049. Langkah yang Salah

1073 Words
"Untuk apa kamu datang ke sini, kenapa aku tidak melihatmu masuk?" Laras sangat suka dipeluk, jadi dia tidak langsung pergi begitu saja dan berdiam diri dalam rangkulan kakak sepupunya. Tubuh hangat dan nyaman Randi selalu menjadi hal yang paling menenangkan untuk menghibur Laras. Tak terhitung banyaknya dia telah masuk ke dalam pelukan ini, namun jarang dia bisa menghargainya. Sekarang dia memikirkannya, dan merasa tidak boleh meninggalkan orang ini. Dalam beberapa saat, Laras bahkan berpikir untuk memilikinya. "Aku telah datang sebelum kamu, di dapur untuk menyiapkan makan malam mu." Randi menjawab dengan jujur, melepaskan Laras namun tak berdaya melihat adik sepupunya begitu lengket kepadanya. "Ada apa? Apakah kamu tidak lapar?" "Tidak," Laras menggelengkan kepalanya, mengangkat tangannya untuk memeluk pinggang kokoh Randi. "Aku makan kue dan puding di rumah Rena." "Kalau begitu tunggu beberapa saat sebelum makan," kata Randi. Laras bergumam setuju. Dia dengan enggan melangkah mundur dari pelukan kakak sepupunya dan menatap Randi dengan ekspresi wajah sedih seolah baru saja teraniaya. "Dulu sekali, sebelum orang tuaku berpisah, aku selalu membawa kue untuk mereka. Aku ke rumah Rena dan melihat keluarganya sangat rukun, aku tiba-tiba memikirkan keluargaku." Awal Laras masuk SMP ialah saat keluarganya mulai terpecah dan orang tuanya telah melakukan gugatan cerai. Ketika gadis itu di masa-masa paling membutuhkan keluarganya, dia malah kehilangan mereka. Itu selalu menjadi beban di hati Laras, terlebih lagi dia adalah anak manja yang selalu lengket dengan keluarganya. Langit di luar sudah mulai jatuh dalam kegelapan, sumber cahaya dari lampu dalam ruangan bersinar terang jatuh ke tubuh dua anak muda tersebut. Randi mengelus rambut lembut Laras, tidak mengatakan apa-apa dan hanya menemani gadis itu seperti sebelumnya. Setelah menemani Laras makan malam, Randi akan bergegas pergi dan langsung menuju ke kampusnya untuk tinggal di asrama. "Kamu tidak tinggal di rumah?" tanya Laras terkejut. Randi menggelengkan kepalanya, "Tidak, besok pagi aku ada matkul, lebih mudah tinggal di asrama malam ini." Laras tidak begitu paham dan terlalu malas untuk paham. Dia menganggukkan kepalanya, bersandar di bingkai pintu dengan tatapan jatuh ke mata kakak sepupunya. Tinggal di sisi Randi membuat Laras mengabaikan betapa tampannya kakak sepupunya itu. Mungkin telah terbiasa dengan sosoknya sehingga Laras bahkan tidak merasakan pesona yang gadis-gadis lain rasakan. Namun sekarang dia melihat dengan teliti kakak sepupunya, memperhatikan tubuh tinggi dan tegap berdiri di depannya yang menatapnya dengan tatapan fokus dan tajam, Laras merasa bahwa kakak sepupunya adalah sosok paling tampan yang pernah dilihatnya. "Randi aku serius, sepertinya rasa sukaku bertambah lagi." Laras berbicara tiba-tiba, mengejutkan Randi yang bersiap untuk pergi. "Jangan bicara omong kosong seperti itu," tegur Randi. "Kenapa omong kosong? Aku menyukaimu, bukankah kamu seharusnya senang?" Laras mendengus kesal, tidak bisa mengerti isi pikiran kakak sepupunya itu. Jelas saja Randi menyukainya, bukankah Randi seharusnya senang karena perasaannya terbalaskan? Randi diam sejenak, menatap mata adik sepupunya yang tampak telah menyerap seluruh galaksi. Laras adalah tipe gadis yang sangat tangguh dan sombong, menghadapi tatapan Randi, dia tidak memalingkan wajahnya dan membalasnya dengan penuh tantangan, seolah siapa yang mengalihkan pandangan pertama kali adalah yang kalah. "Bukankah perasaanku menjijikan," suara pelan dan lambat kakak sepupunya menggetarkan hati Laras. Jantung Laras berdetak cepat, perasaan sesak dan menekan datang begitu saja tanpa diketahui asalnya. Seketika dia teringat perilakunya saat mengetahui perasaan Randi untuknya. Saat itu Laras linglung seolah tidak dapat membedakan Selatan dan Utara, dia merasa otaknya meledak dengan kekacauan yang besar. Randi adalah kakak sepupunya, anak dari saudari ibunya. Mereka berdua tidak boleh mengembankan perasaan itu atau mereka akan mendapatkan masalah yang besar. Ketika memikirkan bagaimana orang lain akan memarahi dan memfitnah kakak sepupunya karena perasaan salah yang diembannya, Laras menjadi takut. Terlebih lagi jika orang tua mereka memisahkan mereka karena perasaan salah tersebut, pikiran Laras dipenuhi dengan berbagai ketidaksetaraan. Tanpa sadar dia mulai menyangkal perasaan kakaknya, mengatakan hal-hal secara impulsif yang dia sendiri bahkan tidak sadari. Sekarang mengingat semua yang dia lakukan dan katakan, Laras merasa oksigen di sekitarnya telah direnggut, membuatnya sulit untuk bernapas dan dadanya menjadi berat. "Kamu... kamu marah?" tanya Laras dengan waspada, merasa ketakutan dalam hatinya. Dia langsung berdiri tegak dari posisi bersandar santainya, berjalan cepat ke depan dan meraih tangan besar kakak sepupunya. "Randi kamu tahu bukan, aku sangat impulsif, aku mengatakan hal-hal bodoh tanpa aku sadari. Jangan dengarkan apa yang aku katakan, lupakan saja itu. Jangan mengingat hal-hal itu lagi, oke?" Laras meremas tangan Randi, tatapannya bergetar menatap tegas kakak sepupunya dengan penuh harap. Penuh perasaan gelisah seperti semut yang berada di wajan yang panas. Melihat betapa paniknya adik sepupunya, Randi merasa tidak tega. Dia tersenyum kecil, menggunakan tangannya yang satu untuk menyentuh kepala Laras. "Tidak apa-apa," katanya. Meski begitu, Laras tetap merasa tidak nyaman. Dia bahkan hampir menangis ketika Randi tidak mengakui perasaannya, jadi bagaimana perasaan Randi ketika dia mengatakan itu menjijikan? Dia mulai membayangkan dirinya sendiri mengaku dan perasaannya dianggap menjijikan oleh orang lain, dia pasti tidak akan bisa tersenyum tenang seperti Randi. Mata Laras secara bertahap menjadi merah dengan embun air yang tampak siap meluncur kapan saja. Gadis itu menggigit bibir bawahnya penuh cemas, memikirkan hal apa yang harus dia lakukan untuk memperbaiki kesalahannya. "Tidak menjijikan, sama sekali tidak menjijikan. Kamu dengar, itu sama sekali tidak menjijikan." Laras mengungkapkannya berulang, mencoba memasukkan itu ke dalam pikiran Randi untuk menghancurkan kata-kata yang diucapkannya sebelumnya. "Tidak apa-apa, jangan menangis." Randi menghela napas berat, merasa menyesal karena telah mengungkit hal yang tidak baik di depan adiknya. Padahal dia sendiri tahu betapa rapuhnya perasaan adiknya itu. "Itu tidak menjijikan sama sekali. Randi dengarkan aku, perasaanmu tidak menjijikan. Aku salah, aku mengatakan hal bodoh. Itu sama sekali tidak menjijikan." Ketika setetes air mata meluncur, yang berikutnya akan mengalir dengan lancar tanpa halangan. Wajah cantik dan mulus gadis itu terlihat sangat menyedihkan dan lemah, membuat Randi tak kuasa menahan diri untuk menariknya ke dalam pelukannya. Randi tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya mengangkat tangannya untuk mengusap punggung adik sepupunya. Berusaha menenangkan gadis itu meski dia sendiri saat ini tidak tenang. Sekarang situasi menjadi lebih rumit, dengan Laras yang berpikir mulai mengemban perasaan padanya, Randi yang selalu berpikir jernih tidak tahu harus melakukan apa. Dia lebih suka gadis itu terus menolak perasaannya, mengabaikan, dan bahkan merasa jijik olehnya. Randi tidak ingin Laras menerima perasaan salah itu dan merasakan hal yang sama dengannya. Dia telah menyukai gadis ini untuk waktu yang lama, dia sangat tahu betapa menyiksanya menyukai seseorang namun tidak dapat memilikinya. Merangkulnya erat namun tampaknya jauh dari dekapannya. Randi sangat tahu perasaan itu, karena itu dia tidak ingin adik kecilnya yang manja dan emosional mengikuti langkah yang salah yang telah diperbuatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD