Ke-6

1456 Words
Aku dan Saga sampai di rumah orang tuaku. Mami dan papi sedang ke luar dan kini aku di ruang makan belakang bersama Mboh Yah yang sejak tadi aku peluk. Mbok senang-senang saja sejak tadi ia usap-usap rambutku. "Malu itu lho Mbak Reres sama Den Saga," ujar Mbok Yah. "Biarin aja dia Mbok. Aku kan kangen sama Mbok. Emangnya Mbok enggak kangen sama aku?" "Ya kangen lah, masa ndak kangen. Anak wedoknya mbok yang paling mbok sayang." ia mencubit pipiku kemudian. (Anak perempuannya) Saga cuek aja sibuk makan bakwan. Mbok tadi lagi goreng bakwan, ada juga yang bilang kalau mamanya bala-bala. Mbok suka banget bikin makanan aneka gorengan atau rebusan untuk para penghuni di rumah ini. Rumah orang tuaku dihuni empat satpam, dua anjing besar, tiga orang yang membersihkan rumah, satu tukang kebun yaitu Pak Yatno suami Mbok Yah dan ada beberapa tukang bersih-bersih yang pulang dan pergi. Mami dan Papi malah jarang ada di rumah. Urusan kerja papi lebih banyak di Singapura, ya karena perusahaan utama memang berada di sana. Punya kakek, papi anak ke dua dan ia berbagi dengan pamanku di sana. Papi pindah negara dan pindah agama demi mami. Pokoknya kisah cinta mereka mirip drama. Gitu sih yang sering aku dengar. Entah mami bohong atau nggak. Aku kini melirik Saga, sumpah ya suamiku kalau udah di depan gorengan kaya lupa segalanya. Malah tadi Mbok juga buatin dia teh manis anget satu gelas gede. Apa enggak makin terbuai dia di sini. Ku tepuk perutnya, ia menoleh dan sekrang malah membusungkan perutnya yang buncit, gemes. "Ganti baju dulu sana," ujar Saga. Biasanya aku pake daster setelan kalau di sini. "Gantiin," sahutku manja. "Liat tuh Mbok kelakuannya anak udah dua puluh delapan tahun manjanya masih kaya gitu," adu saga dengan wajah yang menyebalkan. "Kok lo nyebelin sih?" Tanyaku kesal. "Heh, sama suami enggak boleh lo, lo." Mbok yah marah gara-gara Saga. Sebel, sekarang Saga-nya malah asik makan dengan wajah penuh kemenangan. Sumpah pingin gigit mulutnya Sgaga yang kaya kompor meleduk. "Mbok ih kan Saga nyebelin." "Marahin Mbok tuh, kalau sama saya suka gitu Lo, lo manggilnya. Saya kan lebih tua." Liat tuh kelakuan suamiku. Sebel banget. Kupukul bahu suamiku. "Lambemu!" kataku kesal, dan berakhir dengan Mbok Yah yang memukul mulutku pelan sih, cuma bikin sebel. "Kan Saga yang resek ih Mbok." (Mulutmu) "Nggak elok sama suami gitu lambe-lambe yang sopan tho." (Nggak baik) Saga terkekeh seneng banget dia sekarang ada yang belain. Liat aja kalau minta jatah enggak bakal aku kasih. Kulirik dia kesal kutunjuk d**a dan bagian intim tubuhku. Lalu aku menggeleng sambil menyilangkan tangan. Saga membecik, lalu kelitiki perutku. Liat aja no jatah sampe aku enggak kesel. "Udah sampai dari jam berapa?" suara papi terdengar. Saga buru-buru lari ke wastafel buat cuci tangan. Aku cium tangan dan peluk papi yang kini kecupi kening dan pipiku. "Kok makin gendut?" Tanya papi, sebel dateng-dateng pertanyaannya bikin sebel "Cuma naik dua kilo," jawabku. Saga kini cium tangan papi setelah cuci tangan. "Sehat Pi?" "Alhamdulilah sehat, kalian sehat kan?" "Alhamdulilah, mami mana Pi?" Sahut suamiku, manis banget kalau di deoan mertua. "Masih di depan lihat tanaman yang baru di beli. Reres berapa beratnya sekarang Ga?" Papi bertanya sambil comot bakwan yang ada di meja makan. Segera aku ambil dan aku masukan ke dalam mulutku. Bisa ngamuk mami lihat papi makan gorengan. Papi membecik kesal karena akku ganggu, Sementara aku julurkan lidah karena tingkahnya. "Sembilan delapan kilo terakhir pi." Jawab saga. "Sok tau, Sembilan tujuh Pi." "Hahahahha, sekarang udah sembilan delapan habis makan gorengan papi." "Papi makan gorengan?" Suara ibunda ratu buat papi menoleh. Saga menghampiri mami dan segera cium tangan mami. Mereka berbasa basi singkat lalu aku mendekat cium tangan mami. Sejujurnya, hubunganku dan mami tak begitu baik. aku sengaja pasang jarak sejak dulu. Jujur, aku merasa tak diinginkan hingga sempat marah pada mami. Logika saja, mami bisa saja tinggal di Indonesia saat papi harus sibuk dengan urusannya. Tapi mami sibuk ngintilin papi atau kalau ia tak ikut papi, maami malah sibuk dengan kesenangannya sendiri. Kami kini berkumpul di ruang tengah Papi, Mami, aku dan Saga. Di meja sudah tersaji teh dan kue yang dibeli mami. Cake dan kue yang dibeli khusus tanpa gula, gula diganti dengan aneka sari buah. Begitu sih yang dikatakan mami, supaya aman untuk papi katanya. "Kamu enggak mau pindah ke kantor papi aja Res?" tanya Papi. "Enggak ah, stasiun tv papi buka tipe Reres. Paling males Reres kalau udah masuk ranah politik gitu,'' jelas dari dulu ku katakan itu. "Cuma iklan doang, ya kan papi sekarang mau berkiprah ke dunia politik. Mau coba bantu orang-orang. Anak muda tuh harus melek politik tau," ujar papi sambil nikmati teh manis miliknya. "Iya, Reres juga punya pandangan politik jugam Ya, kalau masalah politik yang akhirnya jadi kebawa di aura pertelevisian males ah. Mending Reres out, kalau seandainya SDTV juga jadi kaya gitu." "Daripada kerja jadi bawahan. Kamu urus tuh Hotel papi, sama saham-saham papi di Indo. Papi mau nyoba dunia politik, jadi anggota DPRD buat bantu orang-orang dnegan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat." "Dih. papi udah jadi penyumbang tetap di dua puluh enam paniti-pantian, papi bangun sekolah dan banyak lagi. Papi tuh hebat tau, enggak usah macem-macem ah Pi. Papi, udah tua istirahat aja. Papi tetap Pemilik biar karyawan yang jalanin.'' Papi geleng-geleng kepala. Lalu menatap Saga. "Liat tuh Ga, orang dikasih warisan enggak mau." "Kalau enggak ngeyel bukan Reres namanya Pi," jawab Saga. "Kamu anak papi satu-satunya. Harapan kamu ya cuma kamu lho Nak." Aku bergerak peluk papi. "Reres bakal bantu papi. Tapi, enggak sekrang. Papi jangan ganggu Reres yang lagi asik sama kerjaan reres di SDTv." "Bumi ya atasan kami?" tanya papi kujawab anggukan. "Pap diem-diem lho, awas kalau papi ngomong-ngomong siapa anak papi." Papi hela napas mungkin kesal juga dengan keras kepalaku. "Anak cuma satu, enggak mau dianggap anak. Kalau papi ada pertemuan pada nanya. Anaknya yang mana Pak? Papi diem-diem aja. Papi bilang ada, ada. hmm,, jadi gini rasanya jadi orang tua yang tak dianggap." keluh papi lalu membecik, kenapa papi sama Saga bisa mirip gini coba kalau ngambek? "Cubit aja Pi," kata Saga coba memprofokasi. Aku melirik sementara Saga menjuurkan lindah. Pinter banget emang kalau bikin aku kesel. Sampai saat ini enggak ada yang tau perihal kebohonganku supaya bisa masuk SDTV selain suamiku sendiri. Akan berbahaya kalau ada yang tau kalau aku anak papi. Lagipula aku juga sembunyi bukan hanya saat ini tapi, sejak dulu. Aku tak percaya diri apalagi kalau kumpul sama keluarga mami yang semuanya orang sukses. Dokter, TNI, Pengacara kalau kumpul keluarga bukan cuma sekedar kumpul dan temu kangen . Tapi juga ajang pamer jabatan anak masing-maisng. Sebenarnya aku mau sombong dan bilang kalau aku calonn pewaris tunggal semua kekayaan papi. wekekekek ... Mantul enggak tuh? Umur 28 tahun punya hotel, perusahaan TV, dan resort? Sayang itu punya papi. . . . . Malam hari aku dan Saga di kamarku. Kamarku ini cantik banget. Dulu papi sengaja pesan tempat tidur ala putri-putri dunia dongeng dengan tiang emas dan seprai merah muda. Aku dulu memang princessnya Mbok. Sekarang? Boro-boro. Semua ke-putrianku rontok apalagi sejak masuk SMU. Tapi, aku tak ingin merubah kamarku ini. Karena ini cantik banget dan sekarang aku lagi tidur sama pangeran kucing. Saga sejak tadi diem, enggak tau kenapa. Aku melirik saga, lalu tengkurap di depan Saga yang kini menatapku. Ku raba semua lekuk wajah suamiku. Ia tersenyum dan kecup tanganku yang kemudian ia genggam. "Kenapa?" tanyaku. "Bayangin aja, kamu jadi pewaris gimana enggak minder aku. Sekarang aja aku merasa enggak berguna." ucapnya. "Kok gitu? kata siapa kamu enggak berguna? Kamu segalanya buat aku Saga." kutekankan itu. "Aku tau, kamu juga segalanya buat aku. Aku cuma takut kamu tinggalin." Lah? Terbalik dong dia kan yang good looking, masa takut kehilangan aku sih? "Heh, yang dulu idola sekolah siapa?'' "Aku." "Yang kapten basket? yang setiap tanding bikin anak perawan jerit-jerit siapa?" Saga terkekeh, "Aku lah." "Lah terus kenapa kamu takut aku tinggalin?" tanyaku. Saga membelai wajahku. "Maybe you never know. Kamu itu sekarang menarik banget. Pedenya kamu, pinternya kamu, gaya pakaian kamu. Orang mungkin akan beda reaksi ketika mereka baru kenal kamu. Ketika mereka kenal kamu itu lain hal." "Pikiran itu cuma karena kamu cinta aku Saga," jawablku kesal. "Aku terlihat istimewa karena perasaan kamu mungkin." Saga mengggeleng. "Aku lihat sebagai laki-laki. siapa yang enggak tertarik sama wanita mandiri, Independen, pinter, berkelas?" Saga lalu kecupi bibirku. Aku mulai larut dalam cumbu lembut. Bingung juga kenapa Saga bisa mendadak enggak percaya diri gini? ia lepaskan cumbuannya pada bibirku, aku lalu rebah di sebelah Saga, ia usap rambut sambil ciumi keningku. "Aku sayang banget sama kamu Saga.'' "Aku lebih sayang sama kamu. Ya kan?" Ia menarik wajahku agar menatapnya. "ya kan? Aku lebih sayang kmau" Aku mengangguk, aku akui dan merasa cintanya lebih besar, dari semua kesabaran yang ia berikan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD