BAB 3

1540 Words
Bintang-bintang Dalam sepiku bercerita tentang rasa hati Aku kini ... dalam duka tak bertepi Terpatahkan hati   … 2014…             Naya menatap langit yang kini penuh bintang. Berbaring di halaman rumah yang ditumbuhi rumput-rumput kecil kesukaannya. Sesekali ia meraba rumput mencoba merasakan kegelian di Telapak Tangan. Tertawa kecil lalu kembali menatap bintang di langit. Satu benda yang sangat ia sukai. Mungkin banyak yang mengatakan ia aneh saat melihatnya tersenyum di malam hari. Tak jarang juga orang lain menganggapnya gila saat ia mengerlingkan matanya ke bintang di langit. TAPI tidak ada. Semua itu ada alasan yang tak bisa ia ungkapkan pada salah satu organisasi. Termasuk… Darrel.             Rambutnya yang ikal dan panjang, sengaja ia gerai dan biarkan berada di atas rumput tepat di atas sebuah kepalanya. Seakan rumput mampu memanjakan rambutnya saat itu. Naya bahkan tidak peduli binatang-binatang kecil yang bisa masuk melalui helaian rambutnya. Baginya, kenyamananlah yang ia cari, walau harus membiarkan makhluk kecil itu mungkin merayap. Namun selama ia melakukan kebiasaan ini, ia mengalami gangguan apa pun. Tak ada binatang bahkan tak ada mahluk astral lainnya.             “Apa gak ada bintang jatuh untukku malam ini?” tanyanya penuh harap. Menatap langit seakan berbicara dengannya. Meminta walau langit bisa saja tak mendengar. Naya menghela napas panjang. Mengangkat tangan kirinya yang tampak terlingkar gelang dengan hiasan butiran-butiran berwarna putih. Tersenyum sembari memain-mainkan butiran yang gak goyah dengan tali kecil yang terselip melalui lubang di tengah-tengan butiran berbentuk bulat itu, dan menyambungkannya dengan butiran putih lainnya.             “Bang Gino, Naya kangen,” ucapnya dengan kedua mata menebal akibat air mata. Jatuh ke wajahnya sebelah kiri dan menyambut rerumputan. Menatap kembali ke langit penuh bintang tanpa bisa menahan air mata. Lengkungan bibirnya yang semula tergaris lurus, kini tak lagi menunjukkan ketegaran. Kesedihan terpancar dari wajahnya, yang membuatnya semakin terlihat memprihatinkan.             Semua tak lagi sama. Kecelakaan itu merenggut seluruh kebahagiaan yang semula menaunginya tanpa henti. Tak ada lagi waktu untuknya sekedar memanggil Gino yang langsung pergi tanpa ingat kembali. Di depan matanya, peti jenazah Gino yang tak boleh lagi dibuka, membuatnya meraung tanpa henti. Semuanya berakhir. Tak ada lagi tawa, canda dan saling menghangatkan satu sama lain. Semuanya lenyap seiring kepergian Gino. Bahkan tak lagi bersisa.             Naya kecil yang saat itu berusia empat belas tahun, hanya mampu menangis di dalam kamar. Memanggil-manggil sang abang yang tak mampu ia rengkuh kembali. Desir-desir wewangian tubuh Gino, sesekali masih terasa menyeruak di hidungnya. Menyadari kehadirannya ada, namun tak mampu ia lihat dengan kedua matanya. Suara seruan seseorang dari luar kamar yang terdengar khawatir, tak ia hiraukan saat itu. Semua itu terus terjadi bahkan sampai saat ini.             Naya mengarahkan tatapannya ke tangan kanan yang masih berada di samping tubuhnya. Merasakan kehangatan di telapak tangannya seakan seseorang hadir menyentuh tangannya. Bersamanya menikmati malam seperti biasa. Dan seperti biasa pulalah ia tak mampu menangkap bayangannya. Menangkap bayangan orang yang begitu melindunginya dulu. Menangkap bayangan orang yang begitu ia sayangi. Dan menangkap bayangan orang yang pergi tanpa ingat kembali, membawa seluruh kebahagiaan hingga tak lagi menyisakannya sedikit saja untuk Naya. Sedikit saja … sekedar sebagai pelipur saat lara hadir enggan pergi.             Angin masih tetap dingin menusuk tulang. Angin malam yang selalu disukai Naya saat berbaring sendirian di bawah lindungan langit. Halaman luas yang memang sengaja di design Naya dan Gino dengan rerumputan kecil serta beberapa pohon rindang layaknya taman komplek, membuatnya nyaman setiap kali bermain bersama Gino, dulu. Namun sekarang, hanya dia sendirilah yang duduk menikmati langit malam. Tanpa Gino yang selalu mencubit pipinya. Tanpa Gino yang selalu menyerakkan rambutnya. Dan tanpa Gino yang selalu memanggilnya ….             “Putri kecil.” Sebuah suara memaksa Naya mengarahkan kedua matanya ke seorang wanita yang hadir di atas kepalanya. Setengah membungkuk dan mengarahkan wajahnya tepat di atas wajah Naya. Naya tersenyum tipis dan bangkit dari posisi berbaring. Duduk menekuk kedua lutut dan menarik tangan kanan wanita itu untuk duduk di sampingnya. bersandar di bahunya sembari terus menatap bintang bersama.             “Jangan panggil Naya dengan sebutan itu lagi, Ma,” ucapnya lirih yang membuat wanita di sampingnya melenyapkan senyuman di bibir. “Naya gak ingin mendengarnya.” Naya mengarahkan tatapannya ke samping kanannya. Tangan kanannya masih saja menggepal seakan seseorang masih menggenggamnya erat. Tersenyum lalu kembali menegakkan kepala  menatap wanita di sampingnya yang kembali tersenyum.             “Maafkan mama ya, Sayang.” Asty menyentuh kedua pipi Naya lembut. “Mama hanya tidak ingin kamu merasa kehilangan segalanya.”             “Naya tidak akan merasa seperti itu, Ma, andai saja mama tidak merubahnya.” Naya tersenyum lalu kembali menyandarkan kepalanya di bahu Asty. Menghapus air matanya yang kembali terjun bebas sembari tersenyum menatap ke sisi kanan. Seakan tersenyum pada Gino yang ia bayangkan masih duduk di sampingnya dengan senyuman meneduhkan dan rambutnya yang hitam pekat dan lurus di atas leher. Asty sendiri hanya menghela napas panjang dan kembali melesatkan tatapan ke langit bertabur bintang. Berharap semuanya bisa kembali ke awal. Tanpa adanya kesedihan bercampur perasaan lainnya.             “Ma, apa semua bisa kembali seperti sediakala?” Pertanyaan Naya yang menarik Asty untuk menghela napas panjang. Mencoba menahan segala emosi yang masih tersisa di dalam d**a. Seakan tak ingin melepaskan diri dan siap kapan saja keluar tanpa jeda. Naya menjauhi kepalanya dari sandaran, mengarahkan tatapan Asty yang sama sekali tidak memberi jawaban. Berharap satu pertanyaan yang sejak dulu ia tanyakan itu dapat menerima sepenggal kalimat untuk menenangkan hatinya.             “Ma ….”             “Nay, tolong jangan paksa mama untuk menerima kenyataan dengan kembali menghadirkan orang yang sudah merusak segalanya.”             “Tidak ada yang merusak, semua bukan kesalahan ….”             “Cukup, Nay,” potong Asty yang tidak ingin mendengar kalimat terusan Naya. “Cukup! Mama gak mau lagi dengar kamu membahas soal ini. sudah sejak kamu SMP mama selalu dengar pertanyaan ini, dan mama gak ingin lagi kita membahasnya!”             “Tapi Naya rindu kesempurnaan, Ma.”             “Dan sayangnya mama gak bisa mengabulkannya!” Asty bangkit dari tempat duduknya. Membersihkan telapak tangan yang kotor akibat sentuhannya di rerumputan. Mengarahkan tatapan lurus ke depan seakan tak ingin membalas tatapan Naya yang masih mengarah padanya.             “Jangan lama-lama di sini, nanti kamu bisa sakit.” Asty mulai melangkah meninggalkan Naya. Mencoba menguatkan diri dengan menapaki jalan menuju rumah. Sedangkan Naya, kembali menatap langit yang masih saja betah menemaninya. Menghapur air mata yang mengalir kembali, lalu menarik kedua sudut bibir untuk tersenyum. Walau samar.             “Abang benar, mama memang terlalu egois,” ucapnya sembari mengerlingkan salah satu matanya ke arah langit. Menghela napas panjang, lalu bangkit sembari membersihkan celana panjang yang ia kenakan dari serpihan rerumputan, lalu melangkah menuju rumah. Meninggalkan malam menyambut mimpi yang berharap akan lebih indah dari kenyataan saat ini.             Naya menuruni tangga dari lantai dua rumahnya menuju lantai dasar saat pagi menjelang. Pakaian berbahan kaus berwarna hitam dengan celana panjang jins putih, melekat di tubuhnya. Rambut ikalnya seperti biasa ia gulung tinggi. Melangkah santai sembari memerhatikan kamera kesayangannya. Mencoba membersihkan lensa agar tidak kotor.             Langkahnya terhenti sesaat di anak tangga dua dari bawah. Suara obrolan sang mama dengan seseorang yang sama sekali tidak ia kenali suaranya, membuat keningnya mengerut. Memerhatikan jam di tangannya yang masih menunjukkan pukul delapan pagi. Untuk pertama kalinya sang mama menerima tamu di pagi hari seperti ini. Biasanya di jam-jam seperti ini, Asty selalu kelabakan gara-gara telat ke butik yang ia geluti hampir tiga tahun belakangan ini. kelihaian Asty dalam merancang gaun dan beberapa pakaian lainnya, membuatnya memutuskan meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai editor di salah satu majalah, dan beralih ke hobbynya.             Naya kembali melangkahkan kedua kakinya dan mengintip ke ruang tamu yang terletak di sebelah kiri tangga. Berbataskan dinding hingga membuatnya leluasa untuk mengintai situasi. Tampak seorang wanita cantik berhijab dengan seorang lelaki tampan yang bisa dikatakan sebaya dengan Naya, duduk di hadapan Asty. Mengobrol santai seakan tak mengingat waktu yang masih dikatakan pagi hari.             “Non Naya ngapain?” Sebuah suara membuat Naya kaget bukan main hingga mengarahkan tatapannya ke seorang wanita berpakaian daster di belakangnya. Suara kaget Naya pun terdengar ke ruang tamu. Asty yang menyadari sang anak dari tadi mengintip, langsung memanggilnya. Naya mengeluh kesal sembari berjalan memasuki ruang tamu dan duduk di samping Asty.             “Ini Naya, Lan,” ucap Asty. “Kenali dulu, ini Tante Ulan, sahabat mama saat di kampus dulu.”             Dengan senyuman lebar, Naya menyambut uluran tangan Ulan. Memperkenalkan namanya kembali walau sudah disebutkan Asty, dan mendengarkan semua pujian Ulan yang bagi Naya biasa saja. Selang beberapa detik jabatan itu terlepas, Naya kembali disambut dengan uluran tangan lelaki di samping Ulan. Sesaat, tak ada balasan dari Naya, dan sikap dingin Naya membuat lelaki itu mengerutkan kening. Asty tampak bingung mendapati ekspresi aneh Ulan.             “Naya, Adam juga mau kenalan tuh!” seru Asty yang terpaksa membuat Naya membalas uluran tangan itu. mendengar lelaki tampan berkulit putih itu menyebutkan namanya lalu kembali melepaskan tanganya dari tangan Naya.             “Ma, Naya mau pergi sebentar. Ada lomba fotography, jadi hari ini Naya mau cari objek buat difoto.”             “Lho, kamu ini. Adam udah jauh-jauh kemari buat kamu lho, Sayang.”             Kalimat aneh yang diterima Naya berhasil menarik kerutan dan tatapan bingung di wajah Naya. Mengarahkan tatapannya ke Asty yang berusaha memberikan isyarat agar dia tetap di sini. Lalu menarik tatapan ke Adam yang tersenyum simpul.             “Atau Adam antar kamu aja, Nay.” Seruan Ulan membuat Naya menolak sesopan mungkin. Namun cubitan dari Asty tepat di punggung Naya, membuatnya tak bisa berbuat apa-apa saat ini. hanya bisa menyetujui usulan Ulan yang berhasil menuruni semangat Naya untuk mencari objek hari ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD