050. Ayah Sakit

1020 Words
Laras masih di kelas ketika kakaknya— Rifaldi menelepon. Suara nada dering ponsel yang tak pelan, mengambil alih semua perhatian guru dan murid yang sedang dalam proses belajar mengajar. "Laras, apakah kamu sangat ingin ponselmu disita?" tanya Bu Lita, tongkat kayu dengan panjang lima puluh senti yang sering digunakan sebagai penggaris di papan tulis kini mengetuk meja penuh aura ancaman. Laras segera bereaksi, mengaktifkan mode senyap dan wajahnya penuh penyesalan yang dramatis. "Maaf Bu, sebagai manusia bisa, aku tidak bisa menghindari kata lupa dalam hidupku. Mohon pengertian dari Bu Guru yang terhormat dan terbaik sejagat raya." Pujian Laras terlalu jelas dan mengada-ngada, membuat sifat serius guru memiliki celah dan akhirnya tersenyum geli. "Matikan ponselmu, jika lain kali terjadi lagi, maka kamu harus merelakan ponselmu di tangan Ibu." Laras langsung mengangguk dengan cepat, "Baik Bu, pasti!" Dia segera melempar ponselnya ke dalam laci meja terdalam, mengambil sikap duduk dengan punggung tegak seolah sangat mendalami pelajaran yang sedang berlangsung. Setelah bel istirahat berbunyi, Laras segera meraih ponselnya dan menelepon kakaknya dengan penuh keluhan. "Rifaldi, berkat kamu, ponselku hampir saja disita," katanya cemberut. "Maaf, aku tidak lihat waktu ketika memanggilmu," suara kakaknya yang selalu lembut padanya terdengar serak, tampak sangat lelah oleh sesuatu. Raut wajah Laras segera berubah, dia bangkit berdiri dan berjalan keluar kelas menjauh dari kericuhan yang dibuat oleh teman-teman sekelasnya. "Ada apa?" tanyanya dengan serius, membuang sikap manjanya sebelumnya. "Ayah di rumah sakit," jawab Rifaldi dengan pelan. Laras butuh beberapa saat untuk memahami arti dari kata-kata yang diucapkan kakaknya, dia melebarkan matanya dengan pandangan tak percaya. "Ayah? Ayah kenapa? Ayah sakit apa?" tanyanya cepat, dia berjalan bolak balik di koridor depan kelas dengan tidak sabar, tangannya yang bebas terangkat untuk memudahkan dirinya menggigit kuku jari telunjuknya. "Ayah jatuh di kamar mandi, sekarang dia ada di rumah sakit. Kondisinya telah membaik, kamu tidak perlu khawatir." Rifaldi berkata dengan perlahan, mencoba menenangkan kecemasan adik perempuannya itu. Namun hal tersebut tidak berhasil membuat Laras menjadi tenang. Gadis remaja itu duduk di bangku panjang yang kosong, kedua kakinya bergerak-gerak di lantai dengan tidak nyaman. "Aku ingin ke sana," katanya gelisah. "Kamu sekolah, aku ada di sini untuk menjaga ayah." Rifaldi menolak dengan lembut. "Aku ingin ke sana! Dia juga ayahku, kenapa hanya kamu yang bisa menjaganya?" Laras berkata dengan tidak puas. Menggigit bibir bawahnya untuk menahan diri berkata keras. Suara Rifaldi tercekat oleh ucapan adiknya. Untuk beberapa saat, dia tidak tahu bagaimana menjawab kata-kata adiknya itu. Namun dia tahu bahwa dia harus menenangkan Laras sehingga tidak bertindak ceroboh. "Laras, tenangkan dirimu. Ayah baik-baik saja, dia hanya perlu beristirahat beberapa hari sebelum bisa dipulangkan ke rumah." Laras telah kembali ke kelasnya, mengambil tas sekolah dan bergegas ke luar kelas dengan langkah cepat. Rena yang sedang menyalin sebuah catatan menghentikan aktivitasnya karena perilaku agresif temannya itu. "Hei, kamu kenapa?" tanyanya cepat, bangkit dan berjalan mengikuti Laras. "Ayahku sakit, aku akan pergi ke kota D." Laras berbicara dengan cepat. Lalu memusatkan perhatiannya ke ponsel yang masih menyambungkan panggilan ke kakaknya, "Jangan mencegahku, aku akan tetap pergi ke sana." Setelah mengatakan itu, dia memutuskan panggilan dan berjalan dengan langkah panjang ke luar di sepanjang koridor menuju keluar sekolah. Kakinya tidak berhenti melangkah ketika tangannya mulai sibuk mencari kontak kakak sepupunya dan memanggil. Tidak butuh waktu lama bagi Randi untuk mengangkat panggilan tersebut. "Randi, aku akan ke kota D." Laras berbicara langsung tanpa basa basi, "Ayahku sakit dan aku ingin ke bandara sekarang. Aku meneleponmu hanya ingin memberitahukan ini." "Sekarang kamu dimana?" Randi menutup buku-buku yang ada di meja, memasukkan semuanya di dalam tasnya dan bangkit berdiri bergegas keluar dari bangunan perpustakaan. "Masih di sekolah," jalan Laras. Kemudian dia menoleh ke samping untuk melihat Rena. "Pesankan taksi untukku segera langsung menuju bandara." Rena tercengang tanpa bisa berkata-kata. "Kamu benar-benar langsung ke bandara?" tanyanya takjub. Dia melihat temannya itu yang sedang mengenakan seragam sekolah dengan barang bawaan tas sekolah berisi alat make up. Bagaimana bisa gadis itu bertahan hidup hanya dengan membawa diri seperti ini. "Hm, untuk apa kamu menatapku seperti itu? Cepat pesan," desak Laras. Dari ujung panggilan, Randi dapat mendengar percakapan dari dua orang tersebut. Dia menambah kecepatan langkah kakinya menuju tempat parkir. "Tetap di situ, aku akan menjemputmu sebentar lagi." Laras terdiam, setelah beberapa saat dia bergumam setuju. Gadis itu menunggu di halte bis depan sekolah. Melangkah mondar mandir dengan raut wajah tidak sabar. Rena menemani gadis tersebut menunggu, duduk dengan tenang di bangku panjang halte dan memperhatikan temannya itu terus melangkah bolak balik di depannya. Dia tidak mengucapkan kata-kata penghibur sama sekali, lagi pula Rena tidak tahu situasi ayah Laras dan tidak ingin mengatakan omong kosong yang hanya membuat gadis itu semakin gelisah. Jadi daripada memutar otaknya mencari kata-kata penenang, Rena memilih duduk tenang menjaga gadis itu sehingga tidak melakukan hal ceroboh sampai Randi tiba. Tak lama kemudian mobil yang familiar muncul. Rena bangkit berdiri, menepuk bahu Laras dan menunjuk mobil yang secara perlahan berhenti di depan mereka. Laras mengangguk cepat, "Aku pergi dulu," katanya kepada Rena, segera membuka pintu depan mobil dan masuk. "Jangan lupa beri kabar aku," kata Rena, berdiri diam memperhatikan temannya masuk ke dalam mobil. Dia tetap berdiri diam menunggu mobil bergerak maju lalu menghilang dari pandangannya. Setelah beberapa saat, dia berbalik berjalan kembali ke sekolah, berniat untuk pergi ke ruangan ayahnya untuk memberitahukan situasi Laras, jangan sampai gadis itu mendapatkan absensi bolos karena hal ini. Di dalam mobil, Laras merasa kurang lebih tenang setelah melihat keberadaan kakak sepupunya. "Antar aku ke bandara," katanya. "Kita ke rumahmu dulu, persiapkan semuanya, lalu aku akan mengantarmu." Randi berbicara dengan tenang, ketika mobil berhenti di lampu merah, tangannya terulur mengusap kepala adiknya. "Jangan khawatir." "Apa lagi yang perlu dipersiapkan? Aku ingin segera ke kota D," Laras mengungkapkan ekspresi tidak puas, menatap Randi dengan pandangan penuh penyesalan. Randi menatap ke lampu jalan ketika menjawab ucapan adik sepupunya itu, "Kamu harus ganti baju dulu, aku akan memesankan tiket untukmu. Bawa kartu bank-mu dan koper dengan isi pakaian dan perlengkapan lainnya. Jangan khawatir, itu tidak akan membutuhkan waktu lama. Aku akan membantumu." Laras memikirkannya dan mengangguk, dia menoleh melihat ke kakak sepupunya. Menatap fitur wajah samping kakaknya dan menghela napas tanpa disadari. Bagaimana dia bisa hidup tanpa Randi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD