052. Rumah Ayah

1083 Words
"Kamu istirahat yang banyak, jika butuh sesuatu kamu bisa memanggil bibi dan paman yang bekerja atau telepon aku." Rifaldi berkata dengan lembut dan pelan, disertai senyuman memanjakan yang sering kali dia keluarkan untuk adiknya yang tersayang. Laras mengangguk malas, memperhatikan kakaknya itu berbalik dan kembali masuk ke dalam mobil lalu pergi begitu saja. Setelah beberapa saat, dia juga berbalik dan masuk ke dalam rumah. Rumah ayahnya lebih luas dari rumah yang ada di kota B, dan juga memiliki beberapa asisten rumah tangga yang selalu menjaga kebersihan dan kerapian dalam rumah. Saat Laras masuk ke dalam, dia melewati beberapa asisten rumah tangga yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka. Masing-masing melakukan tugas yang diembankan ke diri mereka. Kebetulan Laras memang lelah, dia meminta seorang asisten rumah tangga untuk mengatur koper yang dibawanya lalu bergegas membuang dirinya ke empuknya tempat tidur. Suara dering ponselnya terdengar, dia dengan malas meraba-raba tempat tidur untuk melihat bahwa kakak sepupunya lah yang menelepon. Dengan gerakan lamban dia menerima panggilan dalam mode loudspeaker dan membiarkan ponsel terbaring lurus di sampingnya. "Kamu sudah di rumah?" tanya Randi. Laras bergumam, "Um, sekarang aku akan tidur." "Baiklah, kalau begitu aku tidak akan mengganggumu. Istirahat yang baik," kata Randi, tetap mempertahankan nada tenang tanpa fluktuasi apa pun. Laras menoleh untuk melihat ke arah ponselnya, "Oke," katanya. Dia tidak memutuskan panggilan, terlalu malas untuk menggerakkan tangannya untuk melakukan hal kecil seperti itu. Lagi pula dia yakin Randi akan melakukannya hal yang mudah itu untuknya. Secara bertahap Laras merasa kesadarannya mulai menghilang. Matanya menjadi berat sehingga kelopak matanya tidak bisa lagi terbuka. Lamban laun semua suara di sekitarnya menghilang diikuti dengan kesadarannya yang telah masuk ke dalam mode pasif. Gadis itu tertidur begitu saja dengan dadanya yang naik turun teratur, dia tidur meringkuk ke kanan menghadap ponselnya yang kini masih menunjukkan waktu panggilan berlangsung. Mendengar suara napas samar yang berirama, Randi akhirnya memutuskan panggilan dan kembali fokus pada buku di depannya. Ingin sekali dia mengikuti Laras untuk pergi ke kota D, mengingat sifat impulsif dan agresif gadis itu membuatnya merasa tidak nyaman meninggalkan gadis tersebut di kota lain yang tidak ada dirinya. Namun hal itu sebenarnya tidak perlu, lagi pula ada Rifaldi dan Gunawan yang pasti menjaga Laras lebih baik darinya. Sehingga Randi dengan cepat menghapuskan pikiran konyol itu dari otaknya. Saat Laras membuka matanya, matahari telah hampir tenggelam sepenuhnya. Gadis itu duduk di tempat tidur dengan linglung, melihat sekitar untuk mencari tahu dimana keberadaannya. Karena datang mendadak ke kota D, Laras belum beradaptasi dan melupakannya. Setelah beberapa saat, barulah dia teringat sepenuhnya dan menghela napas lega. Hampir saja dia berpikir bahwa dirinya terlalu cantik sehingga menimbulkan pikiran jahat kepala orang lain dan dia saat ini diculik untuk itu. Laras menertawakan pikirannya, bangkit dari tempat tidur dan keluar untuk mencari tanda-tanda kehidupan dalam rumah ini. Semua pembantu rumah tangga kerja 24 jam dan tinggal di bangunan belakang khusus kamar untuk pekerja, berbeda dengan Laras yang hanya memiliki Bi Ina yang bekerja merawat rumah, dan itu pun kerja dari pagi hingga siang hari saja. Kaki Laras melangkah ke tempat di mana suara terdengar yang membawanya ke meja makan yang kini diisi dengan berbagai makanan yang enak dan menggoda. Melihat menu yang disiapkan, sudah pasti jika semua masakan ini dibuat khusus untuknya. "Kamu sudah bangun? Ayo makan bersama," suara Rifaldi datang dari belakangnya. Laras menoleh, melihat kakaknya berjalan mendekat lalu duduk di salah satu bangku di depan meja makan. Gadis itu mengikuti untuk duduk di seberang kakaknya. Meja makan yang luas hanya diisi dua orang tampak terlihat sangat kosong. Meski begitu Laras tetap merasa senang, lagi pula ini berdua bukan sendirian. "Kamu tidak menjaga ayah?" tanya Laras berusaha terdengar cuek, tidak ingin dirinya terlihat begitu peduli dengan ayahnya yang mengusirnya bahkan sebelum dia satu jam tinggal di kota ini. Rifaldi mendorong makanan kesukaan Laras ke depan gadis itu untuk mempermudahkannya ketika mengambil makanan sembari menjawab pertanyaan Laras yang terdengar datar namun raut wajahnya tampak sangat penasaran dan mendesaknya untuk menjawab. "Setelah makan, aku akan ke sana. Ayah memintaku untuk menemanimu makan terlebih dahulu," jawab Rifaldi dengan jujur. Namun Laras tidak mempercayainya, dia berpikir bahwa kakaknya terlalu baik sehingga membuat kebohongan putih untuk ayahnya. Sayangnya Laras tidak akan tertipu dengan jenis kebohongan seperti itu, lagi pula dia sangat sadar betapa ayahnya tidak menyukainya. "Jangan berbohong demi ayah, aku tahu dia tidak akan melakukan hal seperti itu." Laras mendengus dingin, makan dengan raut wajah cemberut. Namun ketika merasakan makanan kesukaannya, suasana hatinya sedikit demi sedikit kian membaik membuatnya melupakan kekesalannya pada ayahnya begitu saja. Rifaldi menghela napas tak berdaya, tidak tahu bagaimana menyakinkan Laras bahwa ayah mereka sangat mencintainya dan bagaimana untuk membuat Gunawan agar tidak membuat Laras salah paham lagi. Setelah makan, Laras merasa perutnya mengembung dan akan meledak. Dia bersandar ke kursi, mengelus perutnya dengan puas akan semua rasa makanan yang memanjakan lidahnya. Melihat kakaknya akan bangkit dari meja makan, Laras buru-buru mengeluarkan suaranya untuk bertanya. "Kamu akan pergi ke rumah sakit?" tanyanya. Dia ingin sekali melihat ayahnya, mengawasi di sisinya tetapi terlalu enggan untuk mengatakannya. Dia hanya bisa berharap Rifaldi memiliki pikiran sejalan dengannya dan memanggilnya untuk pergi bersama ke rumah sakit. Namun nyatanya pikiran mereka tidak tersambung sama sekali. Rifaldi mengangguk dan malah menjawab dengan jalur berbeda dari harapan Laras. "Ya, aku akan mengambil pakaian ayah dulu." "Oh," Laras mengangguk kaku. Melihat kakaknya telah berjalan pergi, dia buru-buru bangkit dari kursi dan mengikuti langkah kakaknya. "Biar aku menemanimu mengambil pakaian," ucapnya, masih mengharapkan Rifaldi menerima isyarat darinya dan mengajaknya ke rumah sakit. Sekali lagi, Rifaldi tidak menerima sinyal dari adiknya. "Tidak perlu, ini hanya pakaian. Kamu bisa kembali ke kamar untuk istirahat." "Aku sudah tidur dari tadi, jadi sekarang tidak mengantuk lagi. Dan juga aku baru saja makan, tidur setelah makan sangat berbahaya untuk berat badanku." Laras berkata dengan penuh ketidakpuasan, berpikir bahwa kakaknya pasti berencana untuk menambahkan berat badannya. "Sudahlah, karena aku bosan, maka aku akan mengikutimu saja." Rifaldi tersenyum tipis, kali ini membiarkan Laras mengekornya dari belakang menuju ke kamar ayah mereka. Kamar Gunawan dua kali lebih besar dari kamar Laras, ini membuat Laras iri hati, dengki, dan cemburu. Sudah lama dia tidak masuk ke kamar ini, sehingga Laras mengabaikan kakaknya yang menuju ke lemari dan hanya berkeliaran di sekitar kamar ayahnya untuk melihat-lihat. "Apa ini?" gumamnya bingung, dia melihat ke lemari kaca yang terletak di samping tempat tidur. Sesuatu yang tampak aneh ada di dalam lemari kaca tersebut, membuat Laras tak kuasa menahan rasa penasarannya untuk mendekat cari tahu isinya. Namun setelah mengetahui dengan jelas apa yang ada di dalam lemari, tubuh Laras membeku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD