BAB 10

1865 Words
… Ayra dan Tarra …   … 2011 ...                   “Kamu seperti anak-anak!” ledek Tarra saat lagi-lagi ia menerima tiga buah cokelat dengan warna berbeda di telapak tangannya. Langit yang masih menunjukkan kebiruan, seakan ingin ikut tersenyum melihatnya yang kini kembali duduk bersama Ayra di atap gedung. Angin masih tetap sama seperti hari-hari kemarin. Berdesir lembut seakan ingin membelai keduanya dengan penuh kasih sayang. Berbisik lembut ingin mengatakan bahwa ia mencintai orang-orang yang mencintainya dengan sepenuh hati.                 Ayra tersenyum sembari berbaring di lantai atap gedung. Menatap langit dengan teduhnya hingga membuat Tarra ikut merasakan kenyamanan dari tatapannya yang sejak dulu sangat ia sukai itu. Meneduhkan, hingga membuatnya kembali merasakan kenyamanan yang hilang entah kemana. Kenyamanan yang tak pernah ia rasakan walau kini hatinya telah milik orang lain.                 Hari ini masih tetap sama. Jadwal kuliah yang memang sudah usai beberapa menit lalu, membuat Ayra kembali mengajak Tarra menikmati desiran angin di atap gedung ekonomi. Mentari yang tidak terlalu menyengat, membuat keduanya betah duduk berlama-lama. Bahkan sebelum mencapai puncak tertinggi gedung ekonomi itu, Ayra sempat meminta izin pada Pak Tejo jika hari ini, ia akan lebih lama dari waktu yang sudah ditentukan. “Cokelat itu penenang, Tarra. Kamu bisa menangis terisak-isak, tapi dalam sekejap kamu bisa tersenyum saat lidah bermain dengan manisnya cokelat.”                 Tarra membenarkan dalam hati kalimat Ayra. Walau sebenarnya ia tidak terlalu maniak terhadap makanan manis yang satu itu, namun ia memang meyakini bahwa cokelat mampu memberikan rasa tenang dalam keadaan sekalut apa pun. Bahkan ketika kegelisahan datang, cokelat bisa dengan tenangnya menghadirkan ketenangan yang tak pernah disangka-sangka.                 Sulit dipercaya, wanita seperti Ayra masih bergelut pada dunia cokelat setiap kesedihan datang. layaknya anak-anak yang masih saja menikmati makanan manis itu setiap saat. Ayra bahkan tidak pernah malu jika alarmnya bunyi saat di kelas dan langsung memakannya di depan semua sahabatnya. Ledekan pun tak jarang ia terima, namun hingga sekarang, wanita bertampang manis yang kini duduk di sampingnya, masih tetap sama. Hidup dengan menggenggam cokelat tanpa peduli dunia menertawakannya.                   “Lagian, cokelat menyimpan kenangan untukku. Bersama cokelat, aku tertawa, menangis bahkan selalu mendapatkan kasih sayang dari orang yang aku sayangi sejak aku terlahir ke dunia,” lanjut Ayra.                 “Apa langit juga sama seperti cokelat untukmu, Ay?” tanya Tarra yang membuat Ayra tertawa kecil. Kembali duduk dan menatap Tarra di sampingnya yang selalu enggan menatapnya barang waktu satu detik saja.                 “Apa kamu takut padaku?” tanya Ayra sengaja mengalihkan pembicaraan. Pertanyaan Ayra jelas membuat Tarra mendelikkan kedua matanya. Menatap Ayra sesaat lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain. Selalu saja seperti itu.                 “Takut kenapa? Aku tidak punya alasan untuk takut padamu, Ay.”                 “Tapi kenapa tidak berani menatapku?”                 Tarra tertawa kecil, berusaha mengalihkan tatapannya ke segala arah agar tak tertuju ke Ayra yang masih menatapnya. Ayra sendiri tampak kebingungan dengan sikap Tarra yang selalu aneh untuknya. Tarra tak sama dengan lelaki lain yang selalu bisa menatapnya lebih dari lima detik. Tarra tak sama dengan lelaki lain yang selalu berkata-kata manis di hadapannya yang Ayra sendiri tidak tahu, apakah kalimat itu jujur ataukah kebohongan. Dan yang paling tidak Ayra sukai, Tarra selalu saja bersikap seolah-olah mempermainkannya. Tak pernah ada kandungan keseriusan dari ucapannya. Semua seakan kebohongan, semua seakan skenario yang sengaja ia buat untuk menyembunyikan satu hal yang entah apa itu.                 “Hanya gara-gara itu kamu bisa berpikir aku takut padamu, Ay? Kamu lucu.”                 “Dan kamu aneh, dasar Alien!”                 Tarra kembali tertawa, “Julukan baru untukku setelah manusia aneh?”                 Ayra tertsenyum lebar dan mengangguk pelan. Tarra kembali tertawa melihat wanita di sampingnya yang selalu saja memberikan julukan-julukan aneh padanya. Julukan-julukan yang tak pernah ia dapatkan dari wanita lainnya. Hidupnya begitu-begitu saja sebelum Ayra hadir. Tak ada yang berkesan. Keluar bersama sahabat, tertawa bersama sahabat, melakukan hal-hal yang itu-itu saja. Namun setelah Ayra hadir, ia menyadari bahwa hidup sesimple itu. Satu kalimat yang selalu Ayra ucapkan membuatnya tersadar bahwa tak ada yang lebih baik dari melakukan hal itu. Tindakan sederhana yang mengubah segalanya.                 ‘Tersenyum dulu untuk diri sendiri di depan cermin saat baru bangun tidur, ucapin selamat pagi untuk diri sendiri. Baru tersenyum dan ucapin selamat pagi untuk dunia. Untuk diri sendiri aja pelit senyuman, masa untuk orang lain ramah amat. Gak sayang sama diri sendiri?’                 Kalimat sederhana yang langsung membuat dunia Tarra berubah seketika. Biasanya setiap ia membuka mata, Tarra langsung meraih handphone di atas meja tepat di samping tempat tidurnya,kini ia malah berdiri dan mendekati cermin. Mencoba menarik kedua sudut bibirnya dan terkadang malah melambaikan tangan pada pantulan dirinya sendiri. Menggaruk-garukkan kepala menyadari sikap anehnya, lalu kembali tersenyum saat teringat kalimat Ayra yang ia ucapkan saat pertama kali ia duduk di atap gedung fakultas ekonomi.                 Tarra memang menyadari sikapnya yang enggan berlama-lama dan tersenyum seorang diri di depan cermin. Baginya, itu perbuatan aneh yang tak seharusnya ia lakukan. Bagaimana bisa, diri sendiri senyum-senyum tidak jelas di depan cermin datar di kamarnya. Bisa-bisa jika ada yang melihat, akan menganggapnya gila atau sakit. Dan Tarra yang dulu seakan tak menyadari bahwa sikap sederhana itu, kini mampu mengubah dunianya menjadi lebih menyenangkan.                 Tarra mengalihkan tatapannya ke Ayra yang kini menutup kedua mata, menekuk kedua kakinya dan memeluk lututnya lalu seakan mencoba menikmati hemapasan lembut angin di wajahnya. Rasanya, tak pernah ada kata bosan untuk sekedar menikmati lekuk wajah Ayra. Hanya sekedar melihatnya, Tarra merasa semua beban hilang dari dadanya. Semua permasalahannya lenyap seketika bahkan sosok Airin pun terkadang terlupakan saat dirinya bersama Ayra.                 Deringan telepon mengusik Tarra yang asyik menikmati wajah Ayra. Meraih handphone pintarnya dalam saku celana dan melihat satu nama di layar yang membuatnya kembali teringat bahwa saat ini, ia bukanlah manusia single yang bisa kapan saja berdekatan dengan wanita lain. Cukup lama ia menimang-nimang handphonenya. Mengarahkan tatapan lurus ke depan yang terdapat tumpukan meja-meja dan kursi tak terpakai di sudut atap. Menghela napas panjang lalu mulai menekan tombol penjawab telepon dan melekatkannya di telinga.                 “Ya.”                 “Kamu di mana, Sayang?” Terdengar suara Airin di seberang. Seakan dari suaranya ia ingin mengatakan kekhawatirannya akibat sang kekasih yang masih belum memberikan kabar pasca kuliah selesai.                 “Aku masih di kampus.” JAwaban Tarra menarik Ayra untuk membuka kedua matanya yang langsung disambut sinar mentari. Menampakkan kecokelatan di kedua mata dan membuat keduanya tampak semakin indah. Ayra mengalihkan tatapannya ke Tarra yang masih duduk di sampingnya. walau kini, Tarra membelakanginya.                 “Iya, ada kegiatan sebentar. Entar lagi juga pulang.” Terdengar kembali suara Tarra membalas kalimat Airin yang tak didengar Ayra. “Mau kemana? Gak bisa nanti malam aja, aku belum bisa pulang.”                 Ayra menghela napas panjang. Posisi tersulit baginya saat ini adalah mencintai seseorang yang sudah memiliki tambatan hati. Walau kenyamanan hadir di hatinya, namun rasanya mustahil jika saat ini ia memaksa Tarra untuk tetap bersamanya saat paksaan sang kekasih hati menerpanya.                 “Iya-iya, entar lagi aku ke rumah. Oke.” Pembicaraan pun di akhiri beberapa detik setelah Tarra mengucapkan salam. Mengarahkan tatapan ke Ayra yang langsung membuat Ayra menutup kembali kedua matanya. Dia tak ingin Tarra tahu bahwa sejak tadi ia mendengarkan semua pembicaraan Tarra dengan ekspresi cemburu bukan main.                 “Ay, kayaknya aku gak bisa nemenin kamu lebih lama lagi.”                 Ayra membuka kedua matanya. Menarik tatapan ke Tarra dan mencoba tersenyum. Seakan ingin mengatakan bahwa ia tidak akan apa-apa walau sebenarnya jauh di dasar hatinya, ia menjerit mengatakan bahwa ia masih ingin Tarra di sini.                 Please, Ay. Cegah aku untuk pergi. Harap Tarra dalam hati. Seakan ia sendiri tidak ingin beranjak dari tempat ternyaman. Dia masih ingin di sini. Menikmati desiran angin menyejukan, dan merasakan hadirnya ketenangan dalam hatinya.                 “Gak pa-pa kok, aku masih ingin di sini. Kamu pulang aja.” Jawaban Ayra yang langsung disambut senyuman kekecewaan di bibir Tarra. Mencoba menyembunyikan segala rasa di hatinya yang masih terasa berat untuk beranjak.                 Tarra menghela napas panjang. Tersenyum kembali dan bangkit dari posisi duduknya. Merentangkan kedua tangannya sembari menarik udara cukup banyak melalui hidungnya yang tampak mancung. Menatap Ayra yang kembali menutup mata.                 “Aku pulang duluan ya, Ay.”                 “Oke,” ucap Ayra tampak membuka kedua matanya.                 Dengan berat hati, Tarra melangkah meninggalkan Ayra yang kini menatap kepergiannya. Tampak ekspresi kecewa di wajahnya. Andai saja Tarra bisa memilih untuk tetap bersamanya, mungkin dia bisa menikmati waktu lebih lama bersamanya. Walau hanya dalam beberapa waktu saja. “Tarra.”                                                   Tarra menghentikan langkahnya, tersenyum sesaat lalu berbalik menatap Ayra yang saat itu berdiri dan mengarahkan tatapan lurus ke depan. Menikmati beberapa gedung pencakar langit di kampusnya, dan menikmati beberapa orang yang lalu lalang di bawah sana. walau tampak kecil layaknya semut yang berkerumunan mencari makanan.                 “Kamu pernah merasakan kehilangan?” Pertanyaan Ayra membuat Tarra terdiam. Mimik wajahnya tampak kebingungan. Ada rasa kaget di wajahnya. Namun tampak kesedihan yang mendalam di dalam kedua bola matanya. Napasnya memburu walau masih bisa ia kuasai. Detakan jantungan dua kali lebih cepat dari semula. Berulang kali Tarra menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan. Namun perasaan itu tetap tak ingin pergi.                 “Pernahkah kamu merasakan kesedihan yang tak kunjung berakhir hanya karena satu kehilangan, Tarra?” tanya Ayra lagi yang kini mengarahkan tatapannya ke Tarra.                 Tarra berusaha mengalihkan tatapannya ke segala arah. Menjaga agar Ayra tidak melihat mimik kesedihan yang kini terlukis di wajahnya. Menarik napas panjang berulang kali lalu menghembuskannya perlahan. “Apa tidak ada pembahasan lain?” Tarra mencoba mengalihkan pembicaraan. Berharap Ayra akan berhenti menusuknya dengan pertanyaan yang enggan untuk ia jawab saat ini dan mungkin di hari-hari berikutnya.                   “Hei, aku hanya sekedar bertanya, Tarra!”                 “Tapi aku benci pertanyaan itu,” seru Tarra setengah membentaknya yang membuat Ayra mendekat dan berhenti tepat di hadapannya. Mengamati wajah Tarra yang kini mengandung kegelisahan.                   “Kenapa, apa kamu pernah merasakannya?”                 Lagi-lagi Ayra mencoba mengorek Tarra yang mulai semakin tak nyaman dengan semua keadaan ini. Angin yang semula berdesir lembut bersahabat, kini seakan menusuknya hingga menyesakkan d**a.                 “Tarra.”                 “Cukup, Ayra!” bentaknya yang berhasil membuat Ayra kaget bukan main. “Jangan pernah membahas tentang kehilangan, atau apalah itu yang menyangkut hal itu. Aku tidak ingin membahasnya hari ini, besok atau seterusnya!”                 Kedua mata Ayra menebal. Ada air yang siap kapan saja melesat jatuh membasahi kedua pipinya yang kering. Tak pernah ia sangka sebelumnya, Tarra yang selalu bersikap lembut bahkan tak pernah kasar, kini malah membentaknya hanya karena pertanyaan ringan yang masih biasa baginya. Ekspresi Tarra masih tetap sama. Kebingungan dan masih mencoba menutupi kegelisahan yang tak mampu hilang dari gelagatnya. Berulang kali terdengar helaan napasnya, namun ia masih saja gelisah. Tarra membalikkan tubuhnya membelakangi Ayra. Dia tidak ingin Ayra menyadari bendungan di matanya. Dan dia juga tidak ingin melihat air mata melesat dari kedua mata Ayra yang bakalan membuatnya melemah tanpa alasan yang jelas.                 “Pulanglah, udah sore!” ucap Tarra melangkah pergi meninggalkannya. Ayra menatap kepergiannya, menghela napas lalu kembali menundukkan kepala.                 “Jika aku yang menghilang, apa kamu akan mencariku, Tarra!!” Seruan Ayra berhasil menghentikan langkah Tarra yang hampir melewati pintu. Terdiam dengan wajah tertunduk. Nada suara Ayra terdengar bergetar. Tarra sendiri mengetahui jelas bahwa saat ini Ayra menangis. Dan karena itulah ia tak ingin berlama-lama berada di samping Ayra.                 “Pulanglah,” ucap Tarra sebelum akhirnya pergi meninggalkan Ayra sendirian. Isakan tangis Ayra terdengar. Memeluk kedua lututnya dan menumpahkan segalanya. Sementara Tarra, berusaha sekuat tenaga menuruni anak tangga demi anak tangga dengan perasaan kacau luar biasa. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD