengangkat tangan kanannya dan mengarahkan telunjuk ke langit, “Ke sana.”
Tarra terdiam. Jawaban Ayra membuatnya tak mampu berkata apa-apa. Ada kesedihan yang teramat dalam di kedua mata Ayra yang masih terarah ke arahnya. Kedua matanya pun tampak menebal dengan air mata yang siap kapan saja meluncur membasahi kedua pipi. Walau senyumannya masih tersirat di bibirnya.
Sentuhan angin sore tak mampu menenangkan Tarra seperti biasanya. Serasa ia mampu merasakan semua kesedihan di hati Ayra yang baru kali ini ia rasakan. Senyuman dan tawa Ayra ternyata hanya semu. Mencoba menutupi semua perasaan dan kejadian di masa lalu yang tak diketahui semua orang. Dan semua itu ia lakukan demi membuat semua orang tertawa bersamanya.
“Aku gak pernah lagi merasakan lengkap di dalam hidupku, Tarra.” Ayra kembali melanjutkan kalimatnya setelah menuruni tangan dan menatap lurus ke depan. “Aku lelah.”
“Ay, sebenarnya ada apa?” Pertanyaan Tarra berhasil membuat Ayra tersenyum memilukan. Menundukkan kepala sesaat, dan menghapus air matanya lalu kembali mengangkat kepalanya dengan senyuman yang masih belum pudar.
“Ada banyak kejadian yang masih belum bisa aku bagi pada siapapun,” ucapnya miris. “Namun … semua kejadian memilukan itu terkadang membuatku sakit dan terkadang membuatku merindukannya.”
Tarra menghela napas panjang. Menanti kalimat terusan dari Ayra dan berharap ia mau bercerita sedikit tentang kisah hidupnya yang tak satu orang pun tahu. Tarra masih saja menanti saat Ayra menghela napas panjang dan meraih handphonenya dari dalam tas. Memerhatikan jam di layar lalu tersenyum tipis.
“Sudah mau maghrib, sebaiknya kita pulang,Tar.”
“Tapi, Ay. Aku masih ingin dengar ceritamu.”
“Belum saatnya, nanti aja ya tunggu aku siap.”
Tarra menghela napas panjang. Menggenggam tangan kiri Ayra hingga membuat wanita manis itu mengarahkan tatapannya ke Tarra. Menatapnya pilu dengan bibir bergetar seakan mencoba menahan tangis. Ada perasaan aneh di hatinya yang membuatnya ingin menangis. Ada perasaan tenang saat sentuhan tangan Tarra terasa di tangannya. Seakan seseorang yang ia rindukan, menggenggam tangannya erat seperti dulu.
“Ay, aku memang masih asing untukmu. Aku memang bukan siapa-siapa yang bisa seenaknya mendengar semua keluh kesah dari rahasiamu. Tapi Insya Allah aku bisa bantu apa pun yang kamu butuhkan, Ay. Apa pun.”
Air mata Ayra melesat jatuh membasahi pipinya. Tarra yang mendapati air mata itu, langsung menepisnya lembut dengan jemarinya. Tersenyum lebar seakan memberikan ketenangan kepada Ayra yang masih menatapnya pilu.
“Ay, please jangan nangis.”
“Kamu sebenarnya siapa?”
Tarra mengerutkan kening mendengar pertanyaan Ayra. Tatapan Ayra yang masih mengarah padanya, seakan meminta jawaban pasti akan keberadaan dirinya saat ini. Siapa dirinya yang membuatnya cukup bingung akan jawaban dari pertanyaan aneh itu.
“Kita baru kenal, tapi aku merasa kamu sudah lama hadir di hidupku,” lanjut Ayra yang membuat Tarra tersenyum tipis. “Kamu siapa, Tarra. Apa kamu pernah hadir di masa laluku?”
Tarra tidak kehabisan kata-kata. Dengan begitu menenangkan, ia tersenyum lembut. Menyentuh pipi kanan Ayra yang membuat wanita itu kembali meneteskan air mata. Sentuhan yang membuat Ayra merasakan kenyamanan. Kenyamanan yang tak pernah ia rasakan setelah kejadian itu, menghantam tanpa ampun.
“Aku Tarra. Lelaki yang akan berusaha melengkapi hidup seorang Ayra yang semula terasa belum lengkap,” jawabnya tenang. “Aku Tarra, yang kapanpun kamu butuhkan, akan siap memberikan pundakku untuk tempat bersandar. Dan aku Tarra … lelaki yang akan melindungimu walau hanya dalam diam.”
Ayra kembali menangis. Menundukkan kepala yang berhasil membuat air mata semakin tumpah membasahi kedua pipinya. Tarra sendiri membelai lembut kepala Ayra yang sengaja ia biarkan menumpahkan segala sesak di dadanya, melewati air mata yang mungkin selama ini ia pendam begitu rapi di hatinya. Tanpa satu orang pun yang tahu.
Angin masih tetap hangat walau mentari kian tertidur di ufuk barat. Suara kicauan burung seakan menjadi musik menenangkan untuk Ayra yang kini merasakan satu hal berdesir pasti di hatinya. Satu hal yang memang telah ia rasakan pasca perhatian Tarra melesat setiap hari kepadanya. Perhatian yang selalu ia dapatkan tanpa harus ia minta dan memelas di hadapan lelaki penyejuk jiwa itu.