bc

The Love-Birds (Indonesia)

book_age0+
1.0K
FOLLOW
4.9K
READ
love-triangle
friends to lovers
powerful
student
drama
comedy
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Ocean tak pernah menyangka bakal menikah muda. Apalagi, dengan seorang pemuda yang dalam pertemuan pertama mereka tidak meninggalkan kesan baik di benaknya. Dengan nekat, mereka kawin lari. Tetapi mungkin begitulah garis takdir; bahwa Ocean dan Shores harus saling melengkapi sebagai sepasang burung yang selalu kasmaran. Seperti hakikatnya lautan dan pesisirnya yang saling memeluk; Ocean (laut) dan Shores (pesisir laut). Mereka adalah satu.

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Ocean punya kehidupan yang “bebas”. Sama seperti namanya, laut, atau samudra yang lepas. Kebebasan dalam hidupnya berarti, ia bisa melakukan apapun yang disukainya tanpa kekangan. Dan sebetulnya, Ocean tak suka apa-apa selain jalan-jalan sendirian sambil bernyanyi. Lahir sebagai anak perempuan satu-satunya dalam keluarga yang didominasi oleh laki-laki, membuat Ocean tak banyak memiliki ruang gerak. Mereka terlalu over-protektif padanya. Sampai-sampai Ocean dijebloskan ke dalam sekolah khusus perempuan yang ketat, dan harus tinggal di asrama selama 3 tahun lamanya. Ayah dan kakak-kakaknya bilang mereka tak mau ia terjerumus ke dalam pergaulan kota yang tidak-tidak. Tak ayal, alasan itu membuat Ocean kesal bukan main. Memangnya dia mau melakukan apa di dalam hidupnya ini? Ocean tak akan terjerumus pada lembah apapun, asal mereka tahu saja. Sayangnya, mereka tak bakal mau dengar alasan apapun yang dikatakan oleh seorang anak bungsu, yang selalu dianggap ingusan dari tahun ke tahun—dan entah kapan stigma seperti itu akan berhenti. Fyuhhh, jadi inilah perasaan Ibunya dulu yang sering bercerita soal kekhawatiran Ayahnya yang berlebihan itu? Ya ampun—sabar sekali ya, Ibunya, hidup bertahun-tahun dengan seorang pria yang pengatur seperti Ayahnya. Tapi bagaimana pun juga, Ocean sangat menyayangi seluruh keluarganya tanpa kecuali. Meski sebagian besar dari mereka sangat suka sekali menceramahinya, kalau ia sudah mulai ketahuan melancong. Di musim panas yang harusnya berjalan dengan menyenangkan ini, Ocean sudah menyusun rencana untuk menyelinap pergi dari asrama. Ocean ingin menghirup udara bebas. Daripada mati bosan terkurung dalam gedung, dengan setumpuk buku pelajaran yang sama sekali tidak menggugah selera. Uh. Maka pada saat itu, seperti biasanya, Ocean selalu punya cara, dan jalan keluar untuk pergi dari kebosanan. Ia secara diam-diam pergi lewat pintu samping asramanya yang selalu digembok itu, tapi dengan pintar—Ocean menduplikasi kuncinya sejak beberapa minggu lalu. Dengan mengenakan kaos longgar, jaket denim dan celana jeans, Ocean melewati kebun asrama dengan sangat hati-hati. Untung, murid-murid sedang melaksanakan ibadah rutin. Ocean? Nanti sajalah kalau masalah satu itu, yang penting ia keluar terlebih dahulu dari asrama ini. Tuhan kan baik, dosa-dosanya pasti diampui sebab ia hanya melewati sekali saja ibadah rutin di asrama. Selang sepuluh menit, Ocean berhasil melewati pintu samping, dan pemandangan London yang lebih jelas pun kini menyambut pengelihatannya. Oh Tuhan, inilah yang selalu dia rindukan setiap saat. Dengan begitu riang, Ocean mengurai langkah. Rasanya sangat lega bisa keluar dari asrama sambil membawa ponselnya. Oh, yap. Ponselnya memang harus dia bawa. Karena salah satu alasan Ocean keluar dari asrama ini adalah tak lain karena soal kencan buta! Ya, kencan buta. Date bersama seseorang. Ocean punya jadwal kencan buta dengan seorang lelaki muda yang dikenal lewat aplikasi dating, yang tengah populer di Inggris, bahkan mungkin di seantero dunia. Kalau sedang di rumah, Ocean tak punya kesempatan hangout dengan teman laki-laki. Jadi satu-satunya cara untuk mulai mengenal mereka adalah ketika dia sudah kembali ke sekolah. Well, lelaki ini cukup tampan dan mereka nyambung saat ngobrol. Nama teman kencannya Damian Clifton Ciff, seorang mahasiswa arsitektur yang bilang sangat mengagumi karya-karya Ibunya sebagai seorang desainer interior yang profesional. Hari ini, mereka janjian bertemu di sebuah cafe; yang bernuansa cozy dan tenang. Sesuai dengan request Ocean sendiri. Tetapi daerahnya cukup asing bagi Ocean saat dia mengeceknya lewat Google Maps. Untuk mengonfirmasi di mana posisi Damian, Ocean pun lalu menghubunginya lewat aplikasi Line. Di dering keempat, panggilan suara itu diangkat. “Halo, Sea. Sudah jalan?” Suara Damian yang charming masuk ke dalam pendengarannya. “Ya, aku sedang jalan kaki. Baru saja keluar dari asrama.” Jawabnya, berlomba dengan deru angin; angin yang berembus hari itu cukup kencang. “Pasti kau mengendap-endap.” Di ujung sana Damian tertawa, “Kau tenang saja, Sea. Aku juga pernah mengalami masa-masa itu. Percayalah, nyaris setiap murid yang tinggal di asrama pasti pernah mencoba untuk melarikan diri. Dan kau beruntung karena selalu berhasil.” Oh ya, selama ini memang Ocean tak pernah ketahuan oleh petugas asrama. Kalau sampai itu terjadi, matilah dia di tangan keempat laki-laki di rumah! Sebab pihak asrama pasti akan segera membuat aksi lapor-melaporkan. “Itu artinya, Damian Ciff—kau harus tutup mulut rapat-rapat.” Timpal Ocean, yang kian membuat tawa Damian meledak. “Baiklah, Sea.” Katanya akhirnya, barangkali perut lelaki itu sakit karena terlalu banyak tertawa. Ocean membuka Google Mapsnya lagi, mengira-ngira jarak dan daerah, tak jauh dari letak asramanya sih. Tapi ini sebuah daerah yang lumayan baru untuk dia kunjungi. “Jadi aku tak harus naik taksi online untuk sampai ke tempatmu sekarang berada?” “Memang tidak perlu, aku tak mau membuatmu nyasar karena berada di tempat yang jauh.” “Oke kalau begitu, aku akan segera sampai dalam 20 menit.” Ocean menyudahi percakapan mereka. “Hati-hati di jalan, ya.” Tutup Damian sebelum suaranya pergi dari jangkauan pendengaran Ocean. Lalu, Ocean mematikan ponselnya. Selagi ia berjalan kaki, Ocean amat menikmati pemandangan kota London yang tak terlalu ramai ini. Karena asramanya memang berada di pinggiran kota. Kalau kata Ayahnya, agar Ocean bisa fokus ketika sedang belajar. Pohon-pohon ditata sedemikian cantik sepanjang trotoar, bunga-bunga sewarna pelangi yang ditanam pada pot-pot, serta bendera Inggris yang berkibar ditiup angin musim panas yang hangat. Orang-orang lalu-lalang, sendirian maupun bergerombol dengan teman-teman mereka. Makin lama Ocean berjalan, makin sepi saja jalanan tersebut. Di layar Google Maps, ia diberi petunjuk untuk masuk ke dalam sebuah jalan baru yang tak terlalu besar. Di mana bangunan-bangunannya dicat dengan cat yang begitu kaya warna-warni. Ocean tanpa ragu masuk ke dalamnya. Dan terus ia mengikuti jalan itu. Namun tiba-tiba, feeling Ocean menjadi tak enak. Apakah ia salah jalan? Apakah jalan menuju cafe itu memang mengarah ke sini? Tapi, di sini suasananya memang benar-benar tenang sih. Ocean memutuskan untuk bertanya pada orang yang lewat. Mereka bilang Cafe Lilacs memang berada tak jauh dari sini. Ocean hanya harus menyusuri jalan-jalan yang tak terlalu lebar namun asri. Ocean baru tahu, jika rupanya jalanan ini sangat memiliki nilai seninya tersendiri. Namun kebanyakan kaum milenial takkan peduli dengan tempat yang menurut mereka akan membosankan dan tidak “hype” ini. Setelah 15 menit lewat, Ocean melihat gang-gang sempit yang dihuni oleh rumah-rumah warga yang berdempetan. Di sini, tak ada orang lagi yang terlihat. Karena khawatir menyasar, Ocean mencoba menghubungi Damian. Namun sialnya, ponsel dan seluruh akses komunikasi lewat aplikasi milik pria itu tak aktif. Damian tak bisa dihubungi. Apakah ponselnya mati? Ketika Ocean akhirnya memilih untuk tetap menyusuri jalan, langkah kakinya dihentikan oleh suara ribut-ribut yang terdengar sayup-sayup. Insting memanggilnya untuk mendekat ke arah sumber suara. Dan akhirnya Ocean menemukannya. Coba tebak apa yang terjadi? Ocean melongo. Aksi intimidasi di depan matanya benar-bener keterlaluan sekali. Dia melihat tiga laki-laki sedang mengancam seorang pemuda yang di tangannya tergenggam sebuah gitar. Pemuda malang itu sedang mencoba menjelaskan sesuatu, tapi ketiga lelaki t***l lainnya tak mau mendengar dan malah terus-terusan mengatakan kutukan dan sumpah serapah mereka. Sungguh mengerikan ketika Ocean mendengarnya. Rasa kemanuasiaanya yang tinggi membuat Ocean lalu berinisiatif untuk melaporkan kejadian ini pada pihak yang berwajib. Tetapi sebelum itu, Ocean harus mendapatkan satu bukti. Maka, detik itu juga Ocean mengeluarkan ponsel dari saku celana. Gadis itu siap-siap hendak merekam, saat tangan salah satu dari mereka hendak melayang ke wajah si pemuda tersebut. Tapi, lagi-lagi sial— Chesee! Ponsel itu mengeluarkan sebuah suara yang ceria. Jantung Ocean pun mendadak turun sampai ke dasar perut. Bahaya! Sedetik kemudian, ketiga laki-laki yang sedang mengerubungi si pemuda yang membawa gitar itu, berbalik serempak ke arahnya. Tatapan mereka seakan siap untuk menerkamnya. Damn. Ini sih namanya mengorbankan diri ke sebuah kandang buaya. “Wah, wah, wah. Ternyata ada perempuan dungu yang sedang merekam kita.” Salah satu dari lelaki itu melepaskan cekikannya di leher si pemuda yang menjadi terbatuk-batuk—sekaligus terkejut saat matanya bertemu pandang dengan mata Ocean yang membeliak ngeri. Dalam pikirannya, pemuda itu mungkin sedang bersyukur dan bilang, “Oh, Tuhan. Terima kasih atas bantanmu yang telah menurunkan seorang malaikat”, tapi tak ada yang tahu pula jika pikiran pemuda itu malah berkata sebaliknya, “Bodohnya perempuan ini! Apa sih yang sedang dia coba lakukan itu? Dungu sekali memang!”. Yeah, apapun yang ada di pikirannya, yang jelas pemuda itu sangat-sangat terkejut. Jadi, kini ada dua ekor tikus yang terperangkap tiga ekor serigala? Hebat, benar-benar hebat! “Kau juga mau cari gara-gara, setan cilik?” Yang satu bertanya, nada yang pria itu gunakan saat mengintimidasi Ocean sangat kasar. “Kau juga mau jadi seperti cecunguk satu ini?” Katanya, sembari dia menoyor kepala si pemuda yang kalau dilihat-lihat, wajahnya tampan meski agak dekil. “Dia akan melaporakan kita pada polisi, bos!” Seru pria lainnya, mengompori karena seperti menemukan mangsa baru. “Coba saja lihat tadi, dia merekam kita pakai ponsel. Aku sangat yakin perempuan ini akan mengirimkan video itu pada polisi.” Si lelaki ini mencoba makin membuat panas keadaan. “Habisi saja mereka!” Seru orang yang terakhir. “Ikat mereka berdua. Dan kau, karena kau sudah ikut campur, kami takkan segan-segan ikut melemparkanmu ke dalam danau!” “Eh, aku, aku,” Ocean gugup. “Aku tidak mencoba melakukan apapun.” Harusnya Ocean mundur dan lari, namun kedua kakinya seolah menjadi pasak di tanah. Tak bisa dia gerakkan sedikit pun. Sialan benar, mengapa juga tubuhnya harus membeku di saat-saat genting seperti ini? Ketika ketiga lelaki tersebut mengurai langkahnya untuk mendekati posisi Ocean, pemuda yang membawa gitar itu berjongkok. Tangannya dengan gesit menjangkau sebilah kayu yang dia temukan secara random di atas tanah. Dan sebelum ketiga lelaki bar-bar tersebut menyadari bahwa salah satu buruan mereka mendapatkan kekuatan tambahan, si pemuda dengan cepat langsung melayangkan balok kayu itu masing-masing ke kepala para laki-laki itu. Mereka menjerit kencang, marah—dan tak menunggu waktu lama untuk makin mengamuk. Tapi dengan cepat pula, dengan kecerdikan yang tidak disangka oleh siapapun akan ada dalam otak si pemuda kumal itu, dia menarik satu tangan Ocean untuk menjauh dari keributan. Tubuh Ocean yang tak bisa dikendalikan itu seolah melayang-layang. Mereka kini berlari sekencang-kencangnya. Dengan si pemuda yang memegang pergelangan tangan Ocean, dan entah mereka akan berakhir di mana. Dan belum lagi, ketiga orang lelaki yang masih mengejar-ngejar mereka. Barangkali, pemuda ini sering terlibat masalah di sekitar sini. Terbukti dengan larinya yang mencerminkan tahu seluk-beluk gang, yang tidak Ocean ketahui. Mereka berlari ke dalam gang di jalan yang berkelok. Berkali-kali pula mereka terjatuh lalu bangkit dengan buru-buru. Setelah ketiga laki-laki jahat di belakang mereka mulai keteteran dalam mengejar, pemuda itu menghentikan lariannya pada sebuah jalan yang dikurung oleh tembok-tembok. Ocean nyaris saja memuntahkan isi perutnya karena mual sehabis berlari seperti orang gila. Lima menit lamanya, mereka berdua berjuang untuk mengembalikan napas masing-masing. Setelah reda serangan badai sesak itu, Ocean terkejut karena pemuda itu malah marah-marah padanya. Tak ternyana sekali! “Kau! Semua ini gara-gara kau!” Katanya dengan sengak, kening Ocean langsung berkerut dengan sangat tidak senang. “Kalau kau tidak tiba-tiba muncul, aku takkan nyaris mati begini karena habis oksigen.” Uh, berani sekali pemuda gembel ini membentaknya! Memangnya, dia pikir siapa dia itu? “Ha! Aku?” Ocean ikut meledak juga. Amarah yang tak disangka-sangka itu bersemayam di tubuhnya. “Seharusnya kau berterimakasih padaku, kalau aku tidak mengalihkan perhatian mereka, wajahmu itu pasti akan habis dihajar sampai babak belur, tahu!” Kerungnya. Tapi si pemuda tetap keras kepala dan tak mau sadar. “Oh, ya?” Si pemuda pura-pura terkejut. Namun rautnya kembali menjengkelkan. “Kau pikir aku tak bisa menangani mereka? Tsk, aku hanya sedang pura-pura lemah saja.” “Pura-pura lemah kau bilang, huh? Kau memang lemah!” Balas Ocean. “Kau kira aku tak melihatmu yang ketakutan dikepung seperti cecurut tadi? Menyedihkan sekali tahu dengar kau bilang begitu. Sok-sok kuat demi menutupi kelemahanmu yang memang jelas itu!” “Hahaha, lucu!” Si pemuda yang tersinggung itu melangkah ke hadapan Ocean dan membuat Ocean mundur selangkah. “Kau yang paling dungu di sini! Bagaimana mungkin kau berniat mau menyelamatkan orang dengan pikiran t***l begitu? Merekam mereka dengan suara-suara ponselmu yang sangat bodoh itu?” Kata demi kata pemuda itu membuat Ocean disengat oleh rasa jengkel. Euh, rasanya ingin sekali Ocean menyumpal mulut pemuda itu dengan sebaskom jus cabai. “Kau dengar ya, aku memang lupa mengaktifkan mode silent ponselku, tapi—” Kata-katanya keburu dipotong pemuda itu, “Nah, kau mengaku sendiri di mana letak kebodohanmu!” Menjadi sangat kesal, kepala Ocean sampai berasap seperti tungku yang berapi, “Terserah kau saja ya wahai pemuda lemah.” Akhirnya, Ocean memutuskan untuk mengalah. Untung saja Ibunya selalu mengajarkannya untuk bersikap tenang. “Lebih baik aku tidak meladeni orang seperti kau yang tidak tahu diuntung ini. Sudah tahu orang punya niat menolong, malah kau maki. Bye!” “Hei, mau pergi ke mana kau?” Pemuda itu dengan berani mencegat lengan Ocean. Ocean otomatis berbalik dengan bola mata yang nyaris keluar, super terganggu, “Jangan pegang-pegang aku! Dan apalagi sih maumu?” Kesal sekali dia. Dari tadi mereka hanya membuang waktu dengan ribut-ribut tak jelas, tapi saat Ocean sudah hendak pergi—kenapa pula pemuda sinting ini malah melarangnya? “Ini mauku.” Si pemuda itu lalu menunjukkan gitar kesayangannya. Yang rusak karena terdapat goresan oleh tembok-tembok selama mereka berlari meyusuri pemukiman penduduk yang disusun terlalu padat. “Kau ganti rugi atas kerusakan-kerusakan yang kualami. Ini gitar yang sangat berharga untukku. Dan karena kebodohanmu itu, kau telah merusaknya. Jadi, aku meminta biaya ganti rugi.” “Ha?” Ocean kehilangan kata-kata. Dia merasa diperas sekarang. Kok harinya sial sekali sih sekarang? Apakah ini teguran Tuhan karena dia kabur selagi teman-temannya sedang melakukan ibadah? Tapi, ini bukan pertama kalinya Ocean melakukannya. Mengapa baru kali ini ia sial? Sial yang hebat pula. “Sejak kapan orang yang mau menolong malah dituntut membayar uang ganti rugi? Kau mabuk, ya? Gila?” “Sangat menjengkelkan sekali berurusan dengan orang sepertimu.” “Kau pikir kau tidak.” “Ah, sudahlah.” Si pemuda mengibaskan tangan. “Aku minta 500$ sekarang juga!” “Mana bisa? Yang pegang gitarnya siapa? Tanganmu juga, kan? Kau, kan? Kalau gitarmu rusak, ya itu karena kelalaianmu sendiri! Kenapa kau malah sibuk salahkan orang lain?” Ocean membalikkan keadaan. “Jika kau tetap paksa aku untuk bayar. Baiklah. Tapi setelah itu aku akan lapor polisi atas tindakan pemerasan. Mau begitu? Kalau kau bersedia, akan kubayar sekarang juga.” Wajah si pemuda menjadi luar biasa kesalnya. Dia seperti ingin menenggelamkan Ocean ke sungai sss. “Sial sekali aku hari ini bertemu dengan manusia macam kau.” Gerutunya kesal. Ya meskipun gadis ini cantik sekali, tapi kalau sengak dan menyebalkan buat apa coba? Tak ada enak-enaknya untuk dipandang. “Aku pun ketiban sial.” Tukas Ocean makin kesal. Tak bisa lagi mencari-cari kosa kata yang lembut untuk meladeni pemuda tidak tahu diri ini. “Semoga aku takkan lagi bertemu kau!” Doa pemuda itu. Yang raut wajahnya sudah muak terhadap Ocean. “Semoga Tuhan juga dengar doaku agar dijauhkan dari orang yang bermasalah seperti kau!” Balas Ocean yang tak mau kalah. “Kau pasti sudah berbuat kesalahan yang sangat besar pada ketiga laki-laki itu sampai kau dikejar begitu rupa seperti itu. Seharusnya aku biarkan saja mereka memukulimu.” Lalu, telunjuk mereka saling menunjuk. Menuding satu sama lain sebagai penyebab kesialan masing-masing. Setelah puas beradu argumen lagi lewat tatapan mata, keduanya membalikkan tubuh. Dan sama-sama pergi dengan mencari arah yang berbeda. Daun-daun kering yang terangkat menjadi garis pemisah di antara mereka. Dramatis. Ocean masih menggerutu setelah keluar dari daerah itu. Lalu baru sadar akan keadaannya yang kotor karena ketika berlarian, ia dan pemuda yang berpenampilan gembel itu sempat jatuh beberapa kali di tanah. Melupakan Damian yang juga sama sekali tidak mencoba menghubunginya balik, Ocean memutuskan untuk kembali ke asrama. Moodnya sudah hancur berantakan. Sialan benar memang pemuda itu. Ocean sama sekali tak mengerti dengan jalan pemikirannya. Apa pemuda itu tak mau ditolong? Dengan masih misah-misuh, Ocean tetap berjalan di sepanjang jalan. Kala jalanan sudah mulai ramai. Orang-orang pinggiran kota London yang ada di sana mulai memperhatikan penampilannya yang acak-acakan. Barangkali bertanya-tanya musibah macam apa yang terjadi pada gadis muda itu. Setelah tiba di dekat asrama, Ocean menyiapkan kunci cadangannya. Kali ini bukan sebuah pintu yang digembok dari arah dalam. Tapi Ocean berjalan menuju kebun samping yang satunya, setelah memastikan bahwa semuanya sudah dalam kondisi aman. Ocean lalu setengah membungkukkan tubuhnya saat membuka pintu samping asrama, yang terhubung ke gudang. Ketika bunyi klik terdengar, Ocean tersenyum lebar sembari menarik gagang pintu. Namun seketika itu, senyuman lebarnya harus luntur detik itu juga ketika matanya menangkap sesosok tubuh yang menjulang, berdiri menghadang jalan miliknya. Ocean tak mampu menggerakkan rahangnya untuk menganga. God damn it. Itu Christian Aiden. Yang secara mengejutkan sudah ada di sana. Pria itu berdiri menunggu responnya yang paling sederhana, sembari melipat dua tangan di d**a—ditambah seram dengan wajah tanpa ekspresi. Bagaimana mungkin bulu kuduk Ocean tak merinding melihat pemandangan itu? “Sea.” Panggilan itu membuat tubuh Ocean membeku seketika. Sensasi ini lebih menakutkan dari kejaran tiga orang lelaki beberapa saat lalu. Percayalah, kalau Christian Aiden akan sangat mengerikan saat dalam keadaan marah. Dan berani taruhan, meski mulutnya diam, pria itu pasti sedang menahan kesal setengah mati pada Ocean. What the hell. Ocean tak bisa mengelak apapun lagi, dia sudah menggali kuburannya sendiri. “Hai, Dad.” Ocean menyapa dengan kikuk. Akhirnya. Setelah ia merasa bibirnya tak sekaku bayangannya. Ternyata, mulutnya bisa berfungsi dengan baik meski gemetar. Tapi tetap saja Christian Aiden masih diam bagai patung. Ayo, Ocean, katakan sesuatu lagi. Jangan beri jeda nanti pria ini menyemprotmu dengan amarahnya, bisiknya dalam hati. “Aku tidak menyangka Dad akan menjengukku di hari minggu musim panas pertama. Um, omong-omong, mengapa Dad bisa ada di sini?” Ini terlihat menyedihkan, bagaimana mungkin Ocean bisa berpura-pura tak ada apapun yang terjadi pada keadaan seperti ini? Biasanya, setiap kali bertemu dengan Ayahnya yang galak, Ocean selalu ingin berlari memeluk pria itu. Apapun alasannya Ocean akan menghambur ke Christian Aiden yang amat sangat dicintainya. Tetapi kali ini, mengapa semua itu sulit dilakukannya? Ocean tertahan di tempatnya dan sama sekali tidak bisa berkutik. Sebab, Ayahnya kelihatan sangat kecewa sekali. Wajar saja. Sudah berkali-kali Christian Aiden mengingatkannya untuk punya sikap yang penuh kedisiplinan. “Kau pikir, Dad tidak tahu tentang ini?” Ha? Christian Aiden bicara! Pria itu buka mulut. “Huh?” Ocean blank, apa yang harus dia lakukan sekarang? “Tahu tentang apa, Dad?” “Kau masih ingin berpura-pura di depan Dad, dengan tidak mau mengakui kesalahan apa saja yang sudah kau lakukan?” Tanya Christian lagi. Dengan adanya pertanyaan tersebut, Ocean mereguk ludah susah payah. Ya ampun, dia harus membalas apa? Christian memindai Ocean dari kepala sampai ke ujung kaki. Keningnya makin merengut tak suka. Siapa yang tak kesal melihat putrimu keluyuran tanpa izin dari pihak asrama, lalu pulang dengan keadaan seperti ini? Ayah mana pun akan menuntut penjelasan sampai tak ada satupun hal yang terlewat. “Halo, Ocean.” Tanpa penjelasan lebih lanjut, Christian Aiden mengeluarkan seseorang yang kali ini benar-bener membuat Ocean membuka mulut, nyaris menjatuhkan rahangnya. Di hadapannya kini ada seorang laki-laki yang wajahnya sangat mudah dikenali. Yang menjadi penyebab Ocean pergi dari asrama; yang menjadi penyebab bertemunya dia dengan pria gembel beberapa saat lalu itu. Karena Damian, Ocean jadi tersasar. Tuh, kenapa Ocean jadi hobi sekali menyalahkan orang lain sekarang? Jangan-jangan, kuman dari si pemuda menyebalkan itu telah menular padanya! “Damian?!” Ocean membelalak. Tidak percaya dengan apa yang terjadi sekarang di depan mata kepalanya. “Kau benar-benar Damian, kan?” Dia bertanya untuk memastikan sekali lagi. Pria itu mengelus tengkuknya yang tidak gatal, merasa tak enak hati karena telah mempermainkan Ocean. Namun bibirnya tetap cengengesan, menyebalkan sekali! Kenapa pula orang-orang hari ini begitu mengesalkannya? Huh. “Aku disewa oleh Ayahmu untuk mengungkap bahwa selama ini kau sering pergi keluar asrama. Maaf ya.” Kata Damian dengan kalem. “Ini memang semacam jebakan, tapi aku tidak bermaksud untuk melukai kepercayaanmu.” Apa?! Jadi, Damian menjebaknya? Tatapan Ocean beralih pada Christian Aiden yang rasanya menjadi seribu kali lebih menakutkan di matanya usai kejadian ini. Otak Ayahnya cerdik sekali! Pria itu barangkali sudah curiga entah sejak kapan. Apakah selama ini diam-diam Ocean berada di bawah penyelidikan Christian Aiden? Kalau itu benar, matilah dia. “Dad.” Ocean lagi-lagi speechless. Christian Aiden mengangkat tangannya, “Dad will explain to you, and you also do the same.” Lalu, tubuh yang masih sangat tegap di usia yang sudah tidak muda lagi itu berbalik membelakangi Ocean. Christian Aiden kini terlihat seperti tembok yang sulit sekali untuk sekedar dirobohkan. “Ikuti Dad.” Sudah. Itu artinya, riwayat Ocean akan tamat sebentar lagi. Mau tak mau, Ocean mengikuti langkah Ayahnya. Di sana, Damian pun ikut mensejajari langkah Ocean. Pria itu pasti akan menjadi saksi mata. “Kau tahu tidak, Sea? Di ruang kepala sekolah sana ada ketiga kakak-kakakmu.” Bisik Damian padanya. Tak ayal, informasi tersebut makin memperkeruh keadaan hati Ocean. Dan rasa sebalnya pada Damian menghasilkan ekspresi mood Ocean yang hancur. Gadis itu tanpa tanggung-tanggung menyikut Damian, sampai pemuda itu mengaduh. “Diam, kau!” Ocean geregatan. Oh, hari ini akan benar-benar menjadi hari tersialnya sepanjang sejarah. This is the best jokes ever! ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Long Road

read
118.3K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
475.1K
bc

His Secret : LTP S3

read
651.3K
bc

A Secret Proposal

read
376.5K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
220.4K
bc

CEO Pengganti

read
71.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook