"Tuan, bisakah kami meminta waktu Anda sebentar?"
Suara riuh para wartawan yang mencari kebenaran berita tentang mereka, memenuhi gendang telinga Jonathan dan Naya saat keduanya masuk ke dalam mobil. Pilihan yang buruk untuk mereka berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan karena saat keluar, keduanya langsung diserbu oleh para wartawan. Padahal Jonathan yakin, sebelumnya dia tidak merasa ada wartawan.
Mungkinkah, berita tentang dia yang tidur dengan Naya sudah tersebar sangat luas? Ya, mungkin juga karena dia datang sambil membawa Naya ke pesta dan mereka tidak kembali sampai pesta berakhir. Namun karena Jonathan tidak memiliki banyak waktu untuk meladeninya, dia memilih mengabaikan dan membiarkan saja tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Biarlah rumor tersebar tentangnya.
Lain halnya dengan Naya yang justru menundukkan kepala tanpa mau menatap atau menjawab. Dia memegang erat lengan Jonathan dan bersembunyi di balik pakaian laki-laki itu sampai mobil milik Jonathan melaju dengan cepat meninggalkan mall. Meninggalkan wartawan yang memburu berita tentangnya.
"Apa yang terjadi denganmu? Kau baik-baik saja?" Jonathan sedikit merasa heran dengan Naya. Hingga wanita itu kemudian mengangkat wajahnya dan menatap matanya dengan ekspresi takut.
"Tolong, jangan biarkan mereka mengetahui tentangku."
"Apa maksudmu? Semua media sedang membicarakan kita. Bukankah kau harusnya merasa terhormat karena diakui sebagai wanitaku?"
Jujur, egonya sedikit terluka saat Naya seolah enggan disandingkan dengan namanya. Bagaimana mungkin wanita itu bisa bersikap demikian? Di saat semua wanita ingin namanya berdampingan dengannya. Digosipkan dekat dengan seorang pengusaha muda sepertinya, tapi Naya justru menolak.
"Aku tidak mau. Aku tidak menyukainya." Semua ini gara-gara pesta sialan itu. Naya tahu semua orang pasti membicarakannya yang merupakan wanita asing, namun memiliki posisi di samping Jonathan, bukan Sherly yang awalnya adalah tunangan laki-laki itu. Ditambah, seperti yang Isabel sebutkan kalau mungkin saja ada orang yang mengikuti mereka saat dia dibawa ke salah satu kamar oleh Jonathan. "Aku mohon, tolong buat berita itu lenyap."
Jonathan mengalihkan perhatiannya pada sang sopir yang sibuk dengan kemudi. Memastikan sopir itu tidak mendengar percakapan mereka. "Aku tidak akan melakukannya tanpa imbalan. Menutup media dan menarik berita yang sudah beredar, itu artinya aku harus mengeluarkan banyak uang."
Naya tahu itu. Jonathan tidak mungkin menurutinya tanpa dia memberikan apa yang diinginkan laki-laki itu. "Lalu, kau ingin aku membayarnya dengan apa? Aku tidak punya uang. Apakah tubuhku cukup? Apa kita harus melakukannya di sini?"
Sang sopir yang awalnya tak terlalu mendengar percakapan keduanya, justru terbatuk saat Naya melontarkan pernyataan itu. Membuat Jonathan spontan melotot geram ke arahnya hingga sopir tersebut berkeringat dingin dan pura-pura kembali fokus ke arah jalanan.
"Tutup mulutmu. Aku bisa memasukimu kapan pun aku mau dan aku tidak butuh uangmu. Aku ingin sesuatu yang lain."
Wajah Naya tertunduk malu. Dia hanya refleks menawarkan diri karena berpikir, kalau Jonathan akan menyukainya. Ya, mau bagaimana lagi? Naya tidak boleh membiarkan siapa pun kembali mengorek masa lalu yang sengaja dia sembunyikan rapat-rapat. Cerita kelam yang membuatnya terluka sampai hari ini. Dia tidak ingin publik tahu dan dirinya menjadi incaran dari orang-orang yang menyerang keluarganya dulu. Naya takut. Sangat takut.
"Aku akan memberikan apa pun, tapi aku mohon, tolong jangan biarkan berita itu tersebar luas."
Semakin orang tahu kalau dia adalah wanita Jonathan, maka akan semakin banyak orang yang iri dan berniat menghancurkannya dengan mengorek informasi tentang asal-usulnya. Naya takut kehidupannya semakin tidak tenang jika itu terjadi. Namun tentu saja, niatnya tersebut berlawanan dengan Jonathan yang memang pada dasarnya ingin semua orang mengenal Naya sebagai wanita miliknya.
"Baiklah, tapi kau harus menuruti semua yang kuinginkan tanpa terkecuali, mengerti?" Mata elang itu berpendar tajam dan menatap Naya dengan sorot menusuk.
Kesepakatan yang sama sekali tidak menguntungkan untuknya. Jonathan terlalu menyadari dan memanfaatkan situasi sulit Naya. Laki-laki itu licik, tapi Naya yang tidak memiliki pilihan lain hanya menurut. Selama Jonathan tidak menyuruhnya melakukan tindakan melawan hukum, dia terpaksa harus menurut.
"Ya."
"Bagus, kau wanitaku yang penurut."
***
Dalam sekejap, berita tentangnya dan Jonathan telah hilang. Membuat Naya akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Meski dia harus selalu menuruti semua ucapan laki-laki itu. Laki-laki yang saat ini tengah menyantap makanan buatannya dengan tenang.
Jonathan memintanya untuk menyiapkan makan malam mereka. Tanpa bantuan pelayan. Tentu karenanya, sepanjang Naya memasak, dia tidak henti-hentinya mendapati semua mata para pelayan tertuju padanya. Seolah sangsi apakah wanita rendahan sepertinya tahu cara memasak?
Akan tetapi, semua itu terpatahkan saat Naya berhasil menyiapkan beef steak untuk Jonathan. Laki-laki itu makan dengan sangat lahap. Sementara dia yang memang sudah makan sebelumnya, memilih untuk pergi dari sana. Akan tetapi, tentu tidak semudah itu, Jonathan dengan cepat menahan dan membuat Naya terduduk di pangkuannya, hingga Naya harus tersentak sekaligus kaget.
"Temani aku makan."
"Tapi aku ingin tidur."
Naya enggan bersama Jonathan lebih lama lagi. Dia ingin tidur dengan cepat dan mengarungi alam mimpi. Sayangnya, laki-laki itu seolah tuli dan tetap makan tanpa memedulikan Naya yang protes. Tentu tindakan Jonathan tak luput dari perhatian para pelayan yang kini menatapnya tajam. Sampai Jonathan menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya.
Naya menggeleng. Dia menolak satu suapan dari Jonathan karena perutnya masih terasa penuh. Jika dia makan sesuap lagi, bisa-bisa perutnya akan meledak. "Aku sudah kenyang, yang aku inginkan adalah tidur."
"Ya sudah, diam saja." Dengan entengnya, Jonathan makan sambil memangkunya. Membuat Naya merasa heran sekaligus tak habis pikir, bukankah apa yang dilakukan oleh laki-laki itu akan sangat tidak nyaman? Naya sendiri sulit untuk bergerak. Apalagi jarak antara dia dan laki-laki itu menjadi sangat dekat. Naya bahkan bisa melihat tiga kancing teratas Jonathan terbuka. Memerlihatkan dadà bidangnya.
Tubuh Jonathan tentu sangat kekar. Naya bisa merasakan tenaga laki-laki itu saat mereka sedang bersama di atas ranjang. Lengan, dadà dan perutnya. Sampai kadang dia berpikir, apa semua wanita sanggup melayani Jonathan yang tidak pernah puas?
Tak hanya itu, Naya juga selalu merasa kecil dan lemah jika berada dalam pelukan laki-laki itu. Mengingatkannya akan sang kakak. Ya, Naya berpikir kalau Jonathan sedikit mirip dengan kakaknya. Meski sifat keduanya tentu sangat bertolak belakang. Ketika kakaknya memeluknya, itu terasa seperti sebuah pelukan hangat untuk melindungi. Sedang setiap pelukan dari Jonathan, itu terasa seperti sebuah perangkap yang jika dia membiarkannya, maka dia akan terjebak selamanya.
Kakaknya selalu melindunginya sejak kecil dan Naya sangat menyayanginya. Sayangnya, peristiwa beberapa tahun silam telah merengut nyawa kakaknya juga. Naya sendirian. Dia tidak memiliki tempat untuk berlindung. Dia dipaksa harus menjalani kehidupan yang kejam ini seorang diri. Matanya tiba-tiba berkabut. Jika waktu bisa diputar, dia ingin menyelamatkan kakaknya agar tidak celaka dan mereka bisa melarikan diri. Tanpa harus hidup dengan cara seperti ini.
"Naya, aku tidak suka kau melamun saat bersamaku!"
Suara geraman yang menandakan kekesalan Jonathan terdengar di telinga Naya. Kepalanya langsung mendongak dan menatap iris mata hitam milik laki-laki itu. Naya bisa melihat dengan jelas kemarahan di mata Jonathan. Juga kedua alis yang tampak menyatu serta bibir tebal yang menipis. Laki-laki itu seperti sudah menghabiskan makanannya.
"Aku tidak melamun. Aku hanya lelah," kilahnya sambil memutus kontak mata di antara mereka. Siapa pun yang ditatap seperti itu akan grogi, sama halnya seperti Naya. Apalagi dia bisa merasakan tatapan para pelayan dari arah dapur yang masih memerhatikan mereka. "Jadi sebaiknya, biarkan aku tidur."
Naya menggenggam tangan kiri Jonathan yang melingkar di pinggangnya untuk kemudian dia lepas dan bisa pergi dari sisi laki-laki itu. Akan tetapi, saat dia berusaha melepaskan diri, Jonathan justru malah semakin mengeratkan pelukannya. "Nathan, aku ingin tidur!"
"Diamlah, kau tidak boleh ke mana-mana. Malam ini, temani aku," bisik Jonathan sambil menjilàt pelan telinga Naya. Entah sengaja tengah memancing wanita itu atau memang dia sedang berhasrat.
"Apa yang ada dalam pikiranmu hanya itu? Kenapa kau tidak memberiku istirahat sehari saja?" tanya Naya dengan wajah memerah. Ucapan Jonathan terdengar seperti perintah untuknya kembali memuaskan hasrat laki-laki itu. Mengangkang dan menerima Jonathan sepanjang malam.
"Hmm? Hanya itu? Apa yang ada dalam kepalamu? Malam ini, pekerjaanku sedang menumpuk. Aku ingin kau menemaniku. Apa kau baru saja berpikir kalau kita akan menghabiskan malam yang panas?" tebak Jonathan dengan tatapan menelisik. Perkataannya tentu cukup membuat mata safir itu membulat. Naya secara refleks mengalihkan pandangannya.
"T-tidak. Mana mungkin."
Jonathan mendengus dingin saat melihat reaksi Naya. Kata-kata dan sikap wanita itu yang mengalihkan pandangan, sudah menjelaskan apa yang tengah dipikirkan olehnya. "Dasar pembohong. Seandainya aku sedang tidak sibuk, mungkin apa yang ada dalam pikiranmu akan menjadi kenyataan."