Eleven

1547 Words
"Kak pelan-pelan, Kak" ucap Yunia sambil memegang lengan Dony erat. Hal itu membuat Dony kesulitan menjaga katrol yang sedikit oleng karna dinaiki dua orang dengan bobot yang tidak sepadan. "Lo minggiran jangan disini semua!" titah Dony karna ia ingin menyelaraskan gondola itu. Yunia menggeleng, "Gak mau!" Cengkramannya malah semakin kuat. Tak ingin banyak bicara-karna terlalu lelah bekerja, Dony memutuskan bungkam seribu bahasa. Dan terus fokus kepada gerakkan katrol. Sesaat membiarkan otot lengannya di peluk erat Yunia Mungkin karna kegigihannya. Gondola itu akhirnya sampai juga keatas. Membawa ia dan Yunia sampai ketempat yang mereka tuju "Ayok, naik!" Ia menjulurkan tangannya ke Yunia. Sedang tangan satunya lagi menjaga tali baja tersebut "Oleng gak, Kak?!" "Ya gak tau... Tapi masa lo mau disitu terus sih?" Benar kata Dony, ia harus melangkah. Meski mungkin kakinya begitu goyah. Karna... Tak akan ada orang lain selain dirinya sendiri yang mampu membela nasibnya. Ia meraih genggaman tangan Dony, senyum lembut Dony tertangkap mata Yunia membuat bibirnya ikut mengukir senyum yang sama. "Huupph...!" Dony merangkul pinggul Yunia erat. Sesaat gondola itu jatuh menghantam permukaan setelah bersamaan dengan Dony melepas tali baja. Bisa dibayangkan seandainya tadi Dony memilih egois dan meninggalkannya diatas gondola "Hah!" Yunia ingin menoleh ke belakang. Tetapi tangan Dony tidak mengijinkannya. Ia membingkai pipi Yunia, menjaga fokus Yunia kearahnya agar gadis itu tidak merasa trauma "Jangan tengok! Dan jangan fikirkan apapun," titahnya sangat serius. Namun Yunia masih tetap fokus ke gondola itu "Gimana nanti kita turun?" pertanyaan itu juga yang ada di benak Dony. Kalau dirinya mungkin bisa memanjat dari tiang-tiang. Tapi Yunia? "Gini... Sementara lo disini dulu,ya. Lagi posisi lo sekarang itukan buron. Ngapain juga lo mau keluyuran" ucap Dony seraya mengangkat tangannya keatas untuk mengurai lelah yang menempel di setiap rongga ototnya. Menahan beban katrol tersebut tidaklah mudah, ia bahkan menyembunyikan telapaknya yang terkelupas sebab memegang tali kawat baja tanpa sarung tangan Alih-alih memasukkan ucapan Dony ke hatinya. Yunia malah berjalan lurus matanya seakan tertawan dengan pemandangan malam disekitarnya. Dari tempat ini ia bisa melihat rembulan seolah begitu dekat. Ia menaiki tangan, mencoba menutupi bulan itu dengan telapaknya. Matanya sedikit memincing karna silau terkena pantulan sorot lampu dari gedung-gedung lainnya Di lihat dari atas sini, kota itu terlihat begitu tenang, langitpun menyajikan pantulan yang sama. Padahal di belahan bumi lainnya juga terjadi perang. Mungkin Yunia bisa bersyukur karna kini ia menandangi langit yang damai. Bukan langit yang di hiasi air mata dan darah para syuhada "Eh, Yun, lo dimana...?" Ketika ia mencari patner in crimenya itu. Dony jadi dibuat tertegun melihat Yunia sedang menutup mata sambil merentangkan tangan. Ia menduga Yunia sedang menikmati keheningan malam. Dony ikut berjalan kearah gadis itu. Diam-diam ia ikut menikmati pemandangan. Tetapi berbeda dengan yang di nikmati Yunia. Dony malah memilih menikmati wajah ayu Yunia. Tanpa sadar pemuda itu menelan air liurnya, kembali teringat saat bibirnya menekan bibir Yunia. Dony berdecak kecil. Dari sekian banyak memori kenapa ia malah teringat saat itu. Traakk, traakk...! "Apa itu, Kak?" Dalam sekejap ketenangan mereka terganggu. Kini bahkan Yunia terlihat cemas lagi. Dan Dony kesal dengan siapapun yang membuat pemandangan indahnya jadi mengabur "Hhahaa...," suara sekumpulan orang tertawa. Kalau di dengar jelas sepertinya lebih dari dua orang. Ahk, seharusnya Dony sadar. Bangunan ini tidak mungkin benar-benar tidak berpenghuni dalam artian tanpa ada penguasa. Padahal di dunia ini banyak sekali gelandangan sepertinya dan Yunia. Seharusnya ia sadar, tak ada sejengkalpun tanah yang tidak di duduki para mahluk hidup. Apalagi bangunan megah ini Ia menajamkan pendengaran. Seperti orang-orang tersebut sedang mencoba membetulkan gondola yang sudah menjadi barang rongsok itu "Siapa sih yang pake?" Suara seorang pria seakan menggema. Yunia yang takut langsung bersembunyi dibalik tubuh Dony "Lo tenang ajah!" ucapnya meski ia juga sedang takut luar biasa. Dony tidak bisa memprediksikan seberapa kuat lawannya. Bagaikan kawanan serigala yang sedang menjaga otoritasnya. Dony yakin mereka tak akan semudah itu di kalahkan Ia memindai sekitar, dalam panikpun, pertama-tama yang ingin ia lakukan adalah mencoba mencari tempat persembunyian untuk Yunia. "Ahk, lo kesana!" Ia menarik Yunia cepat. Dony berniat menyembunyikan Yunia di sebuah bangunan kecil, sepertinya tempat itu di peruntukkan untuk meletakkan perkakas para pekerja. Apapun itu Dony tidak peduli, ia menarik knop pintu kuat. "Errgghh..." Dony sampai merapatkan giginya berusaha membuka paksa. Tangannya yang kebas tidak ia pedulikan ia harus segera membuka bangunan itu untuk Yunia sembunyi Braakk... Meski lengannya harus merasakan sakit yang bertubi, tapi Dony berhasil membukanya "Lo tunggu disini,ya!" Tak lupa ia mengambil tang yang tergeletak disana "Kakak mau kemana?" Yunia gemetaran. Ia sudah bilang tidak mau di tinggal sendirian. Ia bahkan menahan langkah Dony "Kita harus bergerak lebih dulu kalau mau menang" hanya itu yang bisa ia ucapkan. Kata yang mungkin akan terus Yunia kenang. Sesaat ia malah terkesima dengan wajah Dony yang terlihat begitu serius. Tang yang di genggaman Dony juga menjadi pikirannya "Terus itu buat apa?!" "Lepasin gue, Yun!" "Gak... Kakak bilang dulu itu buat apa?" Wajahnya begitu kalut. Yunia cuma takut Dony menyakiti orang lain dengan alat itu. Dony menggeleng dengan kelakuan Yunia "Kalau lo gak siap hidup di luar makanya gak usah kabur. Lo tau, gak pernah ada kata istrahat ketika lo memilih hidup di jalan. Paham lo!" tekannya. Dony kali ini adalah sosok yang tak Yunia kenali sama sekali. Ia menjadi pria yang berbeda. Dan kenyataan itu membuat Yunia melepaskannya. Ia hanya bisa tertegun, seraya berdoa agar Dony terus dalam perlindungan Tuhan yang maha kuasa Namun langkah Dony terlambat, ketiga pria yang sejak tadi berusaha naik nampaknya sudah berhasil. Kepala mereka menyembul. Dony segera berlari ke sisi lainnnya. Ia ingin menendang kepala pria-pria itu. Semakin cepat ia beraksi, maka semakin kecil pula kekuataan yang harus ia gunakan Muncul kepala seorang pria, sepertinya ia lebih tinggi dari yang lain. Tanpa perasaan Dony menendang pelipisnya membuat pria itu terpelanting dari lantai empat kembali jatuh ke dasar. Merasa bersalah?, rasanya perasaan itu telah lama Dony tinggalkan "Siapa lo?!" hardik teman pria itu murka. Ia memegangi kaki Dony. Terlambat untuknya menjaga keseimbangan. Dony jadi terdorong ikut dengan mereka. Kini ia dan dua orang pria lainnya berkumpul di gondola rapuk itu. "b******n!" Wajah Dony ingin di tinju. Namun ia cepat mengelak. Tak lupa ia menghadiahkan benjolan di kepala pria itu dengan bantuan tang. Bukan hanya benjol. Mungkin kebocoran tempurung kepala yang ia alami "Aahhkk...!" suara erangan begitu nyaring. Tapi Dony tak berhenti sampai disana. Ia harus melumpuhkan satu lagi yang tersisa. Maka Dony mencekik tanpa ampun. "Errgghhh... Eerggh...!" Secara naluri pria itu berusaha melerai cekikkan Dony. Meski lemas, ia berusaha menaikkan pongkol lututnya untuk menghajar perut Dony "Eeh," Dony menghindar. Tapi keputusannya membuat ia jadi sedikit lengah. Cekikkannya tak lagi sekuat yang pertama. Kesempatan itu di pakai langsung, dengan ujung kepalanya pria itu menghentakkan ke jidat Dony "Arrgghhh...!" pria itu adalah definisi keras kepala yang sebenarnya "Kak Dony... Itu suara Kak Dony" cemas, Yah... Bahkan perasaan itu terasa sangat kuat menyapa hatinya. Ingin sekali Yunia membantu Dony. Tapi ia terlalu takut, Dony yang punya jiwa liar saja berteriak sangat kesakitan. Bagaimana dengannya? Beberapa detik memperhatikan bentuk tubuhnya. Yunia gak yakin wanita gemuk sepertinya akan banyak membantu Dony Tetapi mendiamkan Dony sendirian juga bukanlah tindakan yang bisa dibenarkan Perasaannya meluap-luap. Meski otaknya meminta ia untuk mengikuti perintah Dony berdiam diri disini tapi hatinya tidak ingin itu. Yunia masih memiliki hati, yah... Dony begini juga untuk-nyakan. Mengikuti Dony, ia membekali dirinya dengan kunci inggris. Sekali kena. Yunia yakin orang itu tak akan bangun selamanya Tapi masalahnya, apa Yunia tega? Ia mencengkram kuat. Bahkan Yunia menahan nafasnya ketika mendekat. Ini pertama kalinya ia berniat menyakiti seseorang. Dan semoga Tuhan memaafkan aksinya kali ini. Karna takut Yunia jadi menutup mata. Ia menghuyungkan besi panjang itu kesembarangan arah "Awas Kak!" peringatan yang Yunia berikan. Tapi Dony malah menoleh. Ia refleks sesaat mendengar suara Yunia Hussshh..., "Arrgghh..." Dony semakin memekik. Itu baru ujung kunci inggris yang kena. "Hah... Kakak kena?" ucap Yunia terkesima. Ia malah menyakiti Dony. Memang terkadang niat baik tidak selalu berjalan mulus. Atau karna Dony sedang mengambil karmanya yang juga melakukan hal yang sama kepada pria kedua Pipi mulus Dony jadi baret, darah mengalir dari goresan itu. Ia melap dengan punggung tangannya. Musuh yang belum sepenuhnya di lumpuhkan memeluk pinggul Dony. Ia ingin mendorong Dony supaya jatuh seperti nasib temannya itu. Katrol bergoyang keras. Dalam kehati-hatian saja alat itu rasanya sudah tidak layak di pakai. Tapi kini tiga orang pemuda berkelahi di atas. "Kak... Kak...!" Yunia bolak balik, tangannya mencoba menjereba. Ia juga sudah melempar kunci inggris pembawa petaka itu "Mampus lo... Mampus!" Pria itu merasa menang telah mencekram perut Dony ia tinggal mendorongkan dadanya ke punggung Dony supaya Dony merasakan apa yang temannya rasakan. Tapi Dony tidak ingin menyerah... Ia mencengkram tali baja, dengan bantuan tembok penghubung, ia berniat membalikkan keadaan Pertama-tama Dony menginjak tembok itu. Beruntung pria itu mencengkram perutnya keras. Seakan terbantu-untuk salto di udara, tanpa sadar Dony kepala Dony sudah ada di atas kepala pria itu. Tangannya yang bebas memegangi bahu musuh. Ia menekan keras dan secara bersamaan gondola itu luruh ke bawah "Kakak...!" Baru kali ini Yunia melihat dengan mata kepalaanya sendiri. Bagaimana bengisnya Dony ketika sedang bertikai. Tapi bukan itu yang paling penting. Adalah mengetahui keadaan Donylah yang sangat ingin ia ketahui. Yunia menengok ke bawah. 'Apa aku harus terjun?' Bahkan pertanyaan bodoh itu terlintas di otaknya. Hatinya begitu cemas. Yunia terus memegangi jantungnya yang seakan terpompa lebih cepat dari yang seharusnya "Kak Dony...!" lirihnya sambil sesenggukkan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD