054. 4 Ons

1418 Words
Laras dengan senang hati menyiapkan peralatan makan untuk ayahnya, dia bahkan menawarkan dengan suara riang, "Ayah bisa makan sendiri? Atau Ayah ingin aku menyuapi Ayah?" Ketika dia berbicara, dia juga telah memegang sendok dan akan melakukan apa yang dikatakannya. "Tidak, berikan padaku." Gunawan langsung mengambil rantang dari Laras, "Untuk apa kamu melakukan hal memalukan seperti itu, tanganku masih bagus dan sehat," katanya dan mulai makan dengan cepat. Setiap kali Gunawan berkata dengan nada tegas dan penolakan seperti itu, Laras akan sakit hati dan merasa sedih. Bahkan tidak ingin lagi berada di sekitar ayahnya. Namun kali ini dia bahkan tidak menunjukkan ketidakpuasannya. Gadis itu terkikik geli seolah memikirkan sesuatu, dia duduk di bangku samping tempat tidur, memperhatikan dengan seksama ayahnya makan. "Ayah mencintaiku, dia memakan dengan lahap makanan yang aku bawa secara khusus," sorak batin Laras. "Kenapa kamu tertawa?" tanya Gunawan waspada, merasa heran bahwa putrinya itu bahkan tidak berniat membalas kata-katanya yang kasar tadi. Dia memperhatikan raut wajah gembira Laras, semakin merasa ada yang salah dengan situasi ini. Laras membiarkan ayahnya memperhatikannya dengan seksama, dia tetap tersenyum lebar sembari membalas tatapan ayahnya. "Karena aku sedang bahagia," jawab gadis itu dengan jujur. Kemudian dia merasa bahwa jawabannya sedikit salah, jadi dia meralatnya, "Maksudku sangat sangat sangat bahagia." "Jangan aneh, lebih baik kamu kembali ke kota B daripada tertawa bodoh seperti ini." Gunawan berkata langsung, namun beberapa saat kemudian dia menyesalinya. Bagaimana jika putrinya menangis lagi setelah dia mengatakan ini? Dia sangat impulsif ketika berbicara. Namun Laras tidak tersinggung sama sekali. Dia mengangguk dengan semangat dan tertawa keras. "Aku akan kembali nanti, aku tidak akan mengabaikan sekolahku karena ini, jangan khawatir." "Siapa yang khawatir? Jangan besar kepala," elak Gunawan. Laras mengangguk berulang kali, "Baiklah, aku tahu Ayah sangat menyayangiku. Aku juga sayang Ayah!" Gunawan tertegun dengan ucapan langsung dan lurus putrinya. "Omong kosong apa yang kamu katakan," katanya kikuk, tidak tahu bagaimana mengatur kata-kata dengan baik. "Aku bilang aku sayang Ayah!" Laras tidak mempermasalahkannya dan mengulanginya dengan suara yang lebih keras. Rifaldi duduk di sofa memperhatikan interaksi kedua ayah dan anak itu dan tertawa pelan. Matanya mengungkapkan kelembutan ketika matanya lurus mengawasi ayah dan adiknya. Setelah dua jam berada di rumah sakit, Laras diusir oleh Gunawan dengan kejam dan dingin. Laras malah tertawa keras hingga bahunya gemetar, "Baik, aku akan pulang sekarang dan tidur dengan nyenyak. Ayah tidak perlu khawatir." "Siapa yang khawatir padamu," elak Gunawan untuk kesekian kalinya, tidak ingin mengakui dirinya sendiri merasa khawatir pada anaknya. Laras merasa ayahnya sangat lucu sehingga dia tidak bisa berhenti tertawa malam ini. "Jika Ayah ingin sesuatu katakan saja secara langsung padaku," katanya. Seperti mendapatkan buku tugasnya, atau pun menanyakan keadaannya. Sayang sekali ayahnya tidak ingin mengakui itu semua dan sikapnya sangat keras kepala. Untuk sesaat Laras menyadari darimana sifatnya ini diturunkan. Besoknya Laras langsung mengambil penerbangan ke kota B setelah menjenguk ayahnya dan diusir. Dia merasa pikirannya sedikit lega setelah kedatangannya kali ini. Bukan saja dia telah memastikan bahwa ayahnya baik-baik saja, tetapi dia juga mengetahui bahwa ayahnya sebenarnya tidak membencinya. Betapa hebatnya itu, membuat senyum Laras tidak pudar untuk waktu lama. Sesampainya di bandara, Randi lah yang menjemput Laras. "Randi, aku sangat senang." Dia memegang tangan kakak sepupunya dengan gembira, melompat-lompat di lantai tanpa memedulikan sekitar. Jika saja dia punya sayap, dia mungkin bersedia terbang berkeliling. "Baiklah, apa yang membuatmu senang?" tanya Randi, menepuk kepala adik sepupunya dan menuntun untuk pergi ke tempat parkir. Laras terkikik, "Ayahku sangat menyayangiku. Dia bahkan memiliki lukisan yang aku buat saat kecil, dan juga mengulas semua buku tugas sekolahku. Betapa sayangnya ayah padaku." "Ayahmu memang selalu menyayangimu," kata Randi dengan tenang, melihat bagaimana adik sepupunya itu melangkah dengan hati-hati agar tidak mengenai garis ubin, sangat kekanakan dan lincah. Jika saja Randi melepaskan genggaman tangannya, dia yakin dalam sekejap Laras akan hilang karena saking lincahnya. "Iyakah?" tanya Laras bingung, "Kamu bahkan mengetahuinya." Dia menghentikan langkah kakinya, menyipitkan matanya menatap curiga ke arah kakak sepupunya. Kenapa dia merasa semua orang tahu segalanya dan hanya dia yang memiliki mata tertutup? Laras mulai merasa ada konspirasi yang terjadi di sini. Melihat wajah konyol adiknya, Randi mengusap kepala Laras geli. "Aku selalu mengatakannya dan kamu tidak pernah mempercayai itu," katanya. Laras mencoba mengingat dan memang benar setiap orang sepertinya mencoba menjelaskan bahwa ayahnya sangat menyayanginya. Namun Laras hanya mempercayai apa yang matanya lihat. Dia selalu mendapatkan komentar buruk dan tatapan angkuh ayahnya membuatnya percaya bahwa ayahnya membencinya dan orang lain hanya berusaha menghiburnya. "Siapa yang bisa menduga ayah akan begitu lucu, aku mulai merasa paham dengan semua kata-katanya." Laras masuk ke dalam mobil, menghela napas lega ketika dia bersandar dengan nyaman. "Itu bagus, jangan bertengkar lagi dengan ayahmu." Randi mengeluarkan mobil dari area tempat parkir dan bergabung dengan lalu lintas yang padat. Laras melihat ke jendela, memperhatikan keadaan di luar dengan santai. "Ya, aku tahu," katanya. "Um, jadi bagaimana keadaan ayahmu?" tanya Randi dengan santai. Untuk waktu yang lama, tidak ada jawaban sama sekali dari sekitarnya. Randi melirik sekilas, melihat gadis itu telah terlelap dengan nyaman. Segera Randi menepi mobil ke pinggir jalan. Dia memperhatikan wajah adik sepupunya yang tertidur nyenyak. Mungkin lelah dari perjalanan, sehingga dia segera tertidur langsung tanpa halangan. Bulu mata yang panjang milik gadis itu bergetar sedikit, mungkin masih setengah sadar. Randi menurunkan sandaran kursi agar membuat tidur adik sepupunya menjadi lebih nyaman. Dia juga mengambil selimut dari belakang yang khusus dia persiapkan untuk adiknya yang suka tidur di dalam mobil. Dengan perlahan, sebuah kain menyelimuti tubuh Laras dan tidur gadis itu menjadi lebih dalam. Ketika Laras terbangun, dia telah berada di dalam kamarnya, tepatnya di atas tempat tidur. Karena terbiasa teleportasi ke tempat tidur ketika bangun, Laras tidak lagi merasa terkejut. Dia bangun dengan malas, pergi ke dapur dan memanaskan makanan yang telah disiapkan untuknya. Setelah makanan siap, dia membawanya ke ruang tengah, memutar televisi dengan volume besar dan makan dengan santai di sofa. Mungkin saja karena dia benar-benar lapar sehingga dia makan sangat lahap, dan harus pergi ke dapur untuk memulai makan ronde dua. Setelah makanannya habis, dia menghela napas. "Sangat berbahaya, bagaimana jika aku jadi gemuk?" gumamnya khawatir. Setelah meletakkan piring kotornya dengan asal di mesin cuci piring, Laras segera memeriksa timbangan berat badannya dengan hati bimbang dan gugup. Berdiri di timbangan badan, matanya tertutup erat, takut melihat berapa berat badannya telah bertambah. Namun dia sadar bahwa akhirnya dia harus menghadapi kekejaman realita dan melihat berat badannya. Jadi secara perlahan Laras membuka matanya, menunduk sedikit dan melihat berat badannya yang bernilai nominal terpampang jelas di area pandangannya. Seolah guntur bergumuruh dan Sambaran petir terjadi di pikirannya, otak Laras menjadi linglung dan konslet selama beberapa saat. "Aku naik 4 ons!" serunya tidak percaya. Di kelas, Laras dengan tak bernyawa tergeletak di atas meja. Matanya terbuka lebar namun tanpa jiwa sama sekali, dia tidak bergerak sama sekali bahkan setelah Rena memanggilnya berulang kali. "Kamu kenapa sih?" tanya Rena sembari berdecak lidah. Setelah sekian lama, dia akhirnya bosan dan mulai sibuk memakan keripiknya sendiri, enggan untuk peduli dengan Laras lagi. Namun setelah Rena tidak peduli lagi, Laras segera bangkit dari meja dan menjawab dengan suara sakit hati. "Berat badanku bertambah 4 ons. Bayangin 4 ons! Seratus, dua ratus, tiga ratus, empat ratus gram!" Laras memegang dadanya, berperilaku seolah sangat tersiksa dengan semua penderitaan yang dia alami dari kemarin hingga sekarang ketika dia mengetahui berat badannya bertambah lagi. "Hanya karena berat badan?" Rena menatap Laras dengan tatapan kosong. Dia sebagai seseorang yang terlalu malas peduli dengan naik turunnya berat badan, merasa bahwa Laras sangat berlebihan. "Itu hanya 4 ons, bahkan belum 1 kilo." "Apakah kamu tidak tahu seberapa dekat 4 ons menuju 1 kilo itu? Sebelum bertambah menjadi 1 kilo, aku harus menghentikan ini!" Laras berseru dengan kesal, dia menatap Rena dengan pandangan tegas. "Aku akan diet!" serunya seolah telah membuat keputusan yang penting dalam hidupnya. Rena mengangguk malas, "Ya, silakan, aku mendukungmu." Setelah itu dia lanjut makan keripik, kemudian dia menawarkan ke Laras agar temannya itu tidak banyak bicara. "Mau?" Laras mengangguk, mengambil beberapa potong keripik dan makan sembari berpikir bagaimana caranya diet dengan benar. Namun segera dia melempar sisa keripik di tangannya dan melompat langsung dari bangkunya tanpa aba-aba membuat Rena terkejut. "Kenapa lagi?" tanya Rena. Laras menatap temannya itu dengan ngeri, "Aku baru saja mengatakan ingin diet dan seperti ini kah kamu mendukungku? Dengan memberikan keripik padaku?!" "Satu keripik bahkan tidak seberat satu ons. Setelah masuk perut, langsung hancur semua. Jadi untuk apa kamu takut?" Rena berkata dengan logikanya sendiri. Laras mengangguk, merasa bahwa Rena ada benarnya. Dia kembali duduk dan makan keripik bersama Rena sembari terus berpikir bagaimana cara menurunkan berat badannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD