"Aku kok merasa sepertinya Laras tidak suka sama aku," kata Amelia dengan bingung.
Saat ini mereka telah dalam perjalanan pulang, Amelia dan Sofia adalah teman dekat dan mereka terbiasa bersama-sama. Seperti kedatangan mereka bersama, mereka pun pulang berdua juga, telah terpisah dengan yang lain.
Sofia mengerutkan keningnya, tidak begitu mengerti. "Iya, kah? Aku pikir dia memang seperti itu, wajahnya memang tampak tidak ramah dengan orang lain. Mungkin kamu terlalu sensitif saja."
Amelia memikirkannya dan mengangguk, "Ya, kamu benar. Mungkin saja aku yang terlalu sensitif."
"Hum," Sofia mengangguk, dan tak bisa mengelakkan untuk terus bercerita tentang Laras. "Tetapi adik Randi itu benar-benar tidak ramah, kata-katanya tajam bangat, tatapannya juga penuh permusuhan, seolah seseorang berhutang satu milyar sama dia."
"Ya, aku berpikir temannya lebih baik, lebih ramah dan bersahabat." Amelia menyambungnya, mendukung apa yang dikatakan Sofia.
"Benar," Sofia meraih ponselnya dari saku dan membuka aplikasi media sosial secara acak. "Ya, setidaknya dengan sifat Laras yang jutek itu, dia masih bisa memiliki teman."
Kemudian seolah melihat hal menarik di ponselnya, Sofia menepuk lengan Amelia. "Eh, lihat ini, ternyata Dodi dan Milia telah putus ..." Mereka mulai membahas topik berbeda dengan akrab dan melupakan topik sebelumnya begitu saja.
Karena alasan memiliki tujuan yang sama, Fito pulang bersama rombongan Randi dan dua anak SMA, sedangkan Rehan naik motor bersama Indra. Di dalam mobil, Laras merelakan kursi VIP miliknya di depan ditempati orang lain dan duduk di kursi belakang bersama Rena. Gadis itu mungkin merasa lelah sehingga bersandar ke belakang tanpa tulang.
"Oh rumah Kak Fito juga searah dengan kami?" Rena sebagai orang yang mudah bergaul, memecahkan kesunyian dalam mobil dan mengajak mengobrol dengan santai.
Fito menggelengkan kepalanya, "Tidak, rumahku di kota D, aku ingin ke rumah pamanku sekarang."
Rena mengangguk paham, saat ini tangannya memegang sebungkus keripik, memakan dengan santai ketika dia mengobrol ringan. "Rumah Kak Fito di kota D, kenapa tidak kuliah di sana saja. Bukankah Universitas D dikatakan sebagai Universitas terbaik di negara ini?"
"Ya, tapi untuk pilihan jurusanku, lebih nyaman di Universitas B. Sebenarnya Universitas B tidak kalah bagusnya, akreditasinya pun sama-sama baik. Ekstrakurikulernya bahkan lebih banyak daripada kampus lainnya," kata Fito, mulai mempromosikan kampus secara tidak sadar.
Rena terus mengangguk, bergumam seolah mengerti dengan tatapan tertuju ke Laras yang sedari tadi terus mengungkapkan ekspresi cemberut. Karena keberadaan Fito dan Randi, Rena menahan dirinya untuk bertanya keadaan gadis itu. Lagi pula tampaknya Laras memang selalu mengeluarkan ekspresi tidak baik selama beberapa hari ini.
Angin yang dikeluarkan oleh AC dalam mobil kurang dingin, Laras mengangkat tangannya untuk mengurangi suhu hingga tepat sesuai seleranya. "Randi, aku akan turun di rumah Rena," katanya.
"Tidak langsung pulang?" Randi bertanya tenang, tatapannya secara sekilas menyapu kaca spion untuk melihat keberadaan adiknya di kursi belakang.
"Tidak, aku sedang tidak ingin bertemu kamu. Pokoknya jangan cari aku seharian ini," jawab Laras, tidak menyembunyikan kekesalannya kepada Randi.
Fito merasa apa yang dikatakan Laras sedikit aneh dan unik, jadi dia menoleh untuk melihat bagaimana tanggapan temannya— Randi. Namun tampaknya Randi telah terbiasa dengan sikap Laras yang seperti itu dan terus menampilkan wajah tenang.
"Jangan pulang larut malam," kata Randi mengingatkannya, tidak mempermasalahkan ucapan Laras yang mengungkapkan kekesalan padanya.
"Sesuai suasana hatiku," Laras melirik Randi yang duduk di kursi mengemudi dengan wajah masam, ingin mengatakan lebih tetapi menahannya. "Pokoknya aku ingin ke rumah Rena, jangan melarangku."
Randi tidak berniat melarang Laras, jadi setelah sampai di depan rumah Rena, dia melihat adik sepupunya itu turun dari mobil dan pergi begitu saja dengan pipi mengembung kesal.
"Adikmu unik," kata Fito melihat kepergian kedua gadis itu.
Randi mengangguk setuju, "Ya, dia memang unik." Entah apa yang dipikirkannya, dia tiba-tiba mengungkapkan senyum tipis.
Fito bersandar di pintu mobil, melirik ke temannya itu dan yakin dengan apa yang dipikirkannya sebelumnya. "Kamu suka Laras, kan?" tanyanya terbilang santai, dan tidak serius sama sekali.
Randi yang baru saja akan menjalankan mobil membeku karena pertanyaan santai itu. Dia mengernyit sesaat sebelum kembali menampilkan wajah tanpa ekspresi. "Dia adikku," katanya dengan tegas seolah mengingatkan Fito, dan juga untuk mengingatkan dirinya sendiri.
Mendengar itu, Fito hanya diam, dengan bijak tidak lagi membahas itu meski dia sudah tahu sendiri apa jawaban sebenarnya dari pertanyaannya itu.
Mobil berjalan perlahan bergabung dengan lalu lintas yang sibuk. Kedua pemuda itu membahas hal lain tentang tugas mata kuliah atau hal berkaitan dengan kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti, meski ada hal di pikirannya yang berbeda yang sedang menjelajah tanpa arah.
Laras jarang datang ke rumah Rena. Ketika mereka berkumpul, sebagian besar memilih di rumah Laras. Lagi pula rumah Laras selalu sepi, menjadi tempat ternyaman ketika berkumpul bersama teman tanpa rasa canggung sama sekali.
Untungnya, mereka telah berteman selama bertahun-tahun. Meski jarang datang ke rumah Rena, Laras telah mengenal keluarga Rena yang lumayan ketat dan tegas.
"Bibi," sapa Laras ketika melihat ibu Rena sedang menyiram bunga di halaman depan.
Pekarangan rumah Rena ditutupi oleh berbagai jenis bunga yang indah dan segar. Masing-masing ditata rapi sehingga terlihat menarik di mata. Aroma harum berbagai macam bunga bersatu membawa semacam kesejukan di kota metropolitan yang panas ini.
Ibu Rena mengalihkan pandangannya, baru saja akan mengomel karena anaknya yang malas membersihkan rumah dan malah keluyuran di luar, tetapi segera berhenti ketika melihat kehadiran Laras.
"Eh, Laras? Kamu sudah lama tidak datang bermain ke sini. Masuk ke dalam, kebetulan Bibi baru saja masak kue."
Mata Rena segera berbinar, "Ibuku memang yang terbaik," katanya masuk ke dalam rumah untuk mencari keberadaan kue yang dikatakan ibunya itu.
Ibunya menggelengkan kepala, kemudian dia mengangguk kepada Laras. "Kamu juga masuk, jangan sampai Rena menghabiskan semua kue." Dia sangat mengenal sifat anaknya yang suka makan itu, karena itu pula setiap hari akan selalu ada makanan cemilan d rumah.
Laras mengangguk, baru saja masuk ke dalam rumah dan hampir menabrak anak kecil yang berlarian dengan memegang senjata mainan.
"Raja, jangan lari-lari dalam rumah," tegur Rena kepada adiknya.
Rena memiliki dua adik, yang satu perempuan masih SD kelas enam, dan yang satunya lagi laki-laki yang baru saja masuk TK.
Yang hampir ditabrak Laras adalah adik bungsu Rena, sangat lincah dan tengil. Setelah hampir menabrak orang, Raja tertawa tanpa dosa dan lari ke arah lain dengan bahagia.
"Raja, jangan lari, nanti jatuh." Rena baru saja berbicara dan suara dentuman terdengar disertai oleh erangan kesakitan dari anak laki-laki yang lincah itu. Tak perlu disebutkan, Raja pasti menabrak sesuatu dan jatuh.
Rena bergegas jalan, membawa adiknya yang menangis ke pelukannya dan menggendongnya untuk menenangkannya. "Kan sudah dibilang jangan lari-lari," katanya tak berdaya.
"Kakak, aku ada tugas sekolah buat kliping." Rara, adik pertama Rena muncul dari pintu kamarnya ketika mendengar keributan di ruang tengah. Mengabaikan adik laki-lakinya yang menangis seolah dunia akan berakhir, tatapannya segera tertuju ke arah kakaknya untuk meminta bantuan atas tugas sekolah yang diembannya.
Rena menepuk punggung adik laki-lakinya dengan tatapannya tertuju ke Rara, "Kliping apa?"
"Pelajaran olahraga, buat tugas kliping dari koran atau majalah tentang permainan bola besar." Rara berjalan dan menunjukkan bukunya untuk diperlihatkan kepada Rena.
"Oh, pergi ke gudang belakang. Ada banyak koran bekas di sana, ambil semua, nanti malam aku akan bantu buatkan." Rena berkata cepat, kemudian dia berjalan ke dapur dengan adik laki-lakinya yang masih bergelantungan di lehernya.
"Ras, ayo makan kue dulu. Ibuku akhir-akhir ini belajar masak kue gitu, biasanya enak."
Rena berkata sembari berjalan. Namun tidak terdengar jawaban dari Laras, dia menoleh ke samping untuk melihat temannya itu masih berdiri di tempat. "Malah bengong, ayo makan kue."
Laras tertegun dan langsung mengalihkan tatapannya, "Iya iya, aku tahu."
Dia langsung berjalan melangkah ke depan mengikuti Rena menuju ke dapur.