… Naya dan Darrel …
… 2012 …
Darrel tersenyum simpul. Balasan singkat dari Naya membuatnya tersenyum. Ada perasaan berbeda yang hadir. Perasaan yang hadir entah apa penyebabnya. Hanya melihat Naya, ia seakan mampu kembali ke masa-masa yang hilang entah kemana. Bersama Naya, ia merasa tak lagi kehilangan. Naya mampu mengisi relung hati yang kosong. Naya mampu melakukannya.
Darrel sendiri menyadari, bahwa perasaan ini akan terasa jahat bagi Naya yang tak tahu apa-apa. Tak seharusnya Naya dijadikan pelampiasan atas kerinduan yang teramat sangat terhadap sosok yang pergi tanpa ingat kembali. Namun, bagi Darrel cukup merasakan dirinya tak lagi sendiri, rasanya sudah lebih dari yang ia inginkan. Naya tak perlu tahu saat ini.
‘Makanya dijaga kesehatannya, ini malah suka banget begadang’
Balasan Naya yang lagi-lagi membuat Darrel tertawa kecil. Begadang memang sebenarnya sudah tidak mampu ia pisahkan dari rutinitas malam. Bagi Darrel, bisa menutup mata di malam hari adalah kelangkaan yang sudah lima tahun belakangan ini ia jalani. Tak pernah ia mendapatkan mimpi panjang pada malam hari akibat penyakit insomnia yang ia alami. Keadaan itu awalnya sangat Darrel rindukan. Bisa terlelap layaknya manusia lain yang kini sudah bergumul dengan mimpi, adalah keinginan terbesarnya. Namun, sulit. Terlalu sulit.
Hampir tiga tahun ia berada di dunia Naya dan jika menghitung dari perkenalannya yang secara tak sengaja, bisa dihitung hampir lima tahun terjalin walau diselangi dua tahun tak bertemu, pasca kejadian lucu itu. Dan perubahan itu terjadi. Entah mengapa tanpa sedikitpun paksaan di dirinya, Darrel seakan begitu patuh pada semua pesan dan permintaan Naya. Bahkan setiap keinginan wanita polos yang terlalu jujur itu ia dengar, tanpa ia sadari selalu saja mampu ia wujudkan. Entah ada kekuatan apa di dalam diri Darrel, yang ia tahu hanyalah ... bisa melihat Naya tersenyum hanya karena mengetahui dirinya mengikuti setiap permintaannya, rasanya hal terindah saat ini.
Satu perubahaan Darrel yang terasa begitu nyata adalah dunia balap yang ia rela tinggalkan. Terlalu sering Naya mengatakan bahwa ia takut saat Darrel menguji nyawa di jalanan dengan kecepatan tak terbatas. Entah apa yang membuat Naya begitu takut hingga selalu memohon pada Darrel untuk berhenti. Entah apa alasan Naya yang tampak seakan begitu takut kehilangan Darrel. Namun yang pasti, Naya terdengar lega saat mengetahui Darrel berada di dalam rumah pada malam hari. Begitu juga hari ini. Naya yang saat itu menghubungi Darrel yang masih di luar, mau tidak mau memintanya kembali untuk pulang ke rumah. Malam yang kian larut, membuat Naya terdengar takut dari nada suaranya di telepon. Dan ada perasaaan aneh yang hadir di dalam diri Darrel saat mendengarnya.
“Kamu pulang ya, angin malam gak bagus buat kesehatan.”
“Entar lagi ya, Nay. Nanggung nih, lagi ngumpul sekalian mau lihat balapan.”
“Jangan dong, pulang aja ya.”
“Percuma, Nay. Di rumah Darrel juga gak bakalan bisa tidur.”
“Naya temenin deh, tapi pulang ya.”
Permintaan Naya akhirnya diikuti Darrel. Darrel yang memutuskan untuk balik ke rumah, mau tidak mau mengakhiri telepon dari Naya. Di tempat lain, Naya duduk terpaku di depan laptop, mematikan benda canggih itu dan berpindah ke tempat tidur. Menyandarkan tubuhnya di bantal yang bersadar di kepala tempat tidur. Menanti pesan singkat atau telepon dari Darrel sekedar mengabarkan bahwa ia sudah berada di dalam rumah.
Nuansa biru muda hadir di dalam kamar Naya. Begitu menenangkan dengan dipadukan tirai jendela berwarna putih bersih yang sesekali melambai akibat kipas angin di atas meja di samping meja belajar. Naya memerhatikan jarum jam dinding yang kini menunjukkan pukul dua belas malam. Seharusnya, Darrel sudah dari tadi tiba di rumah. Namun hingga saat ini, tak ada kabar dari Darrel.
Naya meraih handponenya. Berniat menghubungi lelaki penambat hatinya itu sekedar memastikan kabarnya baik-baik saja. Namun, secara tiba-tiba niatnya terurung saat melihat nomor Darrel terpampang nyata di layar handphone. Naya tersenyum tipis lalu menerimanya.
“Darrel udah di rumah ya, Nay.” Terdengar suara Darrel saa itu. Naya terdiam sesaat, mencoba menangkap setiap suara di dekat Darrel seakan ingin memastikan kebenaran. Senyuman hadir di bibirnya ketika mendapati jawaban bahwa semuanya sunyi. Hanya ada suara petikan senar gitar yang dimainkan Darrel saat itu.
“Coba tidur ya.”
“Kalau bisa udah Darrel lakuin, Nay.”
Naya memanyunkan bibirnya sesaat. Lelaki itu memang sangat susah jika dipaksa tidur. Entah bagaimana lagi cara Naya untuk memintanya tidur lebih awal. Namun mengetahui dirinya sudah berada di rumah saja, Naya berhasil menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum lebar. Membayangkan lelaki itu kini secara tak langsung mengikuti permintaannya. Ya, selalu seperti itu.
“Rel,” panggilnya yang langsung dijawab Darrel dengan suara pelan. “Boleh tanya sesuatu?”
“Apa?”
“Kamu ... kenapa selalu mengabulkan semua keinginanku?”
Sesaat hening. Tak ada jawabvan yang terdengar dari Darrel. Petikan gitarnya pun juga tak lagi terdengar. Entah apa yang terjadi kini dengan Darrel, yang pasti Naya kini hanya mampu menggigit bibir bawahnya akibat kepolosannya dalam bertanya.
“Kalau gak mau dijawab juga gak pa-pa, Rel!”
“Demi kebaikan, kenapa gak dituruti?” Jawaban biasa yang sebenarnya bukan itu yang diharapkan Naya. Ada kekecewaan di hatinya. Ada kekesalan di hatinya yang juga sama besar dengan rasa kecewa. Naya berharap ada jawaban lain yang tak seperti biasa ia terima. Namun semua tetap sama. Darrel selalu saja tak mengerti setiap pertanyaan yang ia tujukan. Hampir tiga tahun, dan Naya ingin ada perubahan. Tapi semua itu jauh dari harapan. Semua itu seakan tak mampu ia tangkap. Jangankan dengan hatinya, ditangkap dengan kedua tangan pun sulit.
“Tidur, Nay. Udah malam.”
Naya menggeleng seakan-akan Darrel berada di dekatnya, “Naya kan udah janji mau nemenin Darrel malam ini.”
“Aku gak pa-pa, udah biasa kayak gini.”
Lagi-lagi Naya menggelengkan kepala, “Boleh yaa malam ini aja aku temenin.”
“Kenapa, takut aku keluar lagi terus balapan?” Darrel selalu tepat sasaran jika tentang hal itu. “Aku tidak akan keluar, Nay. Janji.”
Naya bungkam. Keinginannya sebenarnya sederhana. Bisa mendengar Darrel mengobrol dengannya di telepon sudah lebih dari cukup. Darrel sangat jarang menghubunginya, bahkan bisa dihitung dengan lima jari. Dan rasanya, Naya ingin berlama-lama sekali saja. Mendengar suaranya sekedar mengobati rasa rindu di hatinya yang tak mampu ia ucapkan.
***
Hari-hari selalu sama. Entah mengapa semenjak kejadian itu, Naya merasa sangat malu berdekatan dengan Darrel. Bahkan untuk sekedar menegur saja ia enggan. Ada perasaan bingung luar biasa. Ada perasaan aneh luar biasa. Bahkan ada perasaan segan luar biasa. Hatinya seakan bergejolak kuat sekali saat menatap Darrel. Hatinya seakan berteriak keras sekali saat berhadapan dengan lelaki bertubuh tinggi itu. Bahkan rasanya jantungnya mau lepas saat Darrel berada di dekatnya. Semuanya aneh. Sangat aneh.
Pagi itu seperti biasa Naya lagi-lagi hanya berdua di kelas bersama Darrel. Semua sahabatnya seakan sengaja membiarkannya bersama Darrel untuk bersama. Bukan, lebih tepatnya Tuhan-lah yang sengaja melakukannya. Semua seakan dirancang sedemikian rupa untuk sekedar menguji kekuatan jantung Naya untuk bergelantungan di dadanya. Walau hanya diam, namun rasanya semua berbeda. Ada sedikit rasa tenang dan nyaman setiap kali Darrel berada di dekatnya. Namun selebihnya, gugup dan bingung hadir beriringan.
“Nay!” Suara Darrel mengagetkan Naya yang asyik membaca novelnya. Ya, sebuah novel romantis yang sejak tadi diperhatikan Naya namun sama sekali tak ia baca. Pikirannya melesat jauh ke sosok lelaki yang duduk di samping kanannya walau ada jarak antara keduanya.
“Bisa bantu aku sesuatu gak?”
“Bantuin apa, absenin lagi?”
Darrel tertawa sembari menggelengkan kepala, “Bantuin aku nyelesaikan soal-soal hukum waris islam. Kamu bisa kan?”
Naya terdiam. Hukum Waris Islam yang menjadi salah satu mata kuliah di semester tujuh memang sangat ia sukai. Sudah cukup lama Naya tak memainkan otaknya dengan hitung-hitungan yang dulu sangat ia sukai. Selama ini, Naya hanya menghapal dan menghapal semenjak masuk ke fakultas hukum. Namun begitu bertemu dan bertegur sapa dengan mata kuliah penuh angka dan rumus sederhana itu, Naya seakan menemukan dunia yang sudah lama ia tinggalkan. Begitu ia rindukan hingga setiap ada soal hadir, dia selalu ingin menyelesaikannya lebih dulu.
Naya memang tidak pintar dalam berhitung. Tak jarang nilai matematikanya anjlok waktu SMA dulu. Namun seakan magnet yang saling tarik menarik, matematika seakan tak mampu membuatnya muak dan berpaling ke ilmu lainnya. Walaupun Naya sendiri memang sangat suka menulis dan bercita-cita ingin menjadi seorang penulis hebat. Namun rasanya matematika menjadi satu dasarnya untuk hadir di sekolah. Sekedar memerhatikan guru mengajarkan angka-angka yang yang terkadang memusingkan kepala itu.
“Nay, kok diam?” Suara Darrel kembali membuat Naya kaget bukan main. Dengan sikap kebingungan, Naya mencoba menarik senyuman di bibirnya. Memberikan pembatas di novel tepat di halaman ia berhenti, lalu menutupnya sembari memikirkan cara untuk menjawab permintaan Darrel.
“Tapi Naya gak pinter-pinter banget lho, Rel.”
Darrel beranjak dari tempat duduknya. Berpindah ke kursi kosong di samping kanan Naya lalu membuka buku catatan miliknya, “Aku gak perlu orang pinter, Nay. Orang pinter biasanya paranormal.” Darrel berusaha becanda yang berhasil membuat Naya tertawa kecil. Menghela napas panjang walau dengan perlahan agar tak diketahui Darrel akan kegugupannya yang masih hadir.
“Apa yang mau ditanya, Rel?” tanya Naya berusaha tetap tenang. “Jangan susah-susah ya, dan jangan percaya juga sama Naya. Percaya sama Nay sesat lho.” Naya berusaha mencairkan suasana walau ia mengakui candanya cukup garing.
“Yang ini lho, Nay ….” Darrel menunjukkan beberapa soal yang ada di catatannya. Beberapa soal yang dijelaskan minggu lalu oleh Ibu Dian itu memang bisa dikuasai Naya. Dengan perlahan, Naya berusaha memulai penjelasannya. Meminta Darrel mendengarkannya lalu membiarkan Darrel menyelesaikan soal berikutnya.
Diam-diam, Naya memerhatikan Darrel yang masih berusaha.
Cukup seperti ini, Rel. rasanya aku cukup bahagia. Walau sebenarnya aku ingin lebih dari ini. Aku ingin kita lebih dari sekedar sahabat. Maafkan aku, Rel. maaf karena aku mencintaimu. Aku hanya bisa berharap, kamu mau mengerti aku.