… Tarra …
Tak Pernah terpikir Olehku
Tak Sedikitpun Kubayangkan
Kau akan pergi Tinggalkan kusendiri
*ST12 – SAAT TERAKHIR*
… 2008 …
Tarra terpaku di antara orang-orang yang ikut berpakaian serba putih di sekelilingnya. Menatap ke satu hal yang berhasil melesatkan air mata jatuh dari setiap mata dan membasahi kedua pipi. Jenazah berbalutkan kain putih bersih itu, kini mulai menyatu dengan tanah. Perlahan, tanah mulai menutupi tubuhnya seutuhnya. Tubuh yang begitu mampu membuat Tarra menyadari bahwa dunia ini indah. Senyuman yang selalu menyemangatkannya dan kini, pergi tanpa ingat kembali.
Begitu cepat kebahagiaan itu hadir menghampirinya. Begitu cepat tawa itu terurai di hadapannya. Begitu cepat senyuman dan suara itu menyambutnya di pagi hari. Ingin rasanya mengulang seluruh cerita yang pernah terurai, namun semua kini menghilang. Seakan waktu tak lagi ingin memberikan sedetik saja menikmati segalanya seperti dulu. Saat ia berada di dalam dunia Tarra.
Beberapa orang mulai meninggalkan tanah yang kini telah dihiasi bunga. Ditandai dengan batu nisan bertulisan satu nama beserta tanggal lahir dan wafat sang pemilik tempat peristirahatan. Serta sebuah bingkai foto yang sedari tadi berada di samping nisan. Tarra menekuk kedua kakinya di samping pusara yang kini telah tertutup sempurna. Menatap tak percaya, menangis tak terbendung. Hingga tanpa sadar hujan yang turun secara tiba-tiba pun, berhasil menyatu dengan air mata yang masih ingin tumpah tak tertahankan.
Berulang kali Tarra mengusap batu nisan seakan pelepas rindu yang tak tertahankan. Ingin rasanya ia memeluk sekali lagi tubuh pembawa kebahagiaan itu. Merasakan wangi tubuhnya dan merasakan sentuhan tangannya di kedua pipi. Mendengarnya mengucap kata cinta yang selalu ia dengar hampir setiap hari. Menjelang mentari terbit, menjelang mentari meninggi di langit dan menjelang mentari terlelap berganti gelap. Ingin rasanya semua itu ia rasakan kembali. Walau kini semua telah berubah berganti perih yang tak terobati.
“Katakan semua ini mimpi. Ini cuma mimpi kan, Sayang?” tanyanya seorang diri sembari kembali memeluk erat batu nisan. Menangis terisak hingga membuat seorang wanita yang hadir di belakang Tarra, ikut hanyut dalam kesedihan.
“Aku belum siap kamu tinggalkan. Aku belum siap!” ucap Tarra lagi yang kini menggenggam erat tanah. Meraba permukaan pusara dan menatap ke batu nisan yang kini basah akibat hujan.
“Tarra.” Sentuhan lembut di bahu kanan Tarra membuatnya berhenti terisak. Mengarahkan tatapannya ke seorang wanita berpakaian putih dengan rambut terurai panjang. Sebuah payung putih melindunginya dari rintikan hujan. Dan kini ikut melindungi tubuh Tarra yang semula menjadi satu alasan hujan untuk membasahinya.
Tarra berdiri, menatap sedih ke wanita di dekatnya yang ikut menangis. Tarra mencoba menghela napas panjang. Berusaha menenangkan dirinya sendiri walau beberapa detik kemudian, dia kembali tak kuasa menahan segalanya. Menangis sembari menututup mulutnya sendiri.
“Ini sudah jalannya, Tarra. Kita gak bisa apa-apa.”
“Aku baru saja merasakan indahnya hidup karena kehadirannya, Rin. Baru sebentar!” teriaknya sembari mengarahkan jemarinya ke arah pusara. “Ini gak adil buatku!”
“Ini yang terbaik buat dia, Tar!”
“Enggak, ini bukan yang terbaik buat dia. Yang terbaik buat dia itu berada di sampingku.” Tarra tampak tak mampu menerima keadaan. “Kamu sering dengar apa yang dia bilang kan? Dia gak bisa tanpa aku. Dia gak akan bisa menahan rasa sakit tanpa ada aku. Dia gak bisa hidup tanpa aku, Rin!!”
“Tarra!!”
“Apa lagi?” tanya Tarra tanpa membiarkan wanita di hadapannya meneruskan kalimat. “Allah itu gak mengerti apa yang terbaik buat dia. Yang terbaik itu dia selalu berada di sampingku!!”
PLAK!
Sebuah tamparan keras melesat ke pipi kanan Tarra. Terdiam. Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut Tarra. Dia hanya tertunduk, menatap pilu ke pusara yang kini hanya mampu menyaksikan segalanya tanpa mampu melerai seperti dulu. Tak ada lagi sikap yang berusaha menenangkannya. Semua berubah. Semua tak lagi sama. Air mata kembali jatuh membasahi kedua pipi Tarra. Air mata yang tak lagi bercampur dengan hujan. Air mata yang bisa terlihat nyata. Begitu nyata di kedua mata wanita beranama Airin yang tampak menyesal dengan sikapnya sendiri.
“Tarra, maafin aku. Aku hanya ingin kamu tahu, aku hanya ingin kamu menyadari kalau saja dia masih hidup, dia akan terus tersiksa dengan penyakitnya. Dia akan terus merasakan sakit yang luar biasa. Tarra … dia selalu bilang padaku, bahwa dia udah gak kuat. Apa kamu tega melihat dia terus menerus menahan rasa sakit itu?” Kalimat Airin membuat Tarra berlutut di samping pusara. Memegang nisan dan kembali terisak.
“Dia selalu bilang kalau aku pacar terbaiknya. Tapi sekarang aku merasa bahwa aku bukan yang terbaik. Selama ini aku berpikir dia baik-baik saja hanya karena senyuman yang selalu dia umbar di hadapanku. Aku merasa dia mampu menghadapi semua rasa sakit itu, Rin. Aku gak nyangka ia begitu lelah dengan semuanya.”
Airin menekuk kedua kakinya di samping Tarra. Menyentuh kembali bahu Tarra yang langsung ditepis Tarra dengan kasar. Berdiri menatap pusara dengan tatapan marah, lalu tersenyum sinis seakan ada sesuatu yang ingin ia lakukan saat itu juga.
“Aku akan tunjukkan kalau kami tak bisa dipisahkan! Aku akan tunjukkan bahwa akulah yang terbaik buat dia!!” Tarra berlari meninggalkan Airin sendiri. Airin yang tidak ingin Tarra melakukan satu hal yang membahayakan, langsung berlari mengejarnya. Namun langkah kaki Tarra yang lebih cepat darinya, membuatnya tertinggal jauh. Tarra langsung menghampiri motornya dan mengendarainya sekencang-kencangnya. Airin yang baru saja tiba di parkiran makam, langsung menaiki mobilnya dan meminta supir yang sejak tadi menantinya di mobil mengejar Tarra.
Sementara itu, Tarra berusaha membelah jalan yang kini diguyur hujan. Kecepatannya semakin tinggi saat jalanan di hadapannya seakan mengajaknya semakin menambah kecepatan. Kedua mata Tarra tajam mengarah ke jalanan di hadapannya. Helm yang ia pakai, sengaja tak ia ikat agar apa pun yang terjadi, mampu mempercepatnya menuju ke sosok wanita yang sangat ia cintai.
Kenangan demi kenangan hadir di pikiran. Suara itu, kembali terngiang di telinga. Memanggilnya dengan satu nama yang hanya ia sajalah yang menggunakannya. Berteriak manja di dekat Tarra sembari mengucapkan kata cinta yang selalu mampu membuat Tarra tersenyum haru. Memeluknya dengan kehangatan dan berusaha selalu berada di dekatnya walau semua dunia memusuhinya.
Tarra tak perlu apa-apa saat dia masih berada di sini, di sampingnya. penyakit yang menderanyalah yang mengubah segalanya. Senyuman yang terus tergaris di bibirnya, semakin lama semakin tampak dipaksakan. Mencoba menyembunyikan rasa sakit saat berada di hadapan Tarra. Walau seluruh alat rumah sakit terus menusuk masuk ke dalam tubuh dan terlihat memilukan.
“Aku akan selalu mencintaimu. Aku bahagia bisa mengenalmu. Dan terima kasih sudah mau menerimaku dengan segala penyakit ini. tetaplah jadi dirimu sendiri, dan ingatlah, bahwa sampai kapanpun, aku akan selalu mencintaimu.”
Kalimat terakhir yang dikatakannya saat Tarra hadir menemaninya di ruang ICU. wajahnya semakin pucat dan tirus. Tubuhnya kurus tak terawat. Rambutnya yang semula indah terjuntai, kini tak lagi ada. Botak, dan hanya menyisakan rambut-rambut tipis di kulit kepala. Berulang kali ia meminta seluruh keluarga untuk membelikannya topi rajutan. Memakainya saat Tarra hadir, namun dengan penuh ketulusan, Tarra membukanya.
“Kamu tetap cantik di mataku. Walau tanpa helaian rambut.” Kalimat yang selalu diucapkan Tarra dan berhasil menarik air matanya melesat jatuh.
“Bukankah kamu sangat menyukai rambutku?”
“Tapi aku lebih suka hati dan senyumanmu, Sayang.”
Dia tersenyum begitu lebar. Kedua pipinya memerah dan sangat tampak jelas perubahan warna yang semula putih pucat. Dia mencoba duduk di atas tempat tidur dengan dibantu Tarra yang berusaha menjaga agar selang infus tidak terlepas. Dan dengan hati bergetar, merasakan pelukannya yang ternyata adalah pelukan terakhir sebelum akhirnya dia koma dan tak lagi membuka mata.
Semua terlalu cepat. Tarra hanya mampu menangis di samping jenazah wanita yang sangat ia cintai saat tubuh itu diletakkan menghadap kiblat di dalam rumahnya. Rumah yang selalu menjadi tempat kedua bagi Tarra saat ketidaknyamanan hadir di dalam rumahnya sendiri. Rumah yang selalu punya cerita setiap kali ia hadir dan menerima kehangatan dari kedua orang tua wanita yang ia cintai. Kedua orang tua yang menganggapnya layakanya seperti anak sendiri. Dan dari rumah inilah ia merasakan kasih sayang seorang ayah yang sulit ia dapatkan.
Berulang kali Tarra mengusap rambut wanita di dekatnya. Cinta pertama yang baru dua tahun ia rasakan. Awalnya, ia menganggap ini cinta monyet hanya karena menyadari dirinya yang masih duduk di bangku SMP kelas dua saat cinta itu dapat untuk pertama kalinya. Namun seiring berjalannya waktu, Tarra membuktikan pada dunia bahwa ia sungguh-sungguh mencintainya. Menjaga ketulusan dan kepercayaan cinta yang ia berikan hingga napas terakhirnya.
Tarra menghela napas panjang. Menambah kecepatan saat persimpangan jalan raya ada di hadapannya. Lampu merah yang menyala tak ia hiraukan dan terus mendahului para pengendara yang memilih berhenti mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Dari kejauhan, Tarra melihat sebuah mobil melesat dari arah kiri persimpangan, Tarra menutup kedua matanya saat motor mulai melewati persimpangan. Dan … semua pun terjadi. Mobil sedan berwarna hitam berhasil menabrak motor Tarra yang membuat tubuhnya terpelanting jauh ke pinggir jalanan. Helm yang ia gunakan, terlepas dan membuat kepalanya terbentur cukup keras ke trotoar. Secepat kilat semuanya mengabur. Terdengar teriakan beberapa orang yang menjadi saksi mata kecelakaan itu. Dan di sela-sela pandangan yang mengabur, Tarra menemukan sosok wanita yang begitu ia cintai. Menatapnya pilu tanpa mendekat dan malah semakin menjauh dari kerumunan orang-orang yang berusaha menolong Tarra saat itu.
Tunggu aku. Tunggu aku.