053. Buku Masa Lampau

1146 Words
Laras membuka lemari kaca, nampak sebuah lukisan absurd yang dipajang berdiri dengan bingkai berukuran sedang. Itu adalah gambar dua gunung dengan sawah serta jalanan yang lurus, ditambah burung yang dibuat dari angka 3. Warna dalam gambar tersebut sangat berantakan, hampir keluar garis dan bahkan salah warna. Jika saja tidak ada tulisan nama pembuat di bagian atas, Laras tidak mungkin mengetahui bahwa ini adalah lukisan yang dibuatnya ketika masih kecil dulu. "Kenapa ini bisa di sini?" tanyanya dengan heran. Dia berbalik, menoleh ke arah kakaknya dan bertanya kembali, "Kak, kenapa gambarku bisa di sini?" Rifaldi mengalihkan perhatiannya ke adiknya, melihat Laras berdiri di depan lemari kaca yang dirawat dengan hati-hati oleh Gunawan membuatnya menghela napas. Ayah pasti tidak ingin Laras melihat semua ini, tetapi karena sudah terlanjut, maka Rifaldi tidak bisa menghentikan. "Ayah yang meletakkannya," jawabnya dengan halus. Kejutan melesat di wajah Laras. Gadis itu menatap kembali ke lukisan masa kecilnya. Dia adalah tipe orang yang mudah kehilangan sesuatu, jadi dia pasti tidak akan sadar bahwa dia kehilangan lukisan sejelek ini. Hanya saja dia tidak menyangka bahwa ayahnya yang buruklah yang mengambilnya. Tatapan Laras tertuju ke tempat lain, melihat berbagai hal asing yang tampak sedikit familiar untuknya. Dia membuka lemari selebar mungkin, memeriksa satu persatu isi dalam lemari tersebut. Ada kumpulan buku di bagian tengah lemari. Itu sangat banyak hingga hampir tidak muat. Laras mengambil beberapa, membuka setiap lembaran dan melihat sebuah coretan tanpa niat yang tertulis di dalamnya. Ini adalah buku catatan Laras ketika masih di sekolah dasar. Itu sangat berantakan, bahkan lebih buruk dari pada tulisan cakar ayam. Laras bahkan tidak bisa lagi mengenali setiap huruf dalam buku catatan ini. Kemudian Laras membuka buku lainnya yang merupakan buku tugas Laras di masa sekolah dasar. Membuka setiap lembaran berarti harus menelusuri kembali setiap nilai-nilai buruknya di masa lalu. Dengan hati meringis, Laras melihat tinta pena berwarna merah mencoret silang setiap jawaban yang dibuatnya disertai dengan nilai yang mencengangkan. Laras berdecak lidah, ingin segera membalik lembaran untuk menghilangkan angka minim itu dari pandangannya namun menghentikan gerakan tangannya ketika melihat sebuah catatan di bawah nilai dengan tinta biru yang berbeda dengan tinta hitam milik Laras dan tinta merah milik guru yang memeriksa. [Anakku sudah berusaha menjawab semuanya, seharusnya dia mendapatkan nilai lebih tinggi dari ini.] Siapa yang menulis ini? Ibunya? Laras bertanya-tanya dalam bingung, namun dia tidak bisa menjawabnya. Dia inga tulisan ibunya yang teratur dan bersih. Ibunya terbiasa menulis tulisan tersambung, sangat indah namun tak bisa dibaca oleh Laras. Tulisan ini pastinya bukan milik ibunya. Laras memiliki tebakan di hatinya namun sangat enggan untuk mengatakannya. "Ayah yang menulis itu, dia sering memeriksa buku sekolahmu." Suara kakaknya datang dari belakangnya. Laras menoleh, melihat Rifaldi yang telah berdiri di belakangnya entah sejak kapan. "Sering?" tanyanya dengan pandangan tidak percaya. "Ya," Rifaldi mengangguk, kemudian dia mengambil sebuah buku di barisan paling atas. "Ini buku catatan dan tugas kamu di kelas dua SMA." "Dia bahkan mendapatkan buku SMA-ku?!" Laras berseru kaget, mengambil buku tersebut dan memeriksanya. Benar saja, itu adalah buku tugas miliknya ketika di kelas sebelas. Nilai-nilainya yang didapatkannya tidak jauh berbeda dari buku sebelumnya, ditambah dengan pesan tambahan oleh ayahnya yang memperbaiki jawaban yang salah dan mengomentari. Setiap kali kenaikan kelas, Laras akan mengubah buku pelajarannya. Hanya saja dia tidak pernah begitu peduli dengan buku-buku sebelumnya yang dia anggap sebagai sampah dan bahkan lebih tidak peduli lagi di mana buku itu dibuang. "Kenapa ada sama Ayah?" tanyanya pada kakaknya, merasa semakin heran dan bingung. Bukankah ayahnya membencinya? Melihat kebingungan yang jelas di wajah adiknya, Rifaldi menghela napas. Dia merendahkan suaranya dan menjawab dengan nada yang lembut seorang kakak, "Ayah selalu ingin memeriksa pekerjaan sekolahmu, memeriksa nilai-nilai yang kamu dapatkan, dan juga mengetahui aktivitas yang kamu lakukan. Sebenarnya ayah sangat ingin kamu sekolah di kota ini." "Tidak mungkin, ayah sangat membenciku." Laras menggelengkan kepalanya, sama sekali tidak mempercayai kata-kata kakaknya. Namun lemari kaca ini seolah bukti yang menentang pikirannya, membuatnya membuka dunia lain dari sosok ayahnya yang tegas dan muram. Rifaldi tidak berbicara lagi, dia membiarkan adiknya itu memeriksa setiap buku miliknya di masa lampau dan terus terpukau dengan setiap catatan kecil yang ditinggalkan ayahnya. Padahal jawabannya sangat mudah. Ayah mereka hanya ingin menjadi ayah untuk putri kecilnya. Hanya saja putri kecilnya tidak menginginkan sosok ayah, tetapi keluarga yang utuh. Laras tidak bisa menerima ayah tanpa ibu, dan ibu tanpa ayah. Gadis itu hanya berdiam diri di rumah mereka yang lama menunggu mereka kembali datang dan tinggal bersama seperti dahulu, keluarga kecil yang bahagia. Mata Laras memerah, dia mencengkram urung buku di tangannya. Kemudian meletakkannya kembali di tempat semula. "Apakah ayah tidak membenciku?" tanyanya, dia memalingkan kepala dan melihat kakaknya, meminta pertolongan untuk menuntunnya. "Ayah tidak pernah membencimu," jawab Rifaldi dengan tegas. "Tapi dia mengusirku kembali ke kota B," gumam Laras dengan keluhan dalam nada suara. Rifaldi hanya bisa menyalahkan ayahnya karena berbicara dengan nada yang mudah membuat Laras salah paham. "Ayah tidak ingin kamu khawatir dan mengganggu sekolahmu. Percayalah, ayah sangat menyayangimu." "Benarkah?" Mata Laras berbinar, penuh dengan harapan dan rasa bahagia. Dia mulai terkikik senang, mengatur semua hal yang dia keluarkan dari lemari kaca kembali ke asal muasalnya dengan suasana hati yang gembira. "Aku akan ikut kamu ke rumah sakit!" "Kamu tidak ingin istirahat saja di rumah?" kata Rifaldi, masih khawatir adiknya kelelahan karena penerbangan yang mendadak siang ini. "Tidak," jawab Laras tegas, kemudian dia tertawa keras tanpa tahu bagaimana cara berhenti. "Ayah khawatir padaku, aku juga khawatir dengan ayah! Ayo selesaikan mengatur pakaian ayah, dan pergi jenguk ke rumah sakit." Gunawan saat ini sedang mengirim pesan kepada Rifaldi untuk bertanya apakah putri kesayangannya sudah makan atau belum, dia juga bertanya Laras sedang melakukan apa, dan yang paling penting ingin mengetahui suasana hati putrinya yang dia hancurkan tadi. Ketika dia masih dalam mengirim pesan beruntun ke putranya, suara pintu terbuka terdengar membuatnya mengangkat kepala dari ponsel. Dia terkejut melihat kedatangan kedua anaknya. "Kenapa kamu di sini?" tanya Gunawan dengan kening berkerut, menatap ke arah Laras dengan pandangan tidak puas. Jika ini sebelumnya, Laras akan marah dan pergi dengan mata penuh air mata. Namun setelah mengetahui bahwa ayahnya menyayanginya dan terlalu malu untuk mengatakannya, Laras tidak lagi mengambil pusing nada bicara ayahnya yang tidak enak didengar. Gadis itu tersenyum lebar, memegang rantang makanan dan berjalan masuk mendekat ke arah ayahnya. "Aku datang membawa makanan untuk Ayah! Apakah Ayah sudah makan?" Wajah Gunawan menjadi kaku melihat senyuman putrinya untuknya. Dia melihat ke arah rantang makanan dengan bingung. "Makanan harus disiapkan dari rumah sakit, jangan melakukan hal yang sia-sia." "Makanan rumah sakit tidak enak, lagi pula aku sudah konsultasi dengan dokter tentang makanan yang boleh dimakan oleh Ayah. Benarkan, Rifaldi?" Laras menoleh ke arah kakaknya untuk meminta bantuan. "Iya, Laras secara pribadi yang meminta dapur menyiapkan makanan untuk Ayah." Rifaldi meletakkan tas pakaian ayahnya, menjawab dengan tenang tampak terbiasa menjadi orang ketiga di antara mereka. Gunawan mengerutkan keningnya, dia menatap putrinya yang bahagia dengan aneh. Ada yang salah dengan situasi ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD