051. Tidak Menyayangiku

1062 Words
Sesampainya di kota D, Rifaldi telah berjaga di bandara untuk menjemput Laras. Tidak perlu mengalami adegan tragis seperti terakhir kali ketika dia datang ke kota D, kini dia dalam pengawasan kakak kandungnya. Ketika Rifaldi melihat adiknya, dia sedikit tidak berdaya melihat ketegasan Laras yang tidak menyerah untuk datang. Dia meraih koper merah muda adiknya setelah berada di sisi Laras. "Apakah kamu lelah?" tanya Rifaldi. Laras menggelengkan kepalanya, "Tidak, ayo ke rumah sakit sekarang," desaknya. Rifaldi tidak lagi menghalangi adiknya untuk datang ke rumah sakit, bagaimana pun Laras sudah tiba di kota D. Jadi dia menuntun adik kecilnya itu ke mobil sebelum membawanya menuju rumah sakit kota. Ketika sampai di kota D, rasa tertekan kembali muncul di benak Laras. Dia terus bertanya-tanya bagaimana keadaan ayahnya di setiap waktu, meski Rifaldi selalu berusaha menenangkannya mengatakan keadaan ayah mereka baik-baik saja, namun pikirannya terus memunculkan adegan-adegan yang menakutkan, membuat Laras tidak yakin sebelum melihatnya dengan kedua matanya sendiri. Saat ini sudah siang menuju sore, jalanan kota penuh dengan kendaraan membuat kecepatan mobil bergerak melambat seperti siput yang maju sedikit demi sedikit menguji kesabaran seseorang. "Kenapa sangat lambat?" kata Laras kesal, ingin sekali dia keluar dari mobil ini lalu berlari saja, dia merasa itu lebih cepat daripada duduk di dalam mobil yang bergerak dengan sangat perlahan dan berhenti lama. Tetapi mengingat dirinya benci olahraga dan tidak suka berkeringat, Laras menghilangkan ide tersebut. Rifaldi menatap ke arah adiknya, melihat kekhawatiran yang jelas di wajah Laras, dia tersenyum kecil berpikir jika ayah mengetahui putri kesayangannya sangat mengkhawatirkannya, maka dia pasti akan sangat senang. Apa yang dipikirkan Rifaldi sangat benar, Gunawan melihat keberadaan putrinya yang datang langsung dari kota berbeda setelah mengetahui bahwa dia sakit membuatnya sangat bahagia sehingga dia ingin menyandingkan lagu nostalgia saat ini. Namun berbeda dengan hatinya yang berbunga-bunga dengan pelangi yang mengambang, wajahnya kini tampak suram dan terlihat tegas ketika menatap Laras. "Apakah kamu pikir sekolah adalah taman hiburan yang bisa didatangi ketika kamu ingin saja? Untuk apa kamu berlarian lagi kalo ini?" Meski terbaring di ranjang rumah sakit, suara teguran Gunawan tidak melemah sama sekali. Tatapannya penuh ketajaman menatap lurus putrinya mengungkapkan ketidakpuasannya dengan putrinya yang begitu mudah meninggalkan sekolahnya setiap waktu. Laras sedari tadi sangat khawatir dengan kondisi ayahnya, dia bahkan sampai bela-belain dirinya makan dalam mobil karena ingin segera melihat kondisi ayahnya. Namun sebagai balasannya, dia mendapatkan kata-kata tajam dan teguran pihak lain. Ayahnya bahkan tidak peduli dengan kelelahan Laras yang langsung datang ke rumah sakit setelah melakukan penerbangan. Mata gadis itu memerah, menatap ayahnya dengan tatapan tidak percaya. "Aku datang untuk melihat keadaan Ayah dan yang Ayah katakan adalah ini?" "Bukankah kakakmu sudah mengatakan aku baik-baik saja, ini hanya jatuh di kamar mandi, kenapa kamu sangat berlebihan?" Gunawan memalingkan wajahnya, tidak lagi melihat Laras. Laras menggigit bibir bawahnya, melihat dengan jelas bahwa ayahnya memang tampak baik-baik saja, bahkan kata-kata setajam biasanya tanpa penurunan skill menyakiti orang lain dengan suara. Tiba-tiba dia merasa menyesal datang ke kota D dengan impulsif. Benar saja, ayahnya tidak pernah mencintainya. Laras lelah dari perjalanan jauh, dia berbalik ingin keluar dari ruang kamar VIP ini. "Kembali ke kota B sana," kata Gunawan sebelum Laras bisa benar-benar melangkah keluar dari pintu. "Ayah mengusirku?" Laras berbalik dengan mata tercengang, air mata yang ditahannya telah mengalir dengan lancar. "Tidak mau! Aku tidak mau kembali, kenapa aku harus mengikuti kata-kata Ayah?!" Suara Laras menjadi lantang karena emosional, dia segera berlari ke luar ruangan dengan air mata yang telah mencemari wajah mulusnya. "Ayah..." panggil Rifaldi dengan suara tak berdaya. "Kenapa Ayah berbicara seperti itu kepada Laras?" "Aku hanya ingin dia tidak khawatir denganku, siapa yang tahu bahwa dia akan menangis." Gunawan berkata dengan canggung. Dia benar-benar tidak berniat untuk membuat putri bungsunya sedih, namun setiap kali melihat Laras, dia tidak bisa mengatakan apa yang ingin dia katakan. Merasa panik, dia langsung menunjuk putranya dengan mendesak. "Kejar adikmu, bawa dia pulang dengan selamat. Bujuk dia kembali ke kota B, dia sudah kelas 12, jangan sampai dia tidak lulus karena ini." Rifaldi tidak yakin bisa membujuk Laras, namun dia tetap mengangguk. "Aku akan mengantar Laras dan kembali sesegera mungkin," katanya. "Jangan pedulikan aku, rawat saja adikmu dulu." Gunawan mengipaskan tangannya, mengusir putranya itu untuk segera membujuk putri kecilnya yang sedang sedih. Setelah memastikan bahwa ayahnya benar-benar tidak membutuhkan bantuannya, Rifaldi bergegas keluar untuk mengejar adiknya itu. Laras berjongkok di samping mobil di tempat parkir, menangis diam-diam sangat menyedihkan seolah baru saja dianiaya oleh orang lain. "Padahal aku sangat khawatir dengannya," katanya perlahan, menarik ingus di hidungnya yang tersumbat dan terus berbicara. "Kenapa dia tidak pernah menghargai usahaku?" tanyanya yang membuat air matanya meluncur terus menerus. Di tangan gadis itu ada ponsel yang sedang tersambung dengan panggilan. Suara yang ditransmisikan terdengar dari ponsel tersebut, "Tidak apa-apa, kamu dimana sekarang?" Itu adalah suara milik seorang pemuda, tenang dan rendah. Mendengar memberikan efek penenang bagi orang lain. "Di tempat parkir," jawabnya. "Tidak masalah, sebentar lagi Rifaldi pasti akan datang mencariku," lanjutnya dengan penuh keyakinan. Randi bergumam, "Um, jangan terus bertengkar dengan ayahmu." "Siapa yang ingin bertengkar dengannya, ayah lah yang ingi bertengkar denganku." Laras berkata dengan cemberut, merasa kesal dengan kata-kata Randi. "Baiklah, kalau begitu ketika kembali ke rumah kamu harus istirahat dengan baik. Jangan memikirkan hal-hal lain," kata Randi. Laras telah melihat kedatangan Rifaldi dari jauh menuju ke arahnya, dia tidak bisa meneruskan panggilan ini lebih lama. "Aku tahu. Rifaldi sudah datang, aku matikan panggilannya." Randi, "Oke." Panggilan terputus, Laras mengalihkan tatapannya ke bawah menolak untuk menatap kakaknya yang kini ada di depannya. "Jangan menangis, ayah tidak ingin mengusirmu sama sekali." Rifaldi menarik Laras untuk berdiri dari sikap berjongkoknya, tangannya menepuk-nepuk gaun adiknya itu yang kotor. Laras mendengus keras, "Tidak perlu menghiburku, aku sangat sadar ayah tidak menyayangiku. Seharusnya aku mendengarkanmu tadi dan tidak usah datang ke sini." Rifaldi tidak berdaya ketika mendengar kata-kata adiknya. "Ayo pulang, kamu harus istirahat. Setelah ini jika kamu ingin langsung kembali ke kota B, aku akan mengantarmu ke bandara." Laras menatap Rifaldi dengan waspada, matanya melebar seolah tidak percaya bahwa kakaknya akan berkata seperti itu. "Apakah ayah yang memintamu melakukan itu? Dia sebenarnya sangat ingin aku pergi, apakah aku tidak memiliki nilai apa pun lagi di matanya? Bahkan jika dia membenciku, aku masih anaknya." "Tidak, tidak, jangan seperti ini." Rifaldi sedikit panik melihat adiknya akan menangis lagi. "Jika kamu ingin tinggal, tidak apa-apa. Ayo pulang." Laras dengan cemberut membiarkan Rifaldi menuntunnya masuk ke dalam mobil, membawanya ke rumah milik ayahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD