048. Kue

1256 Words
Ada beberapa kue kering di dapur, Rena menurunkan Raja dari pelukannya dan mengambil kue kering berbentuk love dengan lapisan cokelat tersebut. "Katanya ada pudding juga, kamu mau? Tapi rasa coklat, tidak apa-apa?" tanya Rena sembari menggerakkan tangannya. Laras sangat menyukai pudding, dia mengangguk ketika mendengar tawaran dari Rena. "Tidak masalah," katanya. Rena mengangguk, lalu bertanya kepada adiknya, "Raja mau pudding juga?" Jarinya dengan usil menyodok pipi tembem adiknya. Tatapan Raja tertuju ke pudding, mendengar ucapan kakaknya, dia mengangguk dengan semangat. "Mau!" serunya antusias. Jadi, Rena segera menyiapkan piring dan memotong pudding untuk teman dan adiknya. Dia terbiasa merawat orang lain, lagi pula itu adalah hal biasa mengingat dia seorang kakak dari dua adik dan seorang teman dari Laras. Setelah memberikan masing-masing sepiring pudding, dia juga mengambil untuk dirinya sendiri. "Ayo ke kamarku," katanya pada Laras, tangannya membawa sepiring pudding dengan tangan lain membawa setoples kue kering. Laras hanya mengikuti saja. Kamar Rena tidak seluas kamar Laras, itu cukup kasual untuk remaja seumuran dirinya. Semua perabotan diatur dengan rapi, membuat ruangan dengan bentuk minimalis itu menjadi enak dilihat dan nyaman dimata. Warna dominan dalam kamar adalah warna biru, yang merupakan salah satu warna favorit Rena. Karena sangat menyukai makanan, Rena menyiapkan satu set meja dan kursi sofa khusus meletakkan makanan di dalam kamarnya. "Oh sudah berubah?" kata Laras saat baru saja masuk ke dalam kamar temannya itu. Terakhir kali Laras datang ke sini, tata letaknya sangat berbeda dan beberapa barang pun juga tampaknya sudah diganti. Rena juga melihat sekeliling, "Ya, dulu kan aku sudah bilang, rumahku direnovasi. Termasuk kamarku juga," katanya, lalu menarik temannya itu untuk duduk di sofa. Kedua gadis itu ditambah seorang anak kecil yang memeluk senjata mainan mulai memakan pudding dengan gembira. Laras dan Rena sudah akrab dan memiliki banyak topik acak untuk dibicarakan, mereka berdua mulai membahasnya satu persatu. Terkadang ketika berkumpul dengan teman, waktu terasa begitu cepat. Raja telah tertidur di tempat tidur Rena dan kedua gadis itu masih mengobrol. Mereka tertawa gembira ketika suara menggelegar ibu Rena terdengar. "Rena, keluar angkat jemuran!" Tangan Rena yang baru saja masuk ke dalam toples berhenti bergerak. "Tunggu dulu," katanya pada Laras sebelum bangkit berdiri dan memasukkan satu buah kue kering ke dalam mulutnya. "Um," gumam Laras. Dari dalam kamar, Laras dapat mendengar obrolan Rena dan ibunya yang tak pelan. "Kamu selalu saja keluar bermain, ayo angkat jemuran dan lipat nanti." Ibu Rena berbicara cepat, mengungkapkan ketidakpuasannya kepada anaknya. "Iya Bu, gampang itu." Rena menjawab dengan santai dan tawa kecil. Meski begitu, tampaknya ibu Rena belum merasa puas dan masih mengoceh tentang anaknya yang sangat malas dan hanya tahu makan dan bermain itu. Laras mendengarkan dengan tenang, mengambil kue dan memakannya secara perlahan. Kepalanya terangkat, melihat jam dinding dengan santai. Namun ketika dia melihat waktu, dia langsung sadar bahwa sekarang dia harus pulang. Dia menunggu kedatangan Rena terlebih dahulu, sebelum bangkit berdiri. "Aku akan pulang sekarang," katanya. "Sudah mau pulang?" tanya Rena sedikit terkejut, pandangannya segera tertuju pada jam dinding yang terpasang di tembok kamarnya dan mengangguk. "Oke," katanya kemudian menemani Laras keluar dari rumahnya. "Eh Laras sudah mau pulang?" Ibu Rena telah berada di depan televisi bersama ayah Rena, mereka menonton berita acara dengan sangat harmonis. Melihat kehadiran Laras yang akan pergi ke pintu depan, fokus mereka segera teralihkan. Tatapan Laras tertuju kedua pasangan paruh baya itu, dia mengangguk dan tersenyum lebar. "Iya, Tante. Sudah mau malam juga," katanya sembari terkikik. "Laras, Om dengar nilai kamu tidak berubah sampai sekarang," kata ayah Rena segera dengan lugas. Laras langsung terkikik. Ayah Rena merupakan direktur sekolah mereka, tidak heran jika dia sangat mengetahui hal-hal terkini tentang nilai Laras maupun Rena. Mendengar ucapan dari Direktur sekolah mereka, Laras mengusap hidungnya dan menjawab sealami mungkin, "Itu bukankah baik? Aku berusaha mempertahankan nilaiku agar tidak menurun sama sekali." Mendengar jawaban Laras, pasangan paruh baya itu tertawa geli. "Kamu memiliki banyak alasan," kata mereka sembari menggelengkan kepala. Suara tawa mereka sangat ringan dan renyah bertabrakan dengan suara acara berita yang diputar di televisi. Laras tersenyum lebar, menjentikkan rambut yang menghalangi telinga kanannya. "Kalau begitu aku pulang dulu Om, Tante," pamitnya. Setelah mendapatkan persetujuan dari kedua penatua itu, Laras dan Rena lanjut untuk melangkah keluar pekarangan rumah. Rena dengan baik hati memesankan Laras taksi online, menemani temannya itu sampai taksi muncul dan pergi membawa Laras. Setelah masuk ke dalam mobil, Laras hanya diam bersandar ke belakang dengan tatapan tertuju ke samping mengamati pemandangan yang selalu berganti di luar jendela. Sopir memutar lagu-lagu lokal dengan semangat, disertai dengan obrolan santai dan akrab dari sang sopir. Bahkan jika Laras terlalu malas untuk menjawab obrolan tersebut, sang sopir tidak berkecil hati dan terus melakukan dialog monolognya. "Singgah di toko kue dekat pertigaan sana," kata Laras tiba-tiba yang selalu diam. Kecepatan mobil melambat dan berhenti tepat di depan toko kue yang telah familiar. Sesampainya di rumah, langkah kaki Laras sangat lambat dan pelan tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Dia masuk ke dalam rumahnya yang luas dan sepi, melangkah lebih dalam untuk melihat berbagai perabotan yang mahal dan lengkap di dalamnya namun tidak adanya aktivitas yang terlihat. Bahkan dengan semua benda-benda itu, rumah ini terlihat kosong di mata Laras. Laras berjalan menuju meja depan sofa ruang tengah, meletakkan tas belanja dengan merek toko kue yang baru didapatkannya ke sana. "Aku beli kue lagi," katanya tersenyum lebar. Kemudian tangannya bergerak meraih kemasan kue mini satu persatu dari tangannya. "Kue dengan hiasan bunga berwarna biru khusus ibu yang suka warna biru," dia meletakkan kemasan kue di atas meja di posisi ujung. Lalu meraih satu kemasan kue lagi, "Rasa mocca untuk ayahku yang jelek," ucapnya meletakkan kemasan kue rasa mocca tersebut ke pinggir meja samping kue dengan toping krim biru. Dia mengambil satu kemasan kue lagi, "Kue biasa yang Rifaldi makan tidak dijual lagi, jadi aku membeli kue keluaran terbaru, katanya sih sangat enak." Laras meletakkan kemasan kue tersebut di ujung satunya. "Dan dua kue untukku!" Laras terkikik, mengeluarkan dua kemasan kue rasa coklat dan stroberi yang dihias indah. Gadis itu membuka kemasan kue, memperlihatkan sebuah kue brownis cokelat yang berbau harum. Laras menatap lama kue di depannya dan menghela napas. "Bodoh," gumamnya. Dia bangkit berdiri, senyumnya menghilang melihat sosok keluarganya yang seharusnya duduk di sofa tidak ada sama sekali. Sudah sangat lama, bahkan tanda-tanda keberadaan mereka hampir memudar dari rumah ini. Ruangan itu sepi dan sunyi, setiap ucapan Laras ditakdirkan tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Gadis remaja itu memiliki tatapan kosong tertuju ke meja depan sofa yang penuh dengan kemasan kue yang baru dibelinya. Ketika kecil, Laras sangat suka membawa kue ke rumah, membagikannya kepada keluarganya satu persatu dengan gembira. Sekarang dia tidak bisa merasakan itu lagi, hanya dirinya yang tersisa di rumah yang luas ini. Ketika di rumah Rena tadi, Laras jujur merasa sangat iri dan cemburu. Dia sangat ingin keluarganya seperti keluarga Rena. Memiliki ibu yang cerewet, ayah yang tegas, dan saudara yang menyenangkan. Setiap detail di rumah Rena sangat hidup, memiliki tanda-tanda aktivitas sebuah keluarga. Bahkan jika rumah itu lebih kecil dan sederhana dari rumah Laras, namun tampak seperti rumah impian untuk Laras. Tangannya ditarik membuatnya berbalik langsung menabrak tubuh seseorang. Tubuhnya dirangkul erat dengan sebuah tangan besar yang mengelus rambutnya. "Tidak apa-apa," suara yang tenang dan rendah terdengar dari atas kepalanya. Laras segera mengenali orang tersebut, membenamkan wajahnya ke bahu kakak sepupunya dan menarik napas panjang hingga dadanya terasa sesak. "Tadi kamu tidak melihat dan mendengar apa-apa," kata gadis itu dengan penuh ketegasan. Tatapan Randi tertuju ke berbagai kemasan kue berbeda di atas meja, dia menurunkan pandangannya, dengan tangan tanpa henti mengelus rambut lembut adik sepupunya. "Ya, aku tidak melihat dan mendengar apa pun."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD