046. Hanya Denganku

1103 Words
Jawaban Randi singkat, hanya satu kata tetapi Laras seolah merasakan banyak makna dalam sebuah kata biasa itu. Dia tertegun untuk waktu lama, tampak tersedot oleh tatapan lembut dan penuh kesabaran milik kakak sepupunya itu. Setelah beberapa saat, dia segera tersadar dan memalingkan kepalanya. "Oh," gumamnya kaku. Turun dari bianglala, Laras berjalan dengan linglung mengikuti langkah Randi. Beberapa kali dia hampir menabrak orang lain, untungnya Randi tidak pernah melepaskan pengawasan darinya sehingga dapat segera menghindarinya dari kecelakaan yang akan terjadi. "Ada apa?" tanya Randi dengan pelan, melihat adik sepupunya tampak tak bernyawa. Mata Laras terbuka lebar, namun tidak fokus sama sekali. Dan hal yang jarang ialah gadis itu menjadi sangat pendiam. Padahal biasanya gadis itu akan banyak bicara ketika bersama Randi, mengatakan segala macam hal secara acak dan membiarkan Randi mendengarkan semua keluhannya. Laras menggigit bibir bawahnya, matanya berkeliaran acak sebelum melirik waspada ke arah Randi. Dia tampak ragu untuk saat-saat yang langka, namun akhirnya berbicara dengan hati-hati. "Aku hanya berpikir sepertinya aku mulai sedikit menyukaimu, bagaimana ini?" Ketika dia mengatakan hal tersebut, pandangannya sepenuhnya polos dan naif, seperti anak kecil yang kebingungan tidak tahu harus melakukan apa dan meminta petunjuk dari orang lain. Laras selalu lugas dan tidak pernah menyembunyikan perasaannya kepada orang terdekatnya. Dia selalu terbuka, mengatakan segala hal yang membuatnya bahagia, sedih, dan ragu. Langkah kaki Randi berhenti, dia tertegun dan menatap adiknya dalam diam. "Jangan mengatakan sesuatu secara acak, kamu tidak memahaminya sama sekali." Perasaannya tidak diakui, Laras merasa sedikit kesal. "Aku mengatakan yang sebenarnya, aku sangat paham apa yang aku katakan." "Tidak, kamu tidak paham." Randi berkata dengan tegas. Kemudian dia menuntun adiknya yang memiliki ekspresi cemberut itu untuk pergi ke restoran tempat di mana yang lainnya telah berkumpul. Mereka masuk ke dalam restoran, Rena dan para mahasiswa telah duduk di dalam, dua meja dijadikan satu oleh mereka. Melihat kehadiran Laras dan Randi, Indra mengangkat tangan untuk menunjukkan keberadaan mereka. "Di sini!" serunya. Randi menarik tangan Laras untuk berjalan mendekat, sedangkan gadis itu dengan wajah tidak senang mengikuti dengan langkah kaki penuh penekanan mengungkapkan keluhan di sekujur tubuhnya. "Kamu kenapa lagi?" tanya Rena, merasa lelah melihat temannya itu tampak tak berhenti marah. "Bisakah sehari saja kamu tidak memunculkan wajah cemberutmu?" "Tidak," ketus Laras, duduk segera di samping Rena berusaha menjauhi Randi untuk mengungkapkan kekesalannya. Namun dia melihat ke depan, dan menyadari bahwa meja di depannya memiliki tanda-tanda bekas kehidupan orang lain. "Kamu menduduki kursi Kak Fito," kata Rena dengan santai saat melihat tatapan Laras. "Dia pergi ke toilet saat ini." Laras berdiri dan akhirnya pasrah duduk di satu-satunya kursi kosong di samping Randi. Namun dia tetap menunjukkan amarahnya dengan menggeser bangku sedikit lebih jauh dari Randi. Rena mengangkat alisnya penuh tanya, namun dia tidak membuka suaranya, dengan penuh minat memperhatikan interaksi Laras dan Randi. "Mau makan apa?" tanya Randi kepada Laras dengan memegang buku menu. Laras memutar matanya, mendengus keras dan tidak menjawab sama sekali. Di mata Randi, Laras seperti kucing yang diinjak ekornya ketika marah. Membuat tangannya gatal ingin mengacak rambut gadis itu dan membuatnya lebih kesal lagi. Namun dia tahu bahwa dia tidak boleh terus memprovokasi adiknya sehingga dia hanya tersenyum tak berdaya dan memesankan menu yang biasa Laras sebutkan. Saat menunggu pesanan, Randi tidak lagi memperhatikan Laras yang menguarkan aura permusuhan. Dia merenung tentang apa yang dikatakan adik sepupunya tadi, kata-kata yang sangat berbahaya yang membuat Randi yang biasanya tenang memiliki jantung berdetak cepat. Namun dia tahu bahwa dia tidak boleh mengharap lebih dengan apa yang dikatakan Laras. Gadis itu sering mengatakan hal secara acak dan impulsif. Mungkin saja rasa suka yang dikatakan Laras berbeda dengan rasa suka yang dirasakannya atau mungkin saja gadis dengan sifat impulsif itu hanya merasa penasaran dan menyalahartikan semuanya. Piring penuh makanan disajikan di atas meja. Meja yang awalnya kosong dan hanya diisi oleh alat-alat pribadi, kini penuh dengan aroma makanan. Para anak muda itu kemudian makan mengisi energi mereka sembari mengobrol secara acak. Mereka semua telah mengenal sifat Laras dan berusaha mengabaikan amarah gadis itu. Randi terbiasa diam dan tidak banyak bicara, hanya memperhatikan adik sepupunya untuk memastikan makan dengan jujur. Rena adalah gadis yang mencintai makan lebih dari siapa pun di atas meja ini. Ketika makan dia lebih suka diam dan menikmati makanannya, namun demi kesopanan, dia akan sesekali menjawab pertanyaan yang diajukan para mahasiswa itu kepadanya. Sebagai orang yang ramah, dia terbiasa senyum dan sangat sabar. Lagi pula kesabarannya sudah sangat dilatih ketika bersama Laras, jadi dia jarang kehilangan kesabaran begitu saja. "Setelah ini kita main apa lagi?" tanya Sofia dengan antusias, menjadi orang yang paling semangat mencoba berbagai wahana yang ada di taman hiburan. Amelia, "Bagaimana kalau kita pergi ke rumah hantu?" sarannya. Yang lain mengangguk setuju, merasa proposal itu menarik. Indra segera menanyakan pendapat Rena, "Apakah tidak masalah?" Rena mengangguk, "Ya, terdengar menarik," jawabnya positif. Dia adalah orang yang realistis, selalu menyadari bahwa hantu yang berada di rumah hantu merupakan properti atau orang yang menyamar, jadi dia tidak memiliki rasa takut sama sekali pergi ke tempat itu. Bahkan dia merasa itu sangat membosankan. Tetapi melihat orang lain berteriak ketakutan dan menyaksikan perubahan ekspresi lucu setiap orang sangat menarik baginya, jadi dia tidak masalah dengan itu. Hanya saja dia agak skeptis dengan Laras, "Bagaimana denganmu?" tanyanya. Laras menghancurkan telur mata sapi di piringnya dengan garpu, menghadapi pertanyaan yang dilontarkan ke arahnya, dia menjawab dengan cemberut, "Rumah hantu? Apa menariknya ke sana, buang-buang waktu saja. Bagiku—" "Oke, aku paham." Rena segera menyela sebelum Laras terus melanjutkan perkataannya dan membuat segalanya menjadi kacau. Dia tersenyum penuh penyesalan dan berkata kepada semua orang, "Laras sangat pemberani jadi dia merasa rumah hantu membosankan." Dia mengambil inisiatif untuk menjelaskan kepada orang lain tentang Laras agar tidak disalahpahami meski dalam hati dia telah menghujat temannya itu mati-matian. "Tidak masalah, tetapi apakah Laras, kamu sudah bermain satu wahana saja? Sangat rugi datang tetapi tidak bermain sama sekali." Sofia bertanya dengan penasaran, dia berdecak merasa sangat disayangkan memiliki sifat seperti Laras yang tidak bisa menghargai kesempatan. "Main," jawab Laras. Kemudian dia melirik Amelia yang tak jauh darinya, menjawab dengan suara penuh penekanan dengan sengaja, "Aku naik bianglala berdua dengan Randi, kami melihat pemandangan dari atas dan mengambil beberapa foto." Amelia merasakan tatapan Laras dan menengadah untuk membalas tatapannya dengan bingung. Laras tidak bermaksud mengalihkan tatapannya, tetap dengan tegas dan penuh permusuhan terhadap Amelia. "Tentu saja Randi hanya akan naik bianglala denganku," pada saat ini barulah dia memalingkan wajahnya ke arah Randi, "iya, kan?" Randi melihat Laras telah bersedia berbicara dengannya dan menghela napas. Meski tidak memahami arti yang dikatakan adik sepupunya itu, namun demi menghilangkan amarah Laras, dia setuju begitu saja. "Ya," jawabnya dengan tenang. Laras tersenyum puas, menatap kembali ke arah Amelia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD